Tidaklah mudah bagi Muslicha, membesarkan lima anaknya tanpa
sosok suami sebagai pencari nafkah. Apalagi saat harga kebutuhan pokok kian
mahal. Namun, demi masa depan buah hatinya, warga Balas Klumprik, Wiyung,
Surabaya ini harus banting tulang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejak sang suami meninggal karena sakit liver pada akhir
tahun 2017 lalu, Lika, sapaan akrabnya, praktis menjadi tulang punggung
keluarga. “Merasakan jatuh bangunnya ditinggal suami ya di situ. Tidak pernah
bekerja, tiba-tiba ditinggal suami dengan lima anak,” tutur perempuan 35 tahun
ini.
Semasa hidup, suaminya bekerja sebagai polisi cepek di
persimpangan jalan dekat rumah kontrakannya. Lika membantu suaminya dengan
menjadi pembantu rumah tangga. Memang, hasilnya tidak seberapa. Tapi setidaknya
bisa sedikit meringankan beban suami. Setelah suaminya meninggal, tanggung
jawab menafkahi keluarga berpindah ke pundaknya.
Sebenarnya, Muslicha sudah terbiasa hidup sederhana. Rumah
yang ia tinggali hanya ngontrak, Rp500.000/bulan. Itu belum biaya listrik dan
air. Dulu bisa sedikit tenang karena masih ada suami yang memberinya nafkah.
Hidupnya langsung berubah drastis sepeninggal suami.
Suami Meninggal
“Suami saya perginya mendadak. Tanggal 25 sakit, tanggal 28
meninggal. Padahal sebelumnya tidak ada tandatanda mau sakit,” kenangnya.
Muslicha sempat pesimis menjalani hidupnya. Di benaknya,
bagaimana mungkin seorang perempuan bisa menghidupi lima anak sendirian. Lima
anaknya pun masih kecilkecil: Hilwa (18 tahun), Adelicha (14), Aqlun (12),
Ibrahim (4), dan Bilal (2 tahun).
Beruntungnya Muslicha kenal dengan Ustadz dan Ustadzah yang
senantisa menguatkannya. “Wies ta yakin, kuncine yakin. Kalo sampean yakin
pasti bisa,” ucapnya menirukan nasihat ustadzahnya.
Setiap ada masalah memang selalu ia adukan ustadzah yang
membimbingnya. Ustadzahnya pun selalu mengingatkan agar Muslicha tetap kuat dan
percaya pada takdir Allah. “Cuma segini kok nyerah, Allah memberi cobaan
seperti ini berarti Allah menganggap saya mampu,” renungnya.
Ketika suaminya meninggal, saudaranya berencana membantu
dengan cara mengasuh salah satu anaknya. Di mata saudaranya, Muslicha tidak
mungkin bisa menghidupi kelima anaknya sendirian. Mereka ingin membantu dengan
mengasuh salah satu anaknya. Tetapi Muslicha menolak. Karena ia tidak mau
dipisahkan dengan anaknya.
“Kalau mau membantu silakan. Tapi jangan pisahkan aku dengan
anak-anakku,” kenangnya.
Baca juga: Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Memulai Usaha
Muslicha pun mulai bangkit. Ia mencoba usaha cuci alias
laundry. Namun belum berhasil. Ia sempat mencoba jualan nasi di pujasera Balas
Klumprik. Sewa stand Rp500.000/bulan, tentu bukan harga yang murah baginya.
Tiga bulan pertama usahanya lumayan menjanjikan. Sampai akhirnya pemilik
pujasera menaikkan sewa stand menjadi Rp600.000/ bulan. Akhirnya ia memutuskan
tidak melanjutkan usahanya. Rombong yang ia gunakan jualan ia sewakan, 100.000/
bulan.
Muslicha disarankan oleh ustadzahnya untuk menghubungi YDSF
Surabaya. Akhirnya ia mendapat bantuan rombong baru dari YDSF. Rombong inilah
yang ia gunakan untuk berjualan. Ia berjualan sosis, tempura, dan minuman
ringan lainnya di dekat SMA N 22
Surabaya. Ia dibantu kedua anaknya, Adelicha dan Aqlun. Mereka bergantian
menjaga rombong milik ibunya. Adelicha sekolah di SMP 51 Surabaya, masuk siang.
