Doa Pendiri ‘Tuk Lahirkan Pemimpin Negeri | YDSF

Doa Pendiri ‘Tuk Lahirkan Pemimpin Negeri | YDSF

15 Agustus 2023

Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) melahirkan sejumlah tokoh di negeri ini. Belakangan ini sejumlah tokoh alumni pondok pesantren (ponpes) sedang naik daun. Sebut saja Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI Kabinet Indonesia Bersatu II hingga berlanjut pada Kabinet Kerja saat ini. Maftuh Basyuni yang menjabat Menteri Agama RI Kabinet Indonesia Bersatu I juga lulusan PMDG.

Lulusannya hampir merata sektor, ada yang mendirikan ponpes yang tak kalah besarnya dengan Gontor, ada pengusaha, menteri, dll. Alumninya juga tersebar di berbagai ormas/ aliran Islam, mulai yang paling puritan seperti Abu Bakar Baasyir hingga paling longgar (baca: liberal) Nurcholis Majid. Ada yang memimpin PBNU seperti KH. Hasyim Muzadi dan ada ketua Umum PP Muhammadiyah seperti Prof.Dr. Din Syamsuddin. Nyaris tak terhitung alumninya atau santri Gontor yang melejit menjadi pengusaha di tingkat lokal maupun nasional.

Melihat fenomena ini, redaksi Al Falah tertarik untuk mencari tahu seperti apa doa dan cita-cita para pendiri ponpes yang berada di Ponorogo, Jawa Timur ini. Redaksi Al Falah berkesempatan mewawancarai KH. Achmad Hidayatullah Zarkasyi, Dekan Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (Unida) Gontor yang juga salah satu putra dari KH. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri PMDG.

Hidayat, panggilan akrab Hidayatullah, mengungkapkan bahwa pendirian PMDG tak lepas dari semangat kebangkitan Islam pada awal abad 20. Semangat ini sudah mulai dilontarkan para tokoh Islam seperti Jamaluddin Al Afgani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) dan menyebar ke seluruh dunia Islam kala itu, termasuk di Indonesia. Sebelum PMDG didirikan pada 1926, ada dua peristiwa besar yang melatarbelakanginya: runtuhnya Khilafah Turki Utsmani (1924) dan Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya (1926).

Dengan latar belakang seperti ini, lanjut Hidayat, para pendiri PMDG makin bersemangat mendirikan lembaga pendidikan yang mampu mambangkitkan umat. Kongres di Surabaya itu sebenarnya membahas siapa utusan Indonesia yang harus berangkat ke Muktamar Islam Sedunia di Mekkah. Tiap utusan harus menguasai bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Nah, waktu itu belum ada tokoh Islam kitab yang mahir dua bahasa itu dengan baik. Akhirnya diputuskan yang berangkat Pak Cokroaminoto yang mahir bahasa Inggris dan KH. Mas Mansur yang mahir bahasa Arab.

Baca juga: Proses Pemilihan Pemimpin Umat Islam Pasca-Rasulullah | YDSF

Kondisi saat itu bangsa Indonesia masih dikuasai Belanda. “Para pendiri Gontor terus berdoa agar umat ini terbebas dari tekanan penjajah. Ketika Jepang datang pun, tekanan terhadap umat dan ulama lebih kuat lagi. Saat itulah bapak-bapak pendiri itu memanjatkan doa yang dibaca Ashabul Kahfi. Karena kondisi saat itu mirip dengan keadaan Ashabul Kahfi yang terasing akibat tekanan dari raja yang zalim. Pendiri pondok menjauh dari keramaian. Kondisi Gontor saat itu jauh dari peradaban Mas. Di sini dulu tidak ada jalan. Susah aksesnya,” cerita Hidayat saat ditemui di kediamannya di kompleks Unida Ponorogo.

Para pemuda kahfi berdoa,

رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا

Robbana atina mil ladunka rohmataw wa hayyi’lana min amrina rosyada

“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS. Al Kahfi 10).

Kemudian pendiri PMDG mencanangkan bahwa ponpes yang mereka rintis itu menggunakan cara modern. “Banyak orang bertanya dimana aspek modernnya pondok ini. Jawabannya adalah penggabungan mempertahankan tradisi keilmuan pesantren dengan strukturisasi kurikulum dan penjenjangan ala sekolah Eropa kala itu. Jika pesantren tradisional hanya mengaji kitab saja dan tanpa jenjang kelas, maka Gontor menggabungkannya,” papar doktor lulusan University of The Punjab Lahore, Pakistan.

Tidak hanya metode, PMDG juga menerapkan konsep pengkaderan secara berjenjang dan terstruktur. “Setiap santri setidaknya dipimpin minimal empat ketua. Mulai dari ketua kamar, ketua kelas, ketua unit kegiatan, dan banyak lainnya. Kalau santri itu aktif kegiatan luar kelas, dia bisa dipimpin sampai enam ketua. Semua itu dalam wujud dari doa para pendiri. Mereka sering berdoa,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yunin waj’alna lil muttaqina imama

‘Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasanganpasangan kami dan anak-anak kami penyejuk hati dan jadikanlah kami pemimpin bagi orangorang beriman,’’ jelasnya sambil mengutip surat Al Furqan ayat 74.

Tidak heran jika kemudian alumni Gontor kemudian aktif dalam berorganisasi di tengah masyarakat. “Karena terbiasa berorganisasi, biasa dipimpin dan memimpin. Seolah-olah mereka mencari jalan agar mereka mampu jadi pemimpin. Lewat organisasi apapun itu,” beber Hidayat. Apakah termasuk organisasi yang dianggap penuh kontroversi? “Ya termasuk. Dimanapun mereka, pasti mencari cara agar bisa eksis dan memimpin. Yang jelas kami sudah berusaha mencetak kader muslim yang baik. Jika ada satu dua yang dianggap menyimpang, kami serahkan kepada publik untuk menilainya,” jawab sosok yang menamatkan S1 di Universitas Islam Madinah ini.

Baca juga: Cara Memimpin Generasi Milenial | YDSF

Gaungnya Cepat Tersebar

Maka tak heran jika pada dekade 1950- 1960an banyak tokoh Islam dari penjuru Nusantara terkesan dengan kualitas lulusannya seperti ini. “Ada tokoh Islam dari Aceh yang mengirim kadernya untuk nyantri di Gontor, juga Sulawesi, dan lain-lain. Padahal dulu nggak ada promosi apalagi media informasi. Hanya cerita mulut ke mulut. Allah mulai tampakkan hasilnya ke masyarakat,” ungkap putra pendiri yang juga santri Gontor ini.

Tentu perjuangan panjang selalu ada ujian. Gontor pernah dua kali nyaris dibubarkan: pada 1948 dan 1967. Yang pertama karena upaya pembantaian tokoh Islam dan satri oleh PKI. Maka pimpinan dan santri harus mengungsi. Sedangkan pada 1967 pimpinan pondok harus memulangkan 1.500 santri setelah terjadi demonstrasi massal oleh santri. Mereka menuduh pimpinan tidak becus dan menuntut pergantian pimpinan. Semua itu tidak terbukti dan itu hanya dari hasutan oknum alumni yang mempengaruhi santri senior. Selama tiga bulan, pondok tidak ada aktivitas.

“Orang mengira Gontor sudah bubar. Namun setelah diteliti, hanya 500 santri tidak terhasut. Mereka itulah yang kemudian dipanggil kembali. Itulah ujiannya. Ketika ujian itu datang, kita harus menghadapinya,” cerita Hidayat. “Kini Gontor sedang menatap usia seabad. Lahirnya Universitas Darussalam (Unida) inilah sebagai bentuk jawaban atas tantangan di masa mendatang,” pungkas Hidayat.

 

Sumber: Majalah Al Falah Edisi Mei 2017

 

Berbagi Kian Mudah:


 

Artikel Terkait:

Profil Syafruddin Prawiranegara, Sederhana Tanpa Konflik Kepentingan | YDSF
Ernest Douwes Dekker, Mualaf Indo, Pejuang Negeri Indonesia | YDSF
Kolaborasi Wakaf Alirkan Air untuk Negeri | YDSF
Sejarah Indonesia, Perjuangan Kasman Singodimedjo untuk Negeri | YDSF
Teladan Kepemimpinan dalam Keluarga | YDSF
Mengubah Tantang Hidup Menjadi Peluang | YDSF
Pendidikan Karakter Generasi Visioner | YDSF
Membangkitkan Sisi Pahlawan dalam Diri | YDSF

Tags: doa, pemimpin, negeri, pondok modern darussalam gontor, pondok gontor, doa pemimpin

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: