Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang terkenal dengan konsep negara fatherless. Bukan Indonesia banyak jandanya. Namun, sosok ayah ada tetapi serasa tak ada. Dominansi ibu dalam kebanyakan keluarga di Indonesia seolah menggambarkan bahwa peran ayah menjadi tidak begitu penting dalam pembentukan karakter keluarga.
Paradigma ini semakin diperkuat dengan adanya pola-pola parenting yang lebih berfokus pada sosok ibu. Namun, apakah hal tersebut menjadi benar seutuhnya? Lalu, sebenarnya di mana dan bagaimana sosok ayah menjadi penting dalam keluarga? Ini dia peran ayah dalam Islam.
Ayah adalah Teladan Utama Keluarga
Mengapa sosok kepahlawanan tidak muncul dalam anak, bahkan kebanyakan anak menjadi jahat. Hal ini banyak disebabkan karena ayah hadir hanya secara fisik. Namun, tidak hadir secara emosional dan spiritual terhadap anak-anaknya dalam julmlah dan waktu yang cukup.
Beberapa testimoni dari kegagalan pembentuka karakter anak justru timbul karena kurang terlihatnya bahkan tidak adanya turut andil ayah dalam membangun keluarga. Dalam potongan firman Allah pada Qs. An Nisa; ayat 34 menyebutkan bahwa:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,…”
Dalam kalimat tersebut makan bisa diambil kesimpulan bahwa sosok ayah adalah sosok yang seharusnya memimpin dan mengayomi keluarga. Jangan sampai terbalik, ibu lebih perkasa. Apalagi bila ayah terlihat ‘lemah’ daripada sang ibu.
Contoh kasus seperti Ryan (jagal) Jombang. Dalam masyarakat, kita hanya mengetahui kasus besar yang muncul di permukaan saja. Namun, kita tidak mengetahui mengapa dia bisa setega itu dalam bertindak. Hal tersebut tak lain dikarenakan, Ryan merupakan salah satu anak yang melihat secara langsung bahwa ayahnya menjadi ‘korban’ dari keperkasaan sang ibunda. Ibu Ryan sering memukul ayahnya di depan Ryan. Inilah kemudian yang tertanam secara tidak langsung di lubuk hati Ryan dan mempengaruhi pembentukan karakternya. Separah ini.
Pembagian Peran bukan Pembagian Tanggung Jawab
Di dalam Alquran terdapat 17 dialog anatara anak dengan orang tua. Namun, 14 di antaranya menunjukkan dialog antara anak dengan ayahnya. Maka dari hal ini pun jelas, bahwa tanggung jawab utama dalam mendekati dan berperan langsung terhadap pengembangan anak adalah tugas dari sang ayah.
Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa kenakalan yang terjadi pada anak bukan terjadi secara Cuma-Cuma, melainkan hal itu akan menjadi pertanggungjawaban oleh ayah. Bahkan, anak dinasabkan kepada ayah juga bukan sekedar pelengkap nama saja, melainkan nantinya yang diminta pertanggungjawaban pertama atas keluarganya adalah sang ayah.
Dari hal ini kita dapat mempelajari bahwa sebuah tanggung jawab sejatinya tidak bisa digantikan atau ditransfer kepada orang lain. Meski sering kali kita menjumpai ayah dan ibu berbagi tugas dalam mendidik dan mengurus anak. Konteks ini bukan bentuk penyerahan tanggung jawab begitu saja. Hal ini hanyalah sebatas berbagi peran. Karena sekali lagi, tetap ayah yang menjadi pusat tanggung jawab utama.
Dalam potongan ayat suci Alquran, Qs. Al Furqon ayat 74, Allah berfirman:
قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا...
“… sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Kebanyakan orang tua saat ini hanya puas dengan ketercapaian anak secara duniawi, nilai bagus, lulus, dan bisa melanjutkan ke sekolah bonafit.
Kebanyakan keluarga ribet dengan keluarga kecil karena tidak memiliki visi besar.
Banyak orangtua yang mengambil raport anaknya yang ditanyakan hanya seputar nilai bukan leadership
“Alhamdulillah nanakku wes mentas,” seolah selesai tugas orang tua sampai di sini. Saat pengambilan raport misalnya. Orang tua hanya selesai dengan bertanya seputar nilai anaknya di sekolah, mana yang masih kurang dan bagaimana cara mengejar ketertinggalan nilai sang anak. Orang tua lupa bahwa ada sisi leadership yang harus dikembangkan.
Jika banyak orang tua muslim yang hanya berhenti sampai di situ, maka bagaimana kita bisa mencetak pemimpin-pemimpin besar dari kalangan kita? Bagaimana mungkin anak-anak kita bisa memimpin orang-orang bertakwa?
Seorang anak bisa memiliki visi yang besar bila orang tuanya mulai menanamkan kepadanya sejak kecil. Bahkan kalau bisa, orang tua sudah mulai merencanakan visi besar untuk keluarga dan keturunan di masa mendatang. Menjadi pemimpin.
Sebagai contoh, orang tua dari Shalahuddin al-Ayyubi. Ayah dan ibunya sudah memiliki visi besar dari sebelum mereka menikah. Visi besar yang sama itu lalu Allah pertemukan dalam ikatan pernikahan. Saat mendidik anaknya, dalam menenangkan anak saat cengeng contohnya, mereka tidak serta merta memanjakannya.
“Penakluk baitul maqdis tidak boleh cengeng,” begitulah kiranya ayah dari Shalahuddin al-Ayyubi menenangkan anaknya. Visi besar yang sudah ditanamkan saat anak masih berusia sangat dini.
Visi itu harus dikawal. Ayah yang harus mengawalnya, mulai dari eksekusi hingga evaluasi. Bukan pasrah begitu saja kepada ibu.
Displin bukan harus dengan Kekerasan
Dalam menegakkan sikap disiplin pada anak tidak selalu identik dengan kekerasan. Banyak pula kita temui bahwa disiplin berjalan bersamaan dengan bentuk kekerasan (misal omelan, bahkan orang tua main tangan) terhadap anak.
Kejadian-kejadian tersebut sebenarnya bukan membentuk anak menjadi disiplin, namun semakin mudah membangkang. Disiplin bisa diwujudkan dengan bentuk kasih sayang. Beri anak pertanyaa-pertanyaan retorik yang sebenarnya bisa mereka jawab sendiri. Dari sinilah anak akan mudah menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Naskah: Ayu SM
Narasumber: Misbahul Huda
Tonton video lengkapnya berikut ini:
Baca juga:
MENYAMBUT HARI ANAK UNIVERSAL, YDSF DAN KARTUNESIA GELAR KONTES KARTUN
ANAK MUDA DI RUMAH ALLAH | YDSF
ADAB KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK | YDSF
Menghadapi Kenakalan Anak Milenial dengan Parenting Islami | YDSF
INILAH KUNCI SUKSES BUNDA YATIM MENDIDIK ANAK | YDSF
Mendidik Generasi Berdaya Juang Pahlawan | YDSF
Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF
Mengenal Generasi Strawberry | YDSF