Sehinggga paginya bisa membantu ibunya. Ketika Adelicha sekolah, Aqlun yang
kelas enam SD bergantian menjaga.
Selain berjualan makanan ringan, sejak dua bulan ini
Muslicha juga bekerja sebagai pembantu di warung makan depan kontrakannya. Pagi
setelah dhuhur sampai jam delapan adalah saat paling ramai orang mencari
sarapan. Muslicha membantu mulai masak sampai melayani pembeli.
Setelah agak siang, orang-orang mulai bekerja, warung mulai sepi, Muslicha pulang untuk
menengok anak-anaknya. Ketika jam makan siang ia kembali lagi ke warung. Ketika
sore, warung akan tutup, ia ikut membantu bersih-bersih warung. Dari pekerjaannya ini ia digaji
30.000/hari. Mungkin bukan jumlah yang banyak. Tapi itu sudah cukup membuat ia
bahagia. Setidaknya dapat menyambung hidup diri dan keluarga.
Tidak hanya bekerja, pemilik warung juga menawari Muslicha
untuk menitipkan jualan di sana. Kesempatan ini tidak ia sia-siakan, ia pun
membuat sayur-sayur, manisan, telur puyuh, ati ampela, semua ia titipkan di warung. Dengan sistem bagi
hasil sehingga tidak membutuhkan modal yang besar.
Selain rombong, YDSF juga memberikan beasiswa Pena Bangsa
kepada anaknya. “Alhamdulillah bisa membantu, kadang beasiswa Pena Bangsa saya
gunakan untuk keperluan lainnya. Mana yang paling membutuhkan,” pengakuannya.
Baca juga: Kisah Sukses Mahasiswa Penerima Beasiswa Pena Bangsa YDSF
Mengutamakan
Dengan kondisinya saat ini, untuk kebutuhan makan seharihari
saja sudah kualahan, apalagi untuk sekolah. Ia pun tidak bisa bekerja jauh-jauh
karena harus mengurus anak-anaknya. Ibu mana yang rela menelantarkan anaknya.
Ia pun bekerja demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya.
Muslicha lahir di Surabaya. Tetapi ia tidak memiliki KTP
Surabaya. Karena orangtuanya pindak ke Gresik dan suaminya berasal dari
Sidoarjo. Ia sempat kesulitan mengurus administrasi untuk pembutan KTP karena
tidak punya alamat tetap. Sampai akhirnya ia dibantu oleh Ketua RT setempat
yang bersedia mencantumkan alamatnya untuk pembutan KK dan KTP bagi Muslicha.
Beruntung kini ia sudah mendapatkan KTP Surabaya, sehingga
ia bisa mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mencari beasiswa
bagi anaknya. Ia pun juga mengurus BPJS kesehatan untuk anak-anaknya. Agar kesehatan mereka terjamin.
“Pokok iki tak urus sekolahe sama kesehatane. Aku karek
golek mangan karo omah. Kalo ada apa-apa sama saya anak-anak sudah bisa mandiri. BPJS ikut
pemkot, tidak membayar. Tak siapno anakku. Bojoku seng sehat ae isok
meninggal” ujarnya sambil mengusap air mata.
“Setidaknya pendidikan mereka terjamin. Intinya aku ojok
dipisahno karo anak-anak. Mohon doanya agar bisa kuat, bisa kumpul terus
sama anak-anak” tutupnya.
Sumber: Majalah
Al Falah Edisi 2018
Sedekah Mudah:
Artikel Terkait:
Cerita di Balik Panti Asuhan Al Hasan, "Penampung Bayi Terbuang" | YDSF
Kisah Qurban di Kawasan Minoritas Muslim | YDSF
Berdakwah di Pinggiran Jombang melalui Qurban YDSF
Kisah Mualaf: Islam Agama Tanpa Celah | YDSF
Inilah Kunci Sukses Bunda Yatim Mendidik Anak | YDSF
Meski Telah Sukses, Pengusaha Tahu Susu Ini Terus Gemar Berbagi | YDSF
Kisah Mualaf, Musibah Membuatku Hijrah | YDSF