Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) melahirkan sejumlah
tokoh di negeri ini. Belakangan ini sejumlah tokoh alumni pondok pesantren (ponpes)
sedang naik daun. Sebut saja Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI Kabinet
Indonesia Bersatu II hingga berlanjut pada Kabinet Kerja saat ini. Maftuh
Basyuni yang menjabat Menteri Agama RI Kabinet Indonesia Bersatu I juga lulusan
PMDG.
Lulusannya hampir merata sektor, ada yang mendirikan ponpes
yang tak kalah besarnya dengan Gontor, ada pengusaha, menteri, dll. Alumninya
juga tersebar di berbagai ormas/ aliran Islam, mulai yang paling puritan
seperti Abu Bakar Baasyir hingga paling longgar (baca: liberal) Nurcholis
Majid. Ada yang memimpin PBNU seperti KH. Hasyim Muzadi dan ada ketua Umum PP
Muhammadiyah seperti Prof.Dr. Din Syamsuddin. Nyaris tak terhitung alumninya
atau santri Gontor yang melejit menjadi pengusaha di tingkat lokal maupun
nasional.
Melihat fenomena ini, redaksi Al Falah tertarik untuk
mencari tahu seperti apa doa dan cita-cita para pendiri ponpes yang berada di
Ponorogo, Jawa Timur ini. Redaksi Al Falah berkesempatan mewawancarai KH.
Achmad Hidayatullah Zarkasyi, Dekan Fakultas Humaniora Universitas Darussalam
(Unida) Gontor yang juga salah satu putra dari KH. Imam Zarkasyi, salah satu
pendiri PMDG.
Hidayat, panggilan akrab Hidayatullah, mengungkapkan bahwa
pendirian PMDG tak lepas dari semangat kebangkitan Islam pada awal abad 20.
Semangat ini sudah mulai dilontarkan para tokoh Islam seperti Jamaluddin Al
Afgani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) dan menyebar ke seluruh dunia
Islam kala itu, termasuk di Indonesia. Sebelum PMDG didirikan pada 1926, ada
dua peristiwa besar yang melatarbelakanginya: runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
(1924) dan Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya (1926).
Dengan latar belakang seperti ini, lanjut Hidayat, para
pendiri PMDG makin bersemangat mendirikan lembaga pendidikan yang mampu
mambangkitkan umat. Kongres di Surabaya itu sebenarnya membahas siapa utusan
Indonesia yang harus berangkat ke Muktamar Islam Sedunia di Mekkah. Tiap utusan
harus menguasai bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Nah, waktu itu belum ada tokoh Islam kitab yang mahir dua bahasa
itu dengan baik. Akhirnya diputuskan yang berangkat Pak Cokroaminoto yang mahir
bahasa Inggris dan KH. Mas Mansur yang mahir bahasa Arab.
Baca juga: Proses Pemilihan Pemimpin Umat Islam Pasca-Rasulullah | YDSF
Kondisi saat itu bangsa Indonesia masih dikuasai Belanda.
“Para pendiri Gontor terus berdoa agar umat ini terbebas dari tekanan penjajah.
Ketika Jepang datang pun, tekanan terhadap umat dan ulama lebih kuat lagi. Saat
itulah bapak-bapak pendiri itu memanjatkan doa yang dibaca Ashabul Kahfi.
Karena kondisi saat itu mirip dengan keadaan Ashabul Kahfi yang terasing akibat
tekanan dari raja yang zalim. Pendiri pondok menjauh dari keramaian. Kondisi
Gontor saat itu jauh dari peradaban Mas. Di sini dulu tidak ada jalan. Susah
aksesnya,” cerita Hidayat saat ditemui di kediamannya di kompleks Unida
Ponorogo.
Para pemuda kahfi berdoa,
رَبَّنَآ اٰتِنَا
مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا
Robbana atina mil ladunka rohmataw wa hayyi’lana min
amrina rosyada
“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari
sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami
(ini)” (QS. Al Kahfi 10).
Kemudian pendiri PMDG mencanangkan bahwa ponpes yang mereka
rintis itu menggunakan cara modern. “Banyak orang bertanya dimana aspek
modernnya pondok ini. Jawabannya adalah penggabungan mempertahankan tradisi
keilmuan pesantren dengan strukturisasi kurikulum dan penjenjangan ala sekolah
Eropa kala itu. Jika pesantren tradisional hanya mengaji kitab saja dan tanpa
jenjang kelas, maka Gontor menggabungkannya,” papar doktor lulusan University
of The Punjab Lahore, Pakistan.
Tidak hanya metode, PMDG juga menerapkan konsep pengkaderan
secara berjenjang dan terstruktur. “Setiap santri setidaknya dipimpin minimal
empat ketua. Mulai dari ketua kamar, ketua kelas, ketua unit kegiatan, dan
banyak lainnya. Kalau santri itu aktif kegiatan luar kelas, dia bisa dipimpin
sampai enam ketua. Semua itu dalam wujud dari doa para pendiri. Mereka sering
berdoa,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا
قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Robbana
hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yunin waj’alna lil muttaqina
imama
‘Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
pasanganpasangan kami dan anak-anak kami penyejuk hati dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orangorang beriman,’’ jelasnya sambil mengutip surat Al Furqan
ayat 74.
Tidak heran jika kemudian alumni Gontor kemudian aktif dalam berorganisasi di
tengah masyarakat. “Karena terbiasa berorganisasi, biasa dipimpin dan memimpin.
Seolah-olah mereka mencari jalan agar mereka mampu jadi pemimpin. Lewat
organisasi apapun itu,” beber Hidayat. Apakah termasuk organisasi yang dianggap
penuh kontroversi? “Ya termasuk. Dimanapun mereka, pasti mencari cara agar bisa
eksis dan memimpin. Yang jelas kami sudah berusaha mencetak kader muslim yang
baik. Jika ada satu dua yang dianggap menyimpang, kami serahkan kepada publik
untuk menilainya,” jawab sosok yang menamatkan S1 di Universitas Islam Madinah
ini.
Baca juga: Cara Memimpin Generasi Milenial | YDSF
Gaungnya Cepat Tersebar
Maka tak heran jika pada dekade 1950- 1960an banyak tokoh
Islam dari penjuru Nusantara terkesan dengan kualitas lulusannya seperti ini.
“Ada tokoh Islam dari Aceh yang mengirim kadernya untuk nyantri di Gontor, juga
Sulawesi, dan lain-lain. Padahal dulu nggak ada promosi apalagi media
informasi. Hanya cerita mulut ke mulut. Allah mulai tampakkan hasilnya ke
masyarakat,” ungkap putra pendiri yang juga santri Gontor ini.
Tentu perjuangan panjang selalu ada ujian. Gontor pernah dua
kali nyaris dibubarkan: pada 1948 dan 1967. Yang pertama karena upaya
pembantaian tokoh Islam dan satri oleh PKI. Maka pimpinan dan santri harus
mengungsi. Sedangkan pada 1967 pimpinan pondok harus memulangkan 1.500 santri
setelah terjadi demonstrasi massal oleh santri. Mereka menuduh pimpinan tidak
becus dan menuntut pergantian pimpinan. Semua itu tidak terbukti dan itu hanya
dari hasutan oknum alumni yang mempengaruhi santri senior. Selama tiga bulan,
pondok tidak ada aktivitas.
“Orang mengira Gontor sudah bubar. Namun setelah diteliti,
hanya 500 santri tidak terhasut. Mereka itulah yang kemudian dipanggil kembali.
Itulah ujiannya. Ketika ujian itu datang, kita harus menghadapinya,” cerita
Hidayat. “Kini Gontor sedang menatap usia seabad. Lahirnya Universitas
Darussalam (Unida) inilah sebagai bentuk jawaban atas tantangan di masa
mendatang,” pungkas Hidayat.
Sumber: Majalah Al Falah
Edisi Mei 2017
Berbagi Kian Mudah:
Artikel Terkait:
Profil Syafruddin Prawiranegara, Sederhana Tanpa Konflik Kepentingan | YDSF
Ernest Douwes Dekker, Mualaf Indo, Pejuang Negeri Indonesia | YDSF
Kolaborasi Wakaf Alirkan Air untuk Negeri | YDSF
Sejarah Indonesia, Perjuangan Kasman Singodimedjo untuk Negeri | YDSF
Teladan Kepemimpinan dalam Keluarga | YDSF
Mengubah Tantang Hidup Menjadi Peluang | YDSF
Pendidikan Karakter Generasi Visioner | YDSF
Membangkitkan Sisi Pahlawan dalam Diri | YDSF