Lebih dari satu
tahun, UU No. 33 tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal diimplementasikan, muncul banyak kendala di sana
sini dalam penerapannya, pemerintah sudah mengisiasikan RUU yang akan merevisi
UU No. 33 tahun 2014 ini.
Omnibus law, sebutan untuk RUU tersebut, karena
sifatnya tidak hanya mengamandemen satu UU saja, tapi ada banyak UU yang akan
direvisi, salah satunya UU Jaminan Produk Halal (UU JPH). UU JPH yang belum
sepenuhnya diimplementasikan sudah dianggap menjadi salah satu kendala dalam
percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sehingga harus direvisi. Inilah
nasib UU JPH yang sejak awal setengah-setengan dijalankan. Betapa tidak, untuk
menyiapkan Peraturan Pemerintah yang akan menjadi petunjuk pelaksanaanya saja
butuh waktu hampir lima tahun.
RUU Omnibus Law atau yang dikenal dengan RUU Cipta
Kerja akhirnya dirampungkan dan disahkan tanggal 2 November 2020 yang lalu.
Terkait dengan pelaksanaan jaminan halal, Peraturan Pemerintah yang menjadi
petunjuk pelaksanaannya pun telah dirampungkan, yakni PP No. 39 Th. 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang telah disahkan
tanggal 2 Februari 2021.
Penerbitan UU Cipta Kerja diikuti dengan PP No. 39 tahun
2021, merupakan babak baru dari perkembangan kebijakan jaminan produk halal di
Indonesia. Hal yang berbeda dari sebelumnya, keberadaan MUI yang semakin
dikurangi keterlibatannya dalam penyelenggaraan jaminan halal. Jika pada UU
Jaminan Produk Halal MUI ikut terlibat dalam proses standarisasi Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH) serta sertifikasi auditor, maka di era terbaru ini peran
MUI hanya sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa penetapan produk halal.
Kebijakan ini terkesan tak bisa dilepaskan dari isu
sebelumnya yang melihat MUI sebagai lembaga yang memonopoli pelaksanaan jaminan
produk halal. Padahal jika melihat secara obyektif, eksistensi MUI bukanlah
memonopoli, tetapi karena MUI yang mengambil peran untuk mengatasi masalah
halal haram ini. MUI lah yang menginisiasi sertifikasi halal di Indonesia di
saat tidak ada lembaga lain yang melakukan atau mengambil inisiatif untuk
menangani masalah tersebut.
Audit
Masalah krusial yang muncul dari pemberlakuan UU Cipta Kerja
terkait dengan Jaminan Produk Halal adalah munculnya pasal 4A yang dimasukkan
ke dalam UU No. 33 tahun 2014, yang menyatakan bahwa untuk pelaku usaha mikro
dan kecil, kewajiban bersertifikat halal didasarkan pernyataan pelaku usaha
mikro dan kecil sendiri. Hal ini
dipertegas dengan pasal 79 PP No. 39 tahun 2021. Ketentuan ini sama artinya
dengan pelaku usaha mikro dan kecil dibebaskan dari sertifikasi halal.
Baca juga:
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF
Batas Penghasilan Wajib Zakat | YDSF
Sementara ini
yang sudah berjalan, prinsip sertifikasi pada dasarnya adalah berbasis pada
audit atau pemeriksaan lapangan. Jika sertifikat bisa diterbitkan tanpa adanya
pemeriksaan lapangan atau pemeriksaan ke lokasi, bagaimana bisa diketahui atau
dipastikan konsistensinya dalam memproduksi produk halal.
Penerapan audit
merupakan hal penting dalam proses sertifikasi, yang bertujuan untuk melakukan
penelusuran dalam proses pembuatan dan penelusuran bahan-bahan yang digunakan
dalam pembuatan suatu produk yang akan disertifikasi. Karena itu, traceability
(kemamputelusuran) bahanbahan baku dari suatu produk sangat menetukan dalam
proses sertifikasi halal.
Contoh sederhana
dalam kasus produksi ayam goreng. Perlu diketahui proses pengadaan daging
ayamnya diperoleh dengan menyembelih sendiri ataukah membeli. Jika dari orang
lain, masih perlu dipastikan lagi proses penyembelihannya bagaimana, siapa yang
menyembelih dan seterusnya. Juga proses penggorengannya, fasilitas produksi
yang digunakan, minyak yang digunakan, pemilihan bumbubumbunya.
Lebih-lebih jika
perusahaan memiliki klasifikasi produk yang lebih kompleks dari sisi
bahan-bahan yang digunakan. Sudah tentu lebih kompleks lagi proses pemeriksaannya.
Semua itu, selain memerlukan pemastian prosesnya, juga membutuhkan pemastian
konsistensinya.
Itulah sebenarnya makna serifikasi halal selama ini yang
memberikan jaminan halal. Dengan adanya perubahan kebijakan ini, yang dituntut
untuk bekerja lebih ekstra adalah BPJPH. Peran pengawasan perlu dilakukan lebih
ketat dan intensif. Karena itu, keberadaan BPJH harus diperluas tidak hanya di
pusat seperti selama ini, tetapi perlu ada sampai di tingkat kecamatan,
sehingga bisa melakukan pelayanan dan pengawasan lebih dekat. Jumlah pelaku
usaha kecil dan mikro sangat banyak, jauh lebih banyak dari perusahaan menengah
dan besar. Bagi konsumen muslim sudah tentu yang menjadi harapan semoga
kebijakan baru ini efektif memberikan jaminan halal kepada masyarakat.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi April 2021
Artikel Terkait:
Hukum Jual Beli Kucing | YDSF
ZAKAT PADA BARANG INVESTASI | YDSF
Berdoa dengan Menyebut Nama Perantara (Tawassul) Orang yang Sudah Meninggal | YDSF
APA ITU WAKAF? PENGERTIAN, DALIL, DAN HUKUM WAKAF | YDSF
Tertulis No Pork Bukan Jaminan Halal | YDSF
HUKUM ZAKAT PENGHASILAN DALAM ISLAM | YDSF
Hukum Gadai Barang dalam Islam | YDSF