KONDISI Madinah –pasca-wafatnya Nabi Muhammad Saw- begitu genting. Sepeninggal beliau, para sahabat dihadapkan pada masalah pelik dan meruncing. Mereka harus segera bermusyawarah menentukan pengganti Rasulullah SAW.
Di lokasi bernama Saqīfah Bani Sa`idah, para sahabat bermusyawarah menentukan pengganti Nabi. Kisah ini dicatat dalam lembaran emas sejarah dengan sangat dramatis.
Masing-masing dari mereka yang pada awalnya bersikukuh hendak mengangkat seorang pemimpin, akhirnya sadar bahwa jabatan hanya diberikan kepada yang berkompeten (Al-Kāmil fī al-Tārikh, 2/191)
Berdirilah Abu Bakar mendekati Umar bin Khattab seraya berkata:
“Bentangkan tanganmu! Kami akan membaiatmu!” Dengan rendah hati Al-Faruq menjawab, “Engkau lebih utama dariku!” As-Siddiq pun membalas dengan sangat meyakinkan, “Engkau lebih kuat dariku.” Akhirnya, Ayah Hafshah ini pun menimpali, “Kekuatanku (kupersembahkan) untukmu bersama keutamaanmu.” (al-Muntadham, 4/67)
Abu Ubaidah menyusul menimpali, “Wahai Abu Bakar! Tidak seorang pun setelah Rasulullah yang lebih unggul darimu. Engkaulah yang menemani Rasulullah di gua Hira, serta menggantikan beliau menjadi imam shalat (saat sakit). Maka, kaulah orang yang paling pantas mengemban urusan ini.” (Dr. Raghib As-Sirjani, Istikhlāf Abi Bakar As-Siddiq).
Umar pun seketika mengendalikan publik. Dilontarkanlah beberapa pertanyaan kepada para sahabat, “Bukankah kalian sama-sama tahu bahwa Rasulullah menjadikan Abu Bakar sebagai imam shalat kalian?” “Ya.” Jawab mereka serentak. “Siapakah di antara kalian yang merasa melampaui orang yang dipilih langsung oleh Rasulullah ?” “Tidak ada seorang pun. Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan itu.” (HR. Nasa`i, Hakim).
Tak menunggu waktu lama, dengan cepat Umar menjabat tangan Abu Bakar dan langsung membaiatnya. Langkah Al-Faruq ini diikuti, Usaid bin Khudair , Basyir bin Sa`ad (dari Anshar), Hubab bin Mundzir , Tsabit bin Qais , dan Zaid bin Tsabit . Semua kalangan yang hadir, baik dari Muhajirin maupun seluruh sahabat Anshar, secara aklamatif membaiatnya, kecuali Sa`ad bin Ubadah yang saat itu berhalangan, namun pada akhirnya juga mengakuinya. (al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 5/268).
Pada hari kedua para sahabat yang sebelumnya tak hadir, akhirnya ikut berbaiat. Hanya beberapa orang yang tidak ikut karena ada kesibukan mengurusi pemakaman Rasulullah. Mereka di antaranya Ali bin Abu Thalib, Fathimah, Abbas bin Abdul Muthallib, Zubair bin Awwam, Shafiyah binti Abdul Muthallib. Mereka akhirnya berbaiat kepada Abu Bakar (al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 6/333).
Itulah proses pemilihan pemimpin pertama setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah. Di sisi lain, indikator-indikator sebelum meninggal Rasulullah juga dijadikan acuan. Misalnya, Abu Bakar sempat menjadi imam shalat, orang yang pertama kali masuk Islam, orang paling dicintai Nabi, orang yang menemani Nabi hijrah dan berbagai kemuliaan lainnya. Abu Bakar juga berasal dari kalangan suku Qurays.
Dalam buku “Fiqh as-Sīrah” (1426: 351-368) karya Syekh Ramadhan Buthi, memang ada beberapa model pemilihan pemimpin setelah Rasulullah SAW meninggal. Pertama, umat berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk bermusyawarah memilih pemimpin sampai akhirnya Abu Bakar terpilih.
Kedua, pemilihan berdasarkan rembukan dengan sahabat-sahabat senior dan berkompeten. Menjelang wafat, Abu Bakar memanggil sahabat-sahabat pilihan untuk berembuk mengenai penggantinya. Abu Bakar mengusulkan Umar sebagai penggantinya. Terjadilah dialog alot. Ada yang setuju dan tidak. Namun, pada akhirnya mereka setuju Umar sebagai pengganti.
Ketiga, pembentukan Ahli Syura, semacam badan musyawarah pemilih pemimpin. Ini terjadi pada waktu akhir masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Ada beberapa orang yang dipilih untuk bermusyawarah di antaranya: Thalhah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Utsman. Keputusan akhir, terpilihlah Utsaman bin Affan menjadi khalifah.
Keempat, dipilih secara aklamasi oleh umat. Beliau dipilih dalam kondisi umat yang lagi mencekam setelah terbunuhnya Utsman. Kondisi demikian pelik. Beliau awalnya tak mau dipilih, tapi mengingat umat tak boleh kosong dari pemimpin, dan berbagai pertimbangan lain, akhirnya beliau menyanggupi.
Keempat model itu lahir karena Rasulullah SAW tidak pernah secara khusus menjelaskan atau menentukan model pemilihan atau model pemerintahan seperti apa. Makanya tidak mengherankan jika pasca khalifah empat, metode pemilihan pemimpin menjadi semacam monarki yang diwariskan secara turun temurun.
Nabi sendiri mengenai fase-fase umat pernah menyinggung beberapa macam: Pertama, Periode kenabian. Kedua, periode “khilafah ala minhaj nubuwwah” (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian. Ketiga, “mulkan aadhdhan” (penguasa-penguasa yang menggigit). Keempat, “mulkan jabbriyyan” (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak atau otoriter). Kelima, kembali pada periode “khilafah ‘ala minhaj nubuwwah.” Kemudian Nabi Muhammad SAW diam.” (HR Ahmad).
Apapun itu bentuk pemilihannya, ada nilai-nilai mendasar yang bisa diambil pelajaran dalam memilih pemimpin utamanya di masa empat khalifah (yang merupakan masa khilafah berdasarkan hadits Nabi):
Pertama, pemimpin dipilih berdasarkan kompetensi dan akhlaknya. Bukan berdasarkan uang atau semacamnya. Semua pemimpin yang terpilih itu benar-benar teruji di lapangan, baik kontribusi, kecakapannya apalagi akhlaknya (terutama adil dan amanah).
Kedua, terkhusus yang menjadi pemilih adalah orang-orang yang berkompeten dan saleh. Mereka yang memiliki pertimbangan matang dan ilmu, sehingga tidak asal-asalan mendapatkan pemimpin.
Ketiga, goal tujuan akhir yang diperjuangkan pemimpin setelah rida Allah adalah bagaimana agar tercipta keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. (Mahmud Budi Setiawan)
Baca juga:
Bagaimana Cara Membedakan Bid’ah atau Bukan?
Contoh Istiqomah dalam Beribadah | YDSF
Pintu Dosa di Era Digital | YDSF
WAKTU TERBAIK TERKABULNYA DOA | YDSF
Hukum Shalat dan Puasa Bagi Orang Koma | YDSF
Jamak Shalat Karena Sakit | YDSF
Konsultasi Zakat Secara Online di YDSF