Penerapan sistem ekonomi global yang liberal dan kapitalistik hampir pasti akan melahirkan kesenjangan ekonomi di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Kecenderungan yang kaya makin kaya yang miskin makin terjepit adalah sebuah keniscayaan yang sulit dihindari di negeri ini. Di situlah harusnya negara ‘hadir’ karena mendapat mandat untuk mempersempit kesenjangan tersebut dengan regulasi dan kebijakan ekonomi yang memihak yang lemah: fakir dan miskin. Itulah yang sebenarnya menjadi amanah Pancasila dan UUD 1945.
Jika negara tidak hadir sebagai ‘polisi’ penjaga keadilan ekonomi dan hukum, maka jangan salahkan rakyat kalau mereka bertindak sesuai dengan gaya, selera dan cara berpikir masing-masing yang oleh negara cenderung dicap provokatif, intoleran dan radikal.
Pemerintah Jokowi-JK sesungguhnya mengakui akan adanya kesenjangan ekonomi di negeri ini, yang tercermin dalam koefisien GINI ratio (0,43) dan mengakui bahayanya. Belajar dari fakta sejarah bahwa jika GINI ratio lebih besar 0,45, maka potensial akan terjadi kerusuhan. Hal ini pernah memicu
kerusuhan di negara kita 1998 dan juga di beberapa negara kawasan Timur Tengah. Fenomena ini bukanlah temuan teori sosial
baru. Karena 15 abad lalu Rasulullah saw. pernah mengingatkan, “Adalah kefakiran (kemiskinan) itu cenderung membuat
kekufuran.”
Orang mukmin itu
harusnya kuat, baik iman, ilmu maupun ekonomi. Terbukti kekuatan santri dan ulama yang mampu mengusir penjajah dan
menghantarkan kemerdekaan NKRI saat itu, pada saat ketika nama TNI belum dikenal. Naifnya, sekarang umat kita sekarang dhuafa (lemah dan dilemahkan). Untuk mengembalikan peran umat islam yang
telah berjasa melahirkan NKRI, maka kata kuncinya adalah menyiapkan pemimpin bangsa dari masjid.
Pareto
kepemimpinan menegaskan, nasib suatu kaum atau negeri 80 persen ditentukan oleh siapa pemimpin. Hal yang sama berlaku bagi nasib suatu provinsi, organisasi, korporasi atau institusi. Teori ini diperkuat dengan penelitian Kauses dan Postner yang meneliti 10 negara maju, mengapa mereka bisa maju dikaitkan dengan karakter presiden pilihannya. Yang menarik urutan tertinggi adalah honesty (shiddiq), visioner (amanah), competence
(fathonah) dan inspiring
(tabligh).
Contoh paling mudah adalah membandingkan tiga negara di Pulau Borneo, dulunya nenek moyangnya dan hasil buminya adalah sama. Tapi setelah merdeka dengan sistem pemerintahan dan manajemen yang berbeda, hasil kemakmurannya berbeda signifikan. Dan Indonesia ternyata yang paling sengsara, meski paling tua merdekanya dan paling luas wilayahnya. Semua itu tidak bisa lepas dari faktor kepemimpinan.
Pada tataran doa, umat Islam masih berharap anak cucunya menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al Furqan 74). Namun pada praktiknya banyak orangtua yang menurunkan standar impian anaknya menjadi pekerja saja. Yang penting anak-cucunya bisa sekolah dan kuliah di perguruan tinggi terbaik, bekerja dan terus menikah. Setelah itu orang tua merasa selesai tugasnya.
Baca juga:
5
Tips Membersihkan Hati, Pikiran, dan Niat | YDSF
Mengenal
Istilah-istilah dalam Wakaf | YDSF
Tidak mengherankan kalau umat dan bangsa besar ini telah terjadi krisis kepemimpinan. Kalaupun
ada pemimpin, kualifikasinya benar-benar memprihatinkan. Pada skala Indonesia bisa bandingkan antara Soekarno, Hatta, Natsir, Syafruddin, Agus Salim, Hamka dengan pemimpin sekarang?
Penulis yakin
pemimpin dari masjid mempunyai jiwa muslih, artinya mempunyai keterpanggilan untuk amar ma’ruf nahi munkar, tidak hanya baik
(shalih) untuk dirinya sendiri. Muslih adalah suatu karakter
dasar yang diperlukan bagi pemimpin penyelamat bangsa.
Teori yang
menjelaskan bagaimana pemimpin bangsa dilahirkan, belakangan terkoreksi oleh era Simulacra. Sebuah industri politik yang masif dan sistematis dengan simulasi cyber technology sedemikian rupa sehingga seseorang yang tidak dikenal bibit, bobot dan bebet-nya tiba-tiba bisa menjadi tokoh yang sangat popular dan terpilih menjadi presiden. Setelah beberapa tahun memimpin baru rakyat merasakan, lho kok tatanan kenegaraan tambah tidak karuan seperti ini? Seolah rakyat merasa
tertipu. Siapa yang menipu? Itulah
rekayasa simulasi IT Simulacra.
Proyek Dakwah
Bersama
Mengimbangi fenomena
Simulacra itu mestinya masjid mengambil alih peran kepemimpinan. Mengapa harus masjid? Sejak zaman nabi, hal tersulit menemukan kriteria pemimpin yang benar-benar mukmin dan mujahid adalah memisahkan dari kriteria munafik. Hal ini bisa diselesaikan oleh komunitas masjid. Orang yang aktif dan istiqomah berjamaah lima waktu dipastikan bukanlah termasuk orang munafik. Karena ciri munafik adalah apabila diseru untuk shalat maka dia berdiri dengan malas (QS. An Nisa 142). Dan hal terberat bagi orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh.
Pemberdayaan kompetensi kepemimpinan masjid perlu ada proyek bersama, berupa kegiatan sosial dan ekonomi (non-ritual) yang mampu mengasah ruh jihad dan menjadi ajang bimbingan lahirnya pemimpin berbasis masjid. Belajar dari sukses aksi damai dan kemenangan Pilkada DKI, mestinya komunitas masjid lebih percaya diri. Karena
kiprahnya telah terbukti mampu
menggerakkan aksi damai terbesar di negara
ini atau bahkan di dunia, dan telah
mampu memenangkan pemilu DKI atas
izin Allah Swt. Tinggallah merawat semangat
jihad itu demi menyiapkan lahirnya pemimpin-pemimpin
berikutnya di seluruh Indonesia. Semoga.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Agustus 2017
Program Bantu Bangun Masjid di YDSF
Sedekah Mudah di YDSF
Artikel Terkait:
Efektivitas Penggunaan Waktu | YDSF
SEMUA BISA BERWAKAF, JADIKAN UMAT SEMAKIN BERMATABAT | YDSF
Mengapa Perlu Sertifikat Halal? | YDSF
WAKAF DARI HARTA YANG PALING DICINTAI | YDSF
Fenomena Bercanda Aib Berujung Bully | YDSF
ZAKAT DARI HASIL GAJI | YDSF
Jual Beli Kucing dalam Islam | YDSF