Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF

Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF

26 Juli 2019

Pendidikan anak selalu memiliki tantangan dan permasalahan yang terus berkembang sesuai dengan dinamika zaman. Yang sering kali menjadi paradoks dalam mendidik anak adalah orangtua hidup pada zaman yang sangat berbeda dengan anak-anaknya.

Pada masa kecil, mereka dididik oleh orangtua dengan metode yang dipahami orangtua saat itu. Kini setelah menjadi orangtua, mereka harus mendidik anak dengan kondisi dan situasi sangat berbeda. Dulu belum ada internet, mereka baru mengenal internet setelah tua.

Sementara kids zaman now sudah mengenal internet sejak mereka dalam kandungan. Tentu menjadi sangat berbeda tuntutan dalam mendidik anak. Ada ilmu pengetahuan, metodologi, keterampilan serta kebiasaan yang harus dikuasai oleh orangtua zaman sekarang untuk bisa mendidik anak-anak mereka dengan baik.

Tidak bisa mengandalkan hanya dari pengalaman yang didapatkan dari orangtua zaman dulu saat mereka dididik, untuk digunakan sebagai referensi dalam mendidik anak-anak zaman now. Hal ini yang harus sangat disadari oleh orangtua, guru, masyarakat, pihak swasta maupun pemerintah.

Generasi Silih Berganti

Istilah milenial mulai sering disebut dan dibahas untuk menyebut satu kelompok generasi yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Sesungguhnya pembagian generasi ini sudah sangat lama dikenalkan oleh sosiolog Karl Mannheim dalam esainya yang berjudul “The Problem of Generation” pada tahun 1923.

Menurutnya, manusia di dunia ini saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Generasi yang berada pada zaman Perang Dunia II memiliki karakter yang khas, berbeda dengan generasi yang lahir pasca Perang Dunia II, demikian seterusnya.

Generasi Millenial atau disebut juga sebagai Generasi Y adalah anak-anak yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000. Artinya, saat ini (tahun 2018) mereka berusia 18 hingga 38 tahun. Mereka memiliki ciri khas, berbeda dengan generasi sebelumnya yang disebut sebagai Generasi X. Generasi Millenial juga berbeda lagi dengan Generasi Z, yang lahir setelah Desember 2000.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, menyebabkan Generasi Y dan Generasi Z sangat akrab dengan gadget dan internet --- hal yang tidak dijumpai oleh Generasi X, apalagi generasi Baby Boomers.

Apa saja yang berbeda dari mereka? Tentu sangat banyak. Dalam pilihan hiburan, misalnya, Generasi  Baby Boomers di Indonesia, suka menonton film dan pertunjukan. Generasi X mulai bergeser, mereka suka menonton televisi. Generasi Y bergeser lagi, mereka parenting mulai meninggalkan televisi karena lebih senang berinteraksi dengan gawai (gadget).

Dengan gawai di tangan, mereka bisa menikmati aneka ragam hiburan. Mereka memiliki banyak akun di media sosial untuk berkomunikasi dan eksistensi. Sedangkan Generasi Z senang menikmati hiburan melalui YouTube dan sejenisnya. Ini hanya contoh pergeseran yang terjadi antar generasi.

Pondasi Parenting Millennial

Bagaimana mendidik Generasi Millennial dan Generasi Z yang sangat melek teknologi saat ini? Dalam proses mendidik anak di zaman apapun dan pada generasi manapun, selalu ada hal-hal yang sangat prinsip, namun juga ada hal-hal yang bersifat teknis.

Hal yang bersifat prinsip dalam pendidikan anak adalah pondasi yang harus ditanamkan, yaitu keimanan kepada Allah. Semakin kokoh kita bisa menanamkan keimanan yang benar kepada anak-anak, maka akan semakin kokoh pula kepribadian serta karakternya. Inilah hal prinsip serta mendasar dalam pendidikan anak.

Generasi millennial harus mengenal Allah dengan pengenalan yang benar, yang akan menghantarkan dirinya menjadi manusia yang berperilaku benar dalam kehidupan keseharian.

Segala penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya bermula dari lemah atau salahnya pemahaman iman. Jika pondasi sudah salah atau lemah, bisa dibayangkan sekuat dan sebaik apapun bangunan yang ada di atasnya, akan mudah hancur dan roboh.

Itulah fenomena kehancuran karakter pada sebagian Generasi Millennial yang sudah menjadi dewasa saat ini. Maka Luqman Alhakim mendidik anaknya untuk memiliki keimanan akan keesaan Allah, mentauhidkan Allah dalam semua bidang kehidupan, sekaligus menjauhi syirik yang menjadi lawan Tauhid.

Manusia yang berlaku syirik pada zaman now, jangan dibayangkan bahwa mereka secara verbal ‘menyembah’ patung berhala. Dalam kenyataan keseharian, patung di zaman modern bisa berwujud ideologi, pahamisme, termasuk segala sesuatu yang dikejar manusia dalam kehidupan mereka.

Memiliki keyakinan hidup serba materi atau materialisme, adalah contoh penyimpangan dari makna hakiki tauhid.

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13).

Dari keimanan yang benar dan kokoh, akan lahir akhlaq yang mulia, karakter yang utama, serta kepribadian yang lurus. Untuk itulah, orangtua, guru, masyarakat, maupun Pemerintah harus berusaha membentuk pondasi keimanan dalam diri Generasi Millenial.

