Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF

Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF

24 Juni 2019

Di antara para pembaca sekalian, adakah yang sudah pernah mendaki Jabal Nur? Bagi yang sudah, barangkali ia akan langsung mengingat sebuah gunung bebatuan seukuran bukit setinggi kira-kira 640 meter yang saat ini sudah ‘difasilitasi’ dengan anak-anak tangga hingga puncaknya.

Terjal, tinggi, dikelilingi batu-batu cadas di sekitarnya, dengan monyet-monyet yang menonton (atau sebaliknya) ketika matahari sudah sedikit meninggi. Tentu saja pemandangan indah saat mendaki hingga mencapai puncak akan tersuguhkan gratis bagi yang ingin berlelah serta berkeringat mendaki gunung tempat Malaikat Jibril menapakkan kaki dan menyampaikan wahyu pertama kepada Sang Nabi.

Rasa lelah, penat, serta keringat yang tercurah akan terbayar kontan dengan perasaan yang bercampur aduk antara senang, haru, takjub, dan kepuasan batin yang susah digambarkan ketika sudah sampai di puncak ‘Gunung Cahaya’.

Adakah yang sudah pernah merasakan sensasi seperti itu? Bagi yang belum, semoga Allah segerakan. Bagi yang sudah, maka tiada kalimat lain yang pantas kita ucapkan selain, ‘Alhamdulillahi alladzi bini’matihi tatimmus shalihat‘, segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya tersempurnakan segala kebaikan.

Ya! Itulah inti dari tema kita kali ini, bahkan tema kehidupan kita seluruhnya, tentang syukur kita dalam menjalani hidup di dunia yang sementara, bukan hanya saat mendaki Jabal Nur sampai ke Gua Hira. Namun selama nafas kita berhembus, nadi kita berdenyut, jantung kita berdetak hingga raga kita berkalang tanah.

Ibarat mendaki sebuah gunung, syukur adalah tangga-tangga kecil yang telah tersedia yang akan membawa kita ke puncak keberuntungan. Apakah ada jalan lainnya? Tidak ada. Semua hanya tentang syukur, syukur, dan syukur. Tugas kita sebagai hamba hanyalah terus bersyukur hingga kita tidak tahu lagi bagaimana harus bersyukur.

Bagi seorang hamba, syukur bagaikan tangga yang akan membawa pendakinya ke tempat tertinggi dari tingkat kesyukuran. Saat ia menapaki tangga pertama dari syukur, maka tangga itulah yang akan membawanya ke tangga berikutnya. Begitu seterusnya tangga syukur saling bersambut hingga batas terakhir tangga yang dipijaknya.

Makna Syukur

Sebagian ulama memaknai syukur dengan pengakuan atas nikmat dengan sepenuh hati. Ibnul Qoyyim mendefinisikan syukur dalam kitab Madarij Al Salikin dengan tertampaknya bekas nikmat pada lisan seorang hamba dengan pujian dan pengakuan, pada hatinya dengan penyaksian dan kecintaan, serta pada anggota badannya dengan kepatuhan dan ketaatan.

Nampaknya akan panjang lebar jika kita membahas tentang makna dan definisi syukur secara menyeluruh. Cukuplah satu definisi yang mungkin akan bisa mewakili maksud saya di sini. Adalah Al Farahidi dalam kitab Al Ain, sependapat dengan Al Laith, Ibn Manzhur dan Muhammad bin Ashur, mengatakan bahwa syukur berarti Irfan Al Ihsan (mengetahui atau mengenal kebaikan).

Artinya, agar kita mampu bersyukur kita harus melihat dan mengenal kebaikan-kebaikan yang ada pada diri kita. Dari mana datangnya, siapa pemberinya, serta untuk apa manfaatnya?

Pertanyaannya, berapa banyak kebaikan yang kita miliki? Itulah sebabnya, mengapa kita tidak pantas mengeluh dalam kondisi apa pun, apa lagi kufur atau ingkar atas nikmat yang ada.

Orang yang beruntung adalah orang yang ‘leppek’ (pandai memanjat) dalam mendaki kesyukuran. “... Dan Kami akan membalas orangorang yang bersyukur.”, begitulah Allah Swt mengabarkan dalam Al Quran surah Ali Imran ayat 145. Saya berani memastikan bahwa balasan Allah pada orang-orang yang bersyukur akan begitu indah. Lengkapnya:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Sampai di sini, mungkin masih ada yang bertanya, apa kaitan syukur dengan mendaki Jabal Nur? Sejujurnya, ide tentang tema ini muncul saat saya mendaki Jabal Nur bersama salah seorang sahabat lama yang sedang melaksanakan ibadah umrah.

Dengan perasaan penuh syukur, bersama orang yang saya yakin tingkat kesyukurannya sudah berpuluh atau mungkin beratus kali tangga di atas saya, saya ingin menggambarkan betapa syukur itu indah dan menyenangkan jika kita pandai menikmatinya, meskipun akan terasa berat dan melelahkan saat menjalankannya.

Persis saat kami mendaki Jabal Nur saat itu. Namun, keindahan dan kesenangan yang kita dapat saat bersyukur justru akan terus membuat kita kembali bersyukur lagi, lagi, dan lagi. Bersyukur saja terus, toh bersyukur banyak untungnya.

Betapa Rasulullah saw. juga telah mengajarkan kita bagaimana seharusnya bersyukur ketika mengatakan, “Apakah tidak pantas bagiku menjadi hamba yang bersyukur?” ketika ditanya ibunda Aisyah perihal ibadahnya yang ‘semakin menjadi’ meski telah terjamin surga.

Nabi saw. juga mengajarkan kita sebuah doa yang begitu indah dan lugas, “Ya Allah!, tolonglah hamba ini agar mampu berzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu, dan sebaik-baik beribadah kepadaMu.”

 

Oleh: Imam Gazali
(Alumnus Mahad An Nuaimy Jakarta, kini menetap di Mekkah)

Editor: Ayu SM

 

Baca Juga:

Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF

Hakikat dan Keutamaan Silaturahim

Semangat Ramadhan Selepas Idul Fitri

Mendahulukan Qada’ Puasa, Lalu Puasa Syawal | YDSF

Keutamaan Puasa Syawal | YDSF

Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF

Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: