Aku Cleo. Lengkapnya Maria Cleo Embun Nada. Dulu aku seorang Katolik. Bahkan dulu aku adalah seorang Putra Altar. Mungkin terdengar asing bagi kalian apa itu Putra Altar. Mereka adalah sekelompok pemuda yang selalu melayani Pastor selama Misa berlangsung.
Berbeda di Islam yang hanya memiliki Remaja Masjid (Remas). Di agamaku dulu, Remas kami dinamakan Mudika, namun levelnya masih berada di bawah Putra Altar. Tidak semua Mudika bisa lolos menjadi Putra Altar. Namun, hampir semua Mudika adalah Putra Altar. Jadi bisa dibayangkan bagaimana dekatnya aku dengan agamaku dulu.
Sayangnya, meski kehidupan dalam gereja terlihat bagus, namun dalam sosial belum tentu bagus. Jika seorang Remas benar-benar menjaga pakaiannya, cara bersikapnya, maka berbeda dengan Putra Altar.
Meski aku seorang Putra Altar, aku masih kerap berpakaian mini kemana-mana, nongkrong hingga larut malam, kata orang sih Anak Gaul Zaman Now Banget. Bukan aku bermaksud menjelekkan, tetapi memang itu yang aku alami.
Memutuskan menjadi seorang mualaf memang tidak mudah bagiku. Berawal dari mamaku yang telah menjadi seorang muslim sebelumnya, aku sempat tidak saling menyapa dengan beliau. Hampir setahun kami seperti orang yang tak saling kenal. Jangankan menyapa, berpandangan saja kami enggan.
Resah, tentu aku rasakan. Perpindahan keyakinan yang dilakukan mamaku tentu saja menimbulkan percikan-percikan dalam keluarga kami. Namun, aku mengesampingkan semuanya. Karena aku merasa, masih banyak orang yang peduli denganku.
Hingga suatu ketika, saat aku datang pada waktu ibadah di gereja, aku merasa dikucilkan. Ya. Isu tentang berpindahnya mamaku menjadi seorang muslim sudah sampai ke telinga teman-teman gerejaku.
Mereka yang dulu begitu ramah, senyumnya kemudian tak indah. Teman-teman yang dulunya begitu dekat, memandangku dengan tatapan yang tak hangat. Tak nyaman aku rasakan. Gundah pun datang menghampiri.
“Buat apa aku beribadah, tapi dikucilkan oleh lingkunganku,” gumamku.
Menurutku ini musibah, aku yang dulunya sangat gaul mendadak menjadi orang asing di tengah teman-temanku sendiri.
Akhirnya, aku tak lagi datang ke gereja. Ibadah pun juga tidak. Aku ingat aku masih memiliki ibu, mamaku. Orang yang akan selalu memelukku apa pun yang terjadi.
Gengsi? Jangan ditanya. Pasti ada masa-masa malu dan gengsi saat awal-awal aku kembali menyapa mama. Tapi, mamaku justru memelukku dengan erat.
Aku pun akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Di usiaku yang masih cukup belia saat itu, 20 tahun, aku mengutarakan niat tersebut pada mama. Berbeda dengan orangtua pada umumnya, justru mama belum mengizinkanku saat itu.
“Islam itu ndak enak lho, pagi-pagi harus shalat subuh, harus puasa, ndak boleh pacaran, banyak ndak enaknya. Yakin ta masih mau masuk Islam?” tanya mamaku lagi hingga pintaku yang kedua kalinya. Masih sama. Ditolak.
Aku teringat akan sahabatku. Dia seorang muslim. Kuceritakan apa yang kualami, serta niatku. Senang dia mendengarnya. Bahkan dari sahabatku pula lah aku banyak belajar tentang Islam.
Kuulangi lagi mengutarakan niatku untuk menjadi muslim yang ketiga kalinya pada mama. Bahkan aku juga bilang setelah syahadat kuucap, hijab akan aku kenakan. Sontak mamaku tersentuh dan haru mendengarnya.
Baca juga: Kisah Mualaf dari Ausi, Terlahir Tak Kenal Tuhan | YDSF
Dibimbingnya aku untuk lebih mantap masuk Islam. Aku pun berikrar satu bulan sebelum mamaku menikah lagi. Tepatnya tahun 2015. Bersamaan dengan mama, karena sebelumnya mama belum melegalkan statusnya sebagai seorang muslim.
Lega dan tenang. Banyak perubahan dalam diri yang aku rasakan. Meski baru beberapa hari menjadi seorang muslim.
Baru tiga bulan aku menjadi seorang muslim, musibah kembali datang. Donatur yang dulunya membantu biaya kuliahku, mencabut bantuannya. Kabarku menjadi muslim didengarnya. Tangisan pun tak henti berkucuran. Pilu kurasakan.
Sempat aku berpikir untuk tidak melanjutkan pendidikanku. Aku tak mau membebani mama untuk harus menanggung biaya pendidikan yang cukup besar itu. Bahkan sempat aku berpikir untuk mundur dan kembali memeluk Islam setelah pendidikanku usai.
Mama, selalu menjadi sandaran. Dan selalu menguatkan. Mama selalu berpesan bahwa Allah akan menggantikan nikmat lain yang lebih baik dari apa yang Ia ambil, tidak perlu takut, yakin sama Allah. Aku pun berusaha memegang pesan mama.
Benar. Tak butuh waktu lama, Allah pun mengirimkan donatur lain kepadaku. Akhirnya aku pun bisa melanjutkan pendidikanku.
Dari sanalah semangat hijrahku semakin menggebu. Ditambah lagi dukungan mama dan ayah sambungku yang tak bosan mengingatkan dan membimbingku mengenal Islam.
Islam itu indah? Sangat. Sejak menjadi muslim, pola hidupku berubah. Aku yang dulunya selalu pulang larut, kini memiliki banyak waktu bersama keluarga. Menjadi lebih dekat dengan mama daripada sebelumnya.
Bersyukur selalu kupanjatkan pada Allah. Meski aku baru memeluk Islam aku sudah bisa merasakan nikmat hijab. Dengan hijab, aku merasa lebih terhormat. Pandangan orang lain terhadapku pun berubah. Mata mereka seolah menunjukkan kesopanan. Tentu sangat berbeda dengan si Cleo yang dulu hobi berpakaian mini.
Melalui tulisan ini ada pesan yang ingin kusampaikan kepada para pembaca. Yakinlah pada Allah bahwa Dia baik dan akan selalu mempermudah urusan kita selama kia selalu berada dalam jalan-Nya. Perjuangan untuk bisa selalu lurus memang berat. Namun, yakinlah bahwa Allah selalu dekat.
Sumber Majalah Al Falah Edisi Desember 2018
Baca juga:
KISAH BERTEMUNYA SAHABAT DENGAN SANG PENGEMIS
Kisah Keluarga Teladan dalam Al Quran | YDSF
Kisah Mualaf: Islam Agama Tanpa Celah | YDSF
ANAK MUDA DI RUMAH ALLAH | YDSF