Tidak akan muncul kepribadian yang baik apabila tidak dimulai dari pondasi yang benar dan kokoh.

Semua Bermula dari Keluarga

Ada ciri yang sangat menarik dari Generasi Millennial. Hasil survei  “Connecting with the Millennials” yang dilakukan oleh lembaga Visa menunjukkan bahwa kaum millennial Indonesia adalah generasi yang paling berbakti pada keluarga.

Mayoritas dari mereka, yakni sekitar 91  % memberikan  kontribusi finansialnya kepada orangtua. Berdasarkan riset Man Power Group, diketahui bahwa dalam mengambil keputusan, Generasi Y melibatkan pendapat orangtua mereka.

Nah, ini adalah sebuah potensi yang sangat berharga. Dengan segala kecanggihan teknologi yang saat ini berada dalam genggaman mereka, Generasi Millennial memiliki apresiasi dan kehangatan kepada keluarga yang sangat besar.

Maka jangan sia-siakan potensi positif ini untuk mendidik mereka dengan sebaik-baiknya, dan itu semua harus dimulai dari dalam keluarga. Memahami sisi ini, maka penguatan dan pengokohan keluarga menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan.

Dengan keluarga yang kokoh, akan bisa terjadi proses pendidikan yang baik untuk anak-anak. Jika kita cermati, dalam kehidupan keluarga, semua titik interaksi antara orangtua dengan anak adalah bagian dari pendidikan.

Orangtua yang disiplin, rajin ibadah, rajin bekerja, rapi dalam penampilan, senang silaturahim, memuliakan tamu, bertutur kata sopan, lembut dalam pergaulan, menghormati pasangan, menyayangi anak-anak, merawat rumah dan lingkungan, semua itu menjadi interaksi yang bermuatan pendidikan kebaikan.

Sebaliknya, orangtua yang kehidupannya berantakan, malas beribadah, kasar dalam berbicara, senang mengumpat, suka memukul, tidak merawat rumah dan halaman, ruang keluarga dan kamar tidur yang porak poranda, memelihara pertengkaran dengan pasangan, suka membentak orangtua, itu semua menjadi interaksi yang bermuatan pendidikan keburukan.

Walaupun menyekolahkan anak di sekolah agama, atau pesantren, namun ketika di rumah orangtua memberikan teladan negatif, akan menjadi pendidikan negatif pula bagi anak-anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga harmonis, akan cenderung memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik dibanding dengan anak-anak yang tumbuh dari keluarga bermasalah.

Sudah banyak survei yang menunjukkan pengaruh kondisi kehidupan orangtua dengan perkembangan mental anak saat mereka dewasa. Carey Oppenheim, Chief Executive Early Intervention Foundation (EIF), organisasi nirlaba yang fokus pada anak-anak bermasalah, menyebut pertengkaran orangtua memberi pengaruh besar pada anak.

Oppenheim mengingatkan bahwa konflik suami istri dalam kehidupan rumah tangga bisa menjadi kendala yang besar dalam perkembangan emosi anak di masa depan. Profesor Gordon Harold, dari Fakultas Psikologi University of Sussex menyatakan, dari studi yang mereka lakukan bisa disimpulkan bahwa hubungan orangtua dengan anak memiliki pengaruh paling kuat dalam kesehatan mental anak jangka panjang.

Menurutnya, hal ini bukan hanya memengaruhi satu generasi, tapi juga generasi selanjutnya di masa depan. Oleh karena itu, proses pendidikan di dalam keluarga harus mewujudkan pemberdayaan yang aktif.

Di rumah tak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari orangtua kepada anak-anak, akan tetapi terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam, dengan landasan kesadaran akan nilai-nilai Rabbani (Ketuhanan). Di rumah, semua saling belajar dan tumbuh berkembang bersama dalam ketaatan dan kebaikan.

Interaksi pendidikan yang terjadi dalam keluarga tidak boleh terkungkung hanya kepada upaya untuk menghafalkan teori-teori, atau mengumpulkan konsep-konsep, akan tetapi harus sampai kepada dataran pencarian makna serta hakikat yang lebih mendalam untuk mendapatkan pemahaman yang utuh akan hakikat kehidupan dan kemanusiaan.

Untuk apa manusia diciptakan, darimana manusia berasal, dan akan kembali kemana kelak ketika sudah meninggal. Jadi bukan sekadar menemani anak-anak mengerjakan PR matematika dan menghafalkan rumus-rumus kimia, namun pembelajaran dalam rumah itu komprehensif dalam segala sisinya.

Juga bukan hanya membatasi pemakaian internet dan gawai, pemblokiran situs porno, pendampingan dalam penjelajahan di dunia maya, dan pengawasan dalam berbagai kegiatan Generasi Millenial.

Tentu saja itu semua sangat diperlukan, namun jangan sampai mengabaikan hal yang lebih esensial dan fundamental. Segala sisi yang bisa memberikan kebaikan kepada Generasi Millenial, harus diupayakan dengan serius oleh semua pihak terkait.

Sejak dari penanaman pondasi keimanan, hingga penjagaan dan pengarahan untuk mengoptimalkan berbagai potensi kebaikan mereka. Semua harus dimulai dari keluarga, karena Generasi Millennial adalah generasi yang cinta keluarga.

Oleh: Cahyadi Takariawan
Konselor di Jogja Family Center (JFC), dan penulis buku serial Wonderful Family

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: