Ramadhan di Indonesia sama artinya persaingan antara dua kutub yang berlawanan. Masjid sebagai tempat peribadatan. Dan pasar sebagai tempat perbelanjaan. Dua kutub ini saya katakan bersaing, karena sama-sama menyedot massa dalam jumlah besar.
Secara umum, masjid memenangkan persaingan di periode-periode awal ramadhan.Karena gairah masyarakat menuju masjid benar-benar meninggi. Tapi di periode akhir Ramadhan, bisa dilihat bagaimana pasar semakin ramai dan mall sangat padat. Memang ada beberapa masjid jauh lebih padat di periode akhir, namun umumnya pasar menjadi pemenangnya.
Pertanyaan utama yang muncul, apa strategi pasar sehingga memenangkan persaingan sengit ini? Apakah hanya karena di masjid pahalanya tidak tampak? Atau karena godaan pasar lebih menggiurkan?
Saya akan mengupas strategi pasar yang diulas di tirto.id. Jika dicermati baik-baik, Ramadhan di Indonesia, genderangnya sudah terasa ketika ada iklan sirup sebelum Ramadhan.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk iklan satu merek sirup di televisi pada 2016 adalah Rp 230 miliar. Ini strategi untuk menyedot branding bahwa menu berbuka puasa adalah sirup.
Jumlah belanja iklan sirup bahkan mengalahkan industri telekomunikasi seperti Telkomsel yang hanya Rp 144 miliar atau XL Axiata yang mencapai Rp 129 miliar. Telkomsel lebih menekankan kepada promo traktir Ramadhan, sedangkan XL Axiata fokus kepada paket data. Gencarnya industri telekomunikasi beriklan karena potensi keluarga ketika Ramadhan dan lebaran saling berkomunikasi cukup tinggi.
Perbandingan jumlah iklan antara industri makanan dan telekomunikasi sebenarnya mencerminkan betapa besarnya mereka mengkampanyekan produknya hanya untuk menghadapi kesempatan selama satu bulan.
Memanfaatkan momentum berbuka puasa dipahami sebagai kesempatan besar meraup untung. Padahal dana yang tercantum baru di satu media saja. Belum tercantum media cetak dan lain sebagainya.
Paket Kegiatan Masjid Ala Iklan
Bagaimana dengan promosi menghadapi Ramadhan di masjid-masjid? Saya akan menggambarkan semaraknya Ramadhan di Masjid Jogokariyan, Jogjakarta, di 2016 dari sebuah posting di majelis taklim Nur Hidayah.
Setiap waktu shalat di masjid ini selalu semarak hingga akhir Ramadhan. Untuk berbuka puasa saja, masjid ini setiap harinya menyediakan 1.000 porsi lebih. Padahal hasil kunjungan saya ke masjid ini, jumlah jamaah jika penuh berjumlah 600, kecuali jika halaman parkir digunakan. Artinya animo hadir melebihi kapasitas, hampir dua kali lipat.
Tarawih di masjid ini juga ada paketnya, seperti paket telepon. Ada tarawih ala Gaza yang empat hari pertama Ramadhan bekerja sama dengan masjid Al Aqsha untuk mendatangkan syeikh dari Palestina. Jadi serasa seperti shalat di Gaza.
Tidak hanya itu. Ada juga tarawih ala Madinah. Kali ini bukan berarti syeikhnya dari Madinah. Tapi bacaan imamnya bagus, dengan jumlah bacaan satu malam satu juz. Sehingga serasa seperti di Madinah. Iktikaf juga ada paketnya, sepuluh malam terakhir disediakan tempat bermalam. Ada menu sahur, berbuka, dan ustadz-ustadz pengisi kajian yang bagus.
Sore hari menjelang buka, lagi-lagi ada paketannya. Jika ada masjid yang menyukai ustadz dengan gaya tertentu, di masjid ini justru disediakan menu lesehan sore. Menu pertama, es Doger yang artinya semua suka dongeng Geeer. Menu ini berisi pendongeng anak-anak yang lucu dan bermakna.
Menu selanjutnya Kolag, kajian obrolan dan lagu. Yang hadir adalah tim nasyid dan musisi Islami. Ada juga menu Kicak, kajian kocak, dengan menghadirkan ustadz-ustadz yang lucu dan menggelitik perut dalam penyampaiannya. Anda cukup memilih saja.
Hasilnya, wow. Yang hadir mengalahkan mall, sebelum subuh pun ramai. Artinya apa yang diusahakan oleh pasar dan masjid dalam mengkampanyekan momen Ramadhan akan sebanding dengan hasil. Persoalannya adalah ketika masjid tidak mengkampanyekan Ramadhan, atau memiliki pelayanan buruk. Jadwal imam sudah ada, tapi imamnya tidak hadir.
Magrib mampir hanya tersedia air putih. Pertanyaannya, bagaimana orang tertarik untuk berkunjung ke masjid? Apa Strategi Masjid?
Puncak persaingan adalah 10 hari akhir bulan ramadhan. Di masa ini, harga-harga kebutuhan primer atau pun sekunder sebenarnya naik. Saya sendiri pernah berbicara dengan pedagang di pasar, “Menjelang lebaran, kami jual baju yang biasanya harga Rp 150 ribu, jadi Rp 200 ribu tetap laku.”
Perlu diingat, pemasukan dari Tunjangan Hari Raya (THR) juga menambah pundi-pundi pendapatan masyarakat. Logikanya, masjid harusnya menang karena pundi-pundi amal di masjid tidak semahal di pasar. Contohnya, harga satu baju Rp 150 ribu, padahal untuk infaq takjil di masjid dengan jumlah uang sama bisa mendapatkan 10 porsi. Tapi agresivitas pasar terkadang membalikkan keadaan.
Naif rasanya ketika masjid tidak ramai hanya menyalahkan jamaah yang beralih ke pasar. Tapi tidak pernah bertanya daya tarik apa yang sudah ditanamkan di masjid agar mampu mengalahkan pasar. Kalau hanya untuk persoalan dunia diiklankan habis-habisan, kenapa yang untuk akhirat diiklankan setengah-setengah?
Kita harus menaruh hormat kepada pendiri negeri ini yang meletakkan masjid selalu bersebelahan dengan alun-alun dan pusat pemerintahan. Mereka menghendaki masjid sebagai pusat kegiatan bangsa Indonesia. Tinggal kita meneruskan agar menjadi jauh lebih menarik dari pasar.
Dikutip dari: Majalah Al Falah Edisi Juni 2017
Penulis: Ma’mun Afani, M. Ud (Wakil Direktur YDSF Surabaya)
Baca Juga:
Kondisi Masjid vs. Mall di Akhir Ramadhan | YDSF
Perbedaan Pahala Shalat di Masjid dan Mushola | YDSF
Tips Memakmurkan Masjid | YDSF
Tips Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak | YDSF
Pintu Dosa di Era Digital | YDSF
Waspadai Perkara Perusak Amal | YDSF
Tips Menghafal Al Quran Otodidak | YDSF
Belajar Membaca Alquran di Masa Rasulullah SAW | YSDF