Sebuah pertanyaan menggelitik muncul seiring dengan
pemberlakuan kebijakan mengapa perlu ada sertifikasi halal, mengikuti UU No. 33 tahun 2014 yang
sudah mulai berjalan. Pertanyaan itu kurang lebih seperti yang ada dalam judul
tulisan ini.
Ajaran Islam memang mempunyai spirit memberikan kemudahan.
Sifat mudah itu merupakan bagian dari karakter Islam yang menjadi rahmat bagi
seluruh alam.
Sebagaimana dalam QS. al-Hajj [22]: 78 Allah Swt berfirman:
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS al-Hajj [22]: 78)
Dalam QS. Thaha, Allah Swt. juga menjelaskan bahwa Islam
tidak diturunkan untuk menjadikan susah.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu
agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut
(kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang
tinggi.” (QS Thâhâ [20]: 1-4)
Lalu di dalam QS. al-Baqarah, terkait dengan puasa Allah
berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 185)
Rasulullah Saw juga menyampaikan: “Sesungguhnya kalian
diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberikan kesulitan.”
(HR al-Bukhari, al[1]Tirmidzi dan Ahmad)
Dan masih banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang
menjelaskan atau menyatakan Islam itu mudah.
Namun perlu diberi catatan, adanya prinsip menyedikitkan
beban, tidaklah berarti berislam itu menjadi bebas dari pembebanan. Tentu tidak
demikian. Beban yang diberikan oleh syari’at kepada manusia seperti shalat,
puasa, haji dan sebagainya, semua diberikan dalam batas yang mampu ditunaikan.
Oleh sebab itu, jika kondisi-kondisi tertentu yang melahirkan kesulitan yang
memberatkan, maka ada keringanan atau rukhshah. Misalnya dalam kondisi sakit diperbolehkan
membatalkan puasa dan mengganti di waktu yang lain.
Kemudahan ajaran Islam pada dasarnya juga berhubungan dengan
persoalan halal dan haram. Rasulullah bersabda bahwa yang halal itu sudah
jelas, demikian pula yang haram. Yang haram pun telah disebutkan, jumlahnya
hanya beberapa saja, sisanya adalah mubah. Sehingga berlaku kaidah, “asal
sesuatu adalah mubah”. Dengan demikian manusia pada awalnya mudah untuk
memilihnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari
disampaikan, ada sekelompok orang bertanya pada Rasulullah saw. perihal daging
yang mereka terima yang tidak diketahui kejelasannya apakah dibacakan basmalah
atau tidak saat menyembelih. Merespon pertanyaan itu, Rasulullah tidak
memerintahkan membuang daging itu, tetapi meminta untuk membacakan basmalah dan
mengkonsumsinya. Hal ini memberikan gambaran kemudahan Islam dalam memberikan
penyelesaian terkait masalah halal dan haram.
Baca juga: Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF
Ibnu Shalah, pernah ditanya perihal kain jukh yang diduga
terkontaminasi dengan lemak babi saat pembuatannya. Beliau menjawab, hal
tersebut tidak bisadihukumi najis selama belum terbukti nyata hal itu terjadi.
Hal ini karena kaidahnya jika ada benda yang asalnya suci namun kemudian ada
dugaan terkena najis tapi belum diketahui secara pasti, maka yang diunggulkan
bahwa benda tersebut dihukumi suci, bukan najis. (lihat: I’anat al-Thalibin
I/hlm. 104-105).
Namun demikian, fenomena global memperlihatkan adanya
masalah baru, yaitu beredarnya produk-produk pangan dari berbagai penjuru
secara lebih masif tanpa bisa dibatasi, termasuk produk yang dibuat di
wilayah-wilayah non-Muslim. Di antara produk yang beredar terdapat produk
hewani dan turunannya seperti daging, lemak, dan bahan-bahan turunan lemak,
yang bagi umat Islam perlu perhatian tersendiri.
Persoalan menjadi semakin komplek karena bersamaan dengan
itu, terjadi perkembangan pesat teknologi pangan, sedangkan yang mengendalikan
tidak semua orang Islam. Diduga kuat adanya pengolahan secara bersama-sama
antara bahan-bahan haram atau najis dengan bahan-bahan yang jelas halal untuk
menjadi produk-produk olahan.
Fenomena baru ini telah memicu persoalan yang rumit yaitu
adanya kemungkinan terjadinya ikhtilȃth (percampuran) antara yang halal
dan yang haram, antara yang suci dan yang najis. Lebih-lebih bila produk-produk
olahan atau bahan baku tersebut dibuat di negeri yang mayoritas penduduknya non
muslim.
Fenomena baru inilah yang menginspirasi lahirnya sertifikasi
halal. Tujuan sertifikasi halal adalah melindungi umat Islam dari beredarnya
produk pangan yang tidak jelas kehalalannya. Nabi Muhammad saw. telah memberikan
sinyalemen. Beliau bersabda: di antara halal dan haram ada hal yang samar-samar,
tidak jelas halal haramnya, dan terbatas orang yang mengetahuinya. Dalam hal
ini Nabi Saw. memerintahkan untuk menjauhinya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
diceritakan, bahwa sahabat Abu Tsa'labah Al Khusyani r.a. pernah bertanya
kepada Rasulullah saw. perihal wadah yang dipakai tetangganya yang ahli kitab.
Tetangganya ini sering memasak babi di dalam kuali mereka dan minum khamr dalam
bejana. Rasulullah saw. menyampaikan, jika ada selain itu maka hendaknya makan
dan minum menggunakan yang lain, tetapi jika tidak mendapatkannya, hendaknya
mencucinya dahulu menggunakan air.
Konsep sertifikasi halal adalah konsep penjaminan mutu
berkaitan dengan masalah halal. Harapannya dengan sertifikasi halal kaum
muslimin terhindar dari produk haram atau produk yang meragunakan kehalalan dan
kesuciannya untuk bahan konsumsi mereka.
Zakat di YDSF
Artikel Terkait:
CERMATI HALAL HARAM DI RESTORAN, RUMAH MAKAN, DAN HOTEL | YDSF
Perbedaan Zakat Profesi dan Zakat Pertanian | YDSF
MEMBUAT SERTIFIKASI HALAL TIDAK DI LPPOM MUI | YDSF
Amalan Ibadah Pembuka Pintu Rezeki | YDSF
KANDUNGAN STMJ DAN GINSENG MENGANDUNG ARAK | YDSF
Amanah Rumah Wakaf dari Sepupu yang Meninggal | YDSF
PERBEDAAN ZAKAT, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF