Mengapa Perlu Sertifikat Halal? | YDSF

Mengapa Perlu Sertifikat Halal? | YDSF

13 Juli 2022

Sebuah pertanyaan menggelitik muncul seiring dengan pemberlakuan kebijakan mengapa perlu ada sertifikasi halal, mengikuti UU No. 33 tahun 2014 yang sudah mulai berjalan. Pertanyaan itu kurang lebih seperti yang ada dalam judul tulisan ini.

Ajaran Islam memang mempunyai spirit memberikan kemudahan. Sifat mudah itu merupakan bagian dari karakter Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Sebagaimana dalam QS. al-Hajj [22]: 78 Allah Swt berfirman: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS al-Hajj [22]: 78)

Dalam QS. Thaha, Allah Swt. juga menjelaskan bahwa Islam tidak diturunkan untuk menjadikan susah.

“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” (QS Thâhâ [20]: 1-4)

Lalu di dalam QS. al-Baqarah, terkait dengan puasa Allah berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 185)

Rasulullah Saw juga menyampaikan: “Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (HR al-Bukhari, al[1]Tirmidzi dan Ahmad)

Dan masih banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menjelaskan atau menyatakan Islam itu mudah.

Namun perlu diberi catatan, adanya prinsip menyedikitkan beban, tidaklah berarti berislam itu menjadi bebas dari pembebanan. Tentu tidak demikian. Beban yang diberikan oleh syari’at kepada manusia seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya, semua diberikan dalam batas yang mampu ditunaikan. Oleh sebab itu, jika kondisi-kondisi tertentu yang melahirkan kesulitan yang memberatkan, maka ada keringanan atau rukhshah. Misalnya dalam kondisi sakit diperbolehkan membatalkan puasa dan mengganti di waktu yang lain.

Kemudahan ajaran Islam pada dasarnya juga berhubungan dengan persoalan halal dan haram. Rasulullah bersabda bahwa yang halal itu sudah jelas, demikian pula yang haram. Yang haram pun telah disebutkan, jumlahnya hanya beberapa saja, sisanya adalah mubah. Sehingga berlaku kaidah, “asal sesuatu adalah mubah”. Dengan demikian manusia pada awalnya mudah untuk memilihnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari disampaikan, ada sekelompok orang bertanya pada Rasulullah saw. perihal daging yang mereka terima yang tidak diketahui kejelasannya apakah dibacakan basmalah atau tidak saat menyembelih. Merespon pertanyaan itu, Rasulullah tidak memerintahkan membuang daging itu, tetapi meminta untuk membacakan basmalah dan mengkonsumsinya. Hal ini memberikan gambaran kemudahan Islam dalam memberikan penyelesaian terkait masalah halal dan haram.

Baca juga: Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF

Ibnu Shalah, pernah ditanya perihal kain jukh yang diduga terkontaminasi dengan lemak babi saat pembuatannya. Beliau menjawab, hal tersebut tidak bisadihukumi najis selama belum terbukti nyata hal itu terjadi. Hal ini karena kaidahnya jika ada benda yang asalnya suci namun kemudian ada dugaan terkena najis tapi belum diketahui secara pasti, maka yang diunggulkan bahwa benda tersebut dihukumi suci, bukan najis. (lihat: I’anat al-Thalibin I/hlm. 104-105).

Namun demikian, fenomena global memperlihatkan adanya masalah baru, yaitu beredarnya produk-produk pangan dari berbagai penjuru secara lebih masif tanpa bisa dibatasi, termasuk produk yang dibuat di wilayah-wilayah non-Muslim. Di antara produk yang beredar terdapat produk hewani dan turunannya seperti daging, lemak, dan bahan-bahan turunan lemak, yang bagi umat Islam perlu perhatian tersendiri.

Persoalan menjadi semakin komplek karena bersamaan dengan itu, terjadi perkembangan pesat teknologi pangan, sedangkan yang mengendalikan tidak semua orang Islam. Diduga kuat adanya pengolahan secara bersama-sama antara bahan-bahan haram atau najis dengan bahan-bahan yang jelas halal untuk menjadi produk-produk olahan.

Fenomena baru ini telah memicu persoalan yang rumit yaitu adanya kemungkinan terjadinya ikhtilȃth (percampuran) antara yang halal dan yang haram, antara yang suci dan yang najis. Lebih-lebih bila produk-produk olahan atau bahan baku tersebut dibuat di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim.

Fenomena baru inilah yang menginspirasi lahirnya sertifikasi halal. Tujuan sertifikasi halal adalah melindungi umat Islam dari beredarnya produk pangan yang tidak jelas kehalalannya. Nabi Muhammad saw. telah memberikan sinyalemen. Beliau bersabda: di antara halal dan haram ada hal yang samar-samar, tidak jelas halal haramnya, dan terbatas orang yang mengetahuinya. Dalam hal ini Nabi Saw. memerintahkan untuk menjauhinya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud diceritakan, bahwa sahabat Abu Tsa'labah Al Khusyani r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. perihal wadah yang dipakai tetangganya yang ahli kitab. Tetangganya ini sering memasak babi di dalam kuali mereka dan minum khamr dalam bejana. Rasulullah saw. menyampaikan, jika ada selain itu maka hendaknya makan dan minum menggunakan yang lain, tetapi jika tidak mendapatkannya, hendaknya mencucinya dahulu menggunakan air.

Konsep sertifikasi halal adalah konsep penjaminan mutu berkaitan dengan masalah halal. Harapannya dengan sertifikasi halal kaum muslimin terhindar dari produk haram atau produk yang meragunakan kehalalan dan kesuciannya untuk bahan konsumsi mereka.

 

Zakat di YDSF


Artikel Terkait:

CERMATI HALAL HARAM DI RESTORAN, RUMAH MAKAN, DAN HOTEL | YDSF
Perbedaan Zakat Profesi dan Zakat Pertanian | YDSF
MEMBUAT SERTIFIKASI HALAL TIDAK DI LPPOM MUI | YDSF
Amalan Ibadah Pembuka Pintu Rezeki | YDSF
KANDUNGAN STMJ DAN GINSENG MENGANDUNG ARAK | YDSF
Amanah Rumah Wakaf dari Sepupu yang Meninggal | YDSF
PERBEDAAN ZAKAT, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF


Laporan Audit YDSF


Tags: sertifikasi halal, mengapa sertifikasi halal

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: