Tiga Tingkatan Puasa | YDSF

Tiga Tingkatan Puasa | YDSF

27 April 2019

Banyak orang yang kelihatannya berpuasa, namun sesungguhnya tidak berpuasa. Mereka tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus. Sebagaimana sabda nabi:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga saja.” (HR. Ahmad)

Bagaimana bisa demikian? Lalu siapa orang yang tidak mendapat manfaat dari puasanya ini? Yakni, mereka yang tidak bisa mengambil hikmah dari puasa.

Puasa Ramadhan menjadi sia-sia karena masih diisi dengan berbagai maksiat. Padahal seharusnya setiap orang berusaha menjaga lisannya, perbuatannya, dan hatinya, dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang sia-sia.

An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, menyebut beberapa pendapat ahli bahasa, terkait asal penamaan Ramadhan. Di antaranya, Ramadhan diambil dari kata ar-Romd yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Sehingga bulan ini dinamakan Ramadhan karena bertepatan dengan musim panas yang sangat terik. Pendapat ini disampaikan al-Ashma’i – ulama ahli bahasa dan syair Arab – (w. 216 H), dari Abu Amr.

Ramadhan dimaknai oleh para ulama sebagai bulan pembakaran dosa. Jadi, seseorang dikatakan gagal berpuasa, jika puasanya tidak membakar dosa-dosa. Padahal Allah sudah memberi motivasi bahwa di bulan Ramadhan setan dibelenggu, pintu surga dibuka lebar, pintu neraka ditutup, bahkan pahala semua amal perbuatan dilipatgandakan.

إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبواب النار، وصفدت الشياطين” رواه البخاري ومسلم واللفظ له

“Jika Ramadhan telah tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu.” [HR. Bukhari & Muslim]

Inti dari puasa adalah Al-Imsak (menahan). Artinya, menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Lebih luas lagi, puasa adalah menahan diri dari bermaksiat kepada Allah.

Imam Ghazali membagi tiga tingkatan puasa yang tertuang dalam kitabnya Ihya Ulumuddin. Yaitu Puasa Umum, Puasa Khusus, dan Puasa Khususil Khusus. Ketiganya bagaikan tingkatan tangga yang manarik orang berpuasa agar bisa mencapai tingkatan yang khususil khusus. 

Pertama, Puasa Umum (orang kebanyakan)

Puasa Umum adalah menahan makan dan minum dan menjaga kemaluan dari godaan syahwat. Tingkatan puasa ini menurut Al-Ghazali adalah tingkatan puasa paling rendah.

Kenapa? Karena dalam puasa ini hanyalah menahan dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Belum menjaga pandangan, pendengaran, dan lisan dari bermaksiat kepada Allah.

Kedua, Puasa Khusus

Puasa Khusus adalah menahan makan, minum, serta syahwat, juga menahan pandangan, pendengaran, lisan dari segala macam bentuk dosa. Maka puasa ini sering disebutnya dengan puasa para Shalihin (orang-orang saleh).

Ketiga, Puasa Khususil Khusus (khususnya orang yang khusus)

Puasa khususil khusus, di samping hal di atas adalah puasa hati dari segala keinginan hina dan segala pikiran duniawi, serta mencegah memikirkan apa-apa selain Allah.

Menurut Al-Ghazali, tingkatan puasa yang ketiga ini adalah tingkatan puasanya para nabi, Shiddiqqiin, dan Muqarrabin.

Tanda Keberhasilan Berpuasa

Setelah berpuasa selama sebulan penuh. Tibalah Idul Fitri, artinya mengembalikan manusia dalam keadaan suci. Ketika bulan Ramadhan telah usai maka semua telah disucikan. Puasa telah mensucikan hati dan perbuatan, sedangkan harta disucikan melalui zakat fitrah. Hal ini adalah hikmah puasa yang sering terlupakan.

Selanjutnya disebut bulan Syawal, yang artinya meningkat. Keberhasilan puasa Ramadhan dapat dilihat pada Syawal. Jika kebiasaan-kebiasaan baik selama Ramadhan mampu diistiqamahkan pada Syawal dan seterusnya, maka puasanya berhasil. Intinya, setelah puasa menjadi pribadi yang lebih baik.

Indikator keberhasilan puasa dapat dilihat dari penambahan ketakwaan. Karena tujuan akhir dari puasa adalah agar semakin bertakwa.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)

 

Sumber: Majalah Al Falah Edisi Mei 2019
Naskah: Habibi
Editor: Ayu SM

Baca Juga:

Bayar Zakat untuk Orang yang Meninggal | YDSF

Perbedaan Zakat, Infaq, dan Sedekah | YDSF

Kondisi Masjid vs. Mall di Akhir Ramadhan | YDSF

Perbedaan Pahala Shalat di Masjid dan Mushola | YDSF

Tips Memakmurkan Masjid | YDSF

Tips Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak | YDSF

Pintu Dosa di Era Digital | YDSF

Waspadai Perkara Perusak Amal | YDSF

Tips Menghafal Al Quran Otodidak | YDSF

Adab Terhadap Alquran | YDSF 

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: