Cara Memimpin Generasi Milenial | YDSF

Cara Memimpin Generasi Milenial | YDSF

14 November 2019

Stigma itu semakin menguat ketika satu lagi perusahaan legendaris milik keturunan Tionghoa yang bangkrut di tangan generasi ketiga. Yaitu Jamu Nyonya Meneer yang berdiri sejak 1919, dan akhirnya dinyatakan pailit pada 2017.

Kenapa dua generasi pertama umumnya aman? Karena baik yang merintis maupun yang membesarkan sama-sama pernah merasakan pahit getirnya membangun usaha. Karena biasanya generasi kedua sejak umur belasan tahun sudah dilibatkan dalam membesarkan bisnis. Berbeda dengan generasi ketiga yang sejak terlahir dari perut ibunya sudah bergelimang kemewahan. Terbiasa hidup enak sejak kecil membuatnya bermental bossy, apapun keperluannya tinggal minta atau perintah. Sangat mungkin tumbuh menjadi pribadi yang manja, egois, arogan dan tidak tahan banting menghadapi tantangan. Walaupun secara akademik generasi ini lebih tinggi pendidikannya dibanding pendahulunya. Karakter milenial inilah yang banyak diduga menyebabkan bisnis keluarga umumnya bubar di tangan generasi ketiga.

Kepanikan para pemimpin, manajer dan pemilik dari kelompok baby boomer terhadap anak buahnya dari generasi milenial (kategori Gen Y dan Gen Z) semakin mengemuka. Karena semakin sulit diarahkan, susah diatur dan cenderung maunya sendiri. Mereka lebih berani memilih keluar dan pindah kerja, ketika mendapat amarah dari atasannya. Tidak heran kalau keluar-masuk karyawan sangat tinggi.

Kepanikan juga banyak terjadi pada korporasi, dalam hal rekrutmen karyawan baru generasi milenial ini. Ada guyonan, sudah capek menyeleksi ratusan pelamar dan tersisa 10 orang untuk magang. Baru 6 bulan orientasi kerja, yang keluar 13 orang. Karena sang calon pekerja mundur tidak sendirian, mereka mengajak dan membawa serta teman-teman sebayanya.

Banyak penelitian semakin memprihatinkan, tercatat hanya 13 persen pekerja di seluruh dunia yang loyal terlibat (engaged) dengan pekerjaan mereka. Kasus Indonesia lebih mengagetkan hanya 8 persen yang engaged, 77 persen karyawan disengaged dan sisanya 15 persen actively disengaged.

Ketika responden yang engaged ditanya lagi mengapa mereka loyal? Tertinggi variabelnya karena faktor atasan langsung. Atasan langsung (pemimpin) seperti apa yang membuatnya engaged? Pemimpin yang memimpin dengan hati (care), peduli, empati, memberi, dan mengapresiasi bawahannya. Parahnya, kebutuhan generasi milenial akan perhatian, pujian dan penghargaan dari atasannya sangat berlebihan. Sebanyak 65 persen dari mereka berharap pujian dari atasan 1 kali sehari, sisanya berharap pujian dua kali sehari.

Tak mengherankan jika para ahli ramai-ramai mendiskusikan tentang perlunya perubahan model kepemimpinan di era milenial ini, demi menyesuaikan dengan sikap dan gaya hidup generasi milenial yang sangat berbeda dengan generasi baby boomer pendahulunya. Khawatirnya, euforia perubahan yang tanpa arah dan terkesan panik justru memposisikan generasi milenial semakin jauh dari kriteria ideal sosok pemimpin.

Menurut hemat penulis, tidak semuanya perlu berubah. Karena masih relevan sejak zaman kenabian hingga sekarang. Meski disadari ada pola pendekatan kepemimpinan yang memang perlu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang melingkupi suatu generasi pada zamannya yang berbeda.

Terkait karakter pemimpin, Allah menceritakan spirit kepemimpinan Raja Dawud as, Raja Sulaiman as atau menteri utama Yusuf as di Mesir selalu mensiratkan kata: ilm, abdi dan awwab. Artinya, para pemimpin mesti berbekal ilmu (kompetensi), menjadi ‘hamba’ yang melayani pemangku kepentingan (al imamu khodimuhum) dan patuh pada konstitusi yang berlaku (awwab). Dari ketiga syarat tersebut, kata kuncinya adalah pemimpin itu melayani bukan menguasai. Leadership is action as a servant, is not position.

Kini, banyak warga di negara-negara maju memakai kriteria itu untuk memilih pemimpinnya. Kauzes dan Postner meneliti secara periodik 3 kali pemilu (15 tahun) di 10 negara-negara maju, tentang bagaimana mereka bisa maju dikaitkan dengan kriteria presiden pilihannya. Ternyata empat terbesar adalah Honesty atau Shiddiq (88 %), visioner atau amanah (77%), competence atau fathonah (71 %) dan inspiring-tabligh (66 %).

Spirit jujur dalam memberi dan melayani itu sudah terbukti menjadi spirit pemerintah dan pebisnis di negara-negara yang miskin sumber alam seperti Jepang dan Singapura, dan kini telah berubah menjadi negara maju dan kaya. Mereka hidup dan berjaya karena profesional dalam melayani. Sehingga 3.000 perusahaan Multi National Corporation masih betah menempatkan pusatnya di Singapura. Enggan berpindah ke Malaysia dan atau Indonesia meski diiming-iming dengan pelbagai fasilitas.

Tengoklah persaingan lembaga bisnis dan sosial sekarang ini, hampir semuanya menuntut pelayanan prima. Tak urung Hermawan Kertajaya menulis: Every business is services business. Persoalannya bagaimana melahirkan kepemimpinan milenial yang melayani? Tulisan berikutnya akan kita bahas, insyaAllah.

 

Sumber: Majalah Al Falah Edisi Januari 2018

Oleh: Misbahul Huda (Penulis dan Motivator)

 

 

Baca juga:

Mengenal Generasi Millenial | YDSF

MENYAMBUT HARI ANAK UNIVERSAL, YDSF DAN KARTUNESIA GELAR KONTES KARTUN

ANAK MUDA DI RUMAH ALLAH | YDSF

ADAB KOMUNIKASI ORANGTUA DAN ANAK | YDSF

Menghadapi Kenakalan Anak Milenial dengan Parenting Islami | YDSF

INILAH KUNCI SUKSES BUNDA YATIM MENDIDIK ANAK | YDSF

Mendidik Generasi Berdaya Juang Pahlawan | YDSF

Mengasuh Anak Generasi Milenial | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: