Setiap perjuangan melahirkan sosok pahlawan. Sejarah selalu mencatat bahwa pekerjaan besar hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai spirit kepahlawanan. Itulah sebabnya nama para pahlawan menyejarah sebagai orang-orang besar.
Pertanyaannya, bagaimana mendidik generasi agar mereka punya spirit/naluri/karakter kepahlawanan? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.
Ada dua kata kunci yang bisa dijadikan rujukan dalam makna kata pahlawan yakni:
(1) Bernyali dan berkorban,
(2) Di atas jalan kebenaran.
Jika seseorang begitu bernyali dan rela berkorban, namun bukan di atas jalan kebenaran, tak pantas disebut pahlawan. Sebaliknya, jika seseorang berada di atas jalan kebenaran, namun tak bernyali, tak bervisi, enggan berkorban, maka sejarah tak akan memberi sematan gelar pahlawan.
Berpijak pada konsepsi di atas, untuk melahirkan generasi dengan etos kepahlawanan, kita pun akan dipandu oleh dua narasi besar.
Pertama, sebagai pendidik, fokus kita adalah mengajarkan peta kebenaran sampai terhampar nyata, diyakini sebagai sebuah visi yang akan menjadi suluh kehidupan. Tak ada cara lain, dekatkan anak didik kepada rujukan kebenaran utama, Al-Qur’an.
Generasi beretos kepahlawanan adalah generasi penggerak, berprinsip dan setia di atas jalan kebenaran. Al-Qur’an menyebut generasi seperti ini adalah generasi terbaik.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali-Imron [3]: 110).
Itulah generasi yang punya kejelasan prinsip dan aksi: beramar ma’ruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. Generasi yang kokoh tak mudah diombang-ambingkan oleh lingkungan. Bukan generasi ikut-ikutan, generasi buih yang dipermainkan arah gelombang. Kita diingatkan oleh manusia terbaik sepanjang sejarah kemanusiaan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
“Janganlah kalian menjadi Imma’ah; kalian berkata: jika orang-orang baik, kami pun ikut baik. Dan jika mereka dzalim kami pun ikut dzalim. Tetapi siapkan diri kalian (untuk menerima kebenaran dan kebaikan); Jika orang-orang baik, kalian harus baik dan jika mereka rusak kalian jangan menjadi orang dzalim.” (HR. Tirmidzi)
Narasi kedua yang perlu dikerjakan pendidik adalah menyalakan nyali (rela berkorban, pantang menyerah). Tentang nyali ini, Ustadz Anies Matta dalam Serial Kepahlawanan memberi nasihat bahwa tak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan.
Jika risiko adalah pajak keberanian, maka hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Dan itulah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al Anfal: 65).
Ada banyak pemberani yang tidak mengakhiri hidup sebagai pemberani. Karena mereka gagal menahan beban risiko. Jadi keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan.
Tapi kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup.
Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman-Nya:
“Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka selalu yakin dengan ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah: 24).
Demikianlah ayat-ayat kesabaran turun beruntun dalam Al Qur’an dan dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',” (QS. 2: 45 )
Mereka yang memiliki naluri kepahlawan harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal, yakni dalam ketaatan, meninggalkan maksiat atau menghadapi cobaan.
Berpijak pada korelasi pahlawan dengan nilai kesabaran, perlulah pendidik merancang tumbuhnya karakter sabar melalui tiga cara:
(1) terciptanya situasi dan kondisi ketaatan kepada Allah,
(2) semangat kuat menjauhi maksiat,
(3) memberinya situasi cobaan/tantangan sebagai “latihan beban” psikologis.
Saya menyebut cobaan atau tantangan yang terukur itu sebagai kurikulum kesengsaraan. Yang sedemikian itu insya Allah membuat anak-anak kita melangit karena jiwanya terpandu oleh Al-Qur’an, mentalnya punya daya lenting yang tangguh karena terbiasa memanggul beban idealisme, raganya membumi karena melakukan kerja-kerja yang menguras tenaga.
Sebagaimana para petani yang berdoa di tengah sawah, mereka mempunyai harapan besar akan panen raya, tetapi pikiran dan tenaga mereka juga tercurahkan pada kerja berpeluh keringat. Semangat mendekat taat dan menjauhi maksiat, semangat melipatgandakan kekuatan otot-otot mental kesabaran. Semoga Allah ridha.
Sumber: Majalah Al Falah Edisi November 2018
Editor: Ayu SM
Baca juga:
6 Prinsip untuk Menyiapkan Anak Sebagai Pejuang Kehidupan | YDSF
Inilah 4 Cara Mendidik Anak Menjadi Pahlawan Secara Islami | YSDF
Parenting Islami: Cara Mendidik Anak Agar Bahagia | YDSF
Hukum Mengajak Anak Kecil ke Masjid | YDSF
Millennial Pembentuk Khoiru Ummah | YDSF