Masih ada yang salah faham terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam soal sertifikasi halal. Ada pandangan minor terhadap MUI dengan mengatakan kenapa sertifikasi halal kok dimonopoli MUI. Kesan minor seperti ini mencuat pada saat pembahasan RUU Jaminan Produk Halal. Ternyata setelah terbit UU Jaminan Produk Halal yaitu UU No. 33 tahun 2014, pandangan-pandangan minor seperti ini masih terjadi. Ini muncul karena tidak diketahuinya sejarah perjalanan sertifikasi halal di Indonesia.
Perjalanannya memang tidak bisa dipisahkan dari peran MUI. Berawal dari sebuah kasus menghebohkan yang terjadi 1988. Buletin Canopy edisi Januari yang diterbitkan Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang memuat laporan penelitian Ir. Tri Susanto, M.App.Sc. Penelitian menyatakan sejumlah produk makanan dan minuman terindikasi mengandung lemak babi. Saat itu Ir. Tri Susanto (almarhum) adalah mantan guru besar Teknologi Pangan Universitas Brawijaya Malang dan mantan Ketua Umum LPPOM MUI Jatim.
Tulisan`Tri Susanto memicu kepanikan masyarakat konsumen muslim khususnya, maupun kalangan produsen produk pangan. Produsen mengalami penurunan omset drastis. PT Sanmaru Food Manufacture, produsen Indomie mengaku penjualannya turun 20-30 persen dari omset 40 juta bungkus perbulannya. Penjualan kecap ABC melorot hingga 20 persen, dan es krim Campina turun hingga 40 persen. Produsen biskuit Siong Hoe, PT Tri Fabig terpaksa harus gencar mengiklankan diri produknya tidak haram. PT Food Specialities Indonesia (FSI) terpaksa mengeluarkan dana iklan Rp 340 juta. Jumlah cukup besar ketika itu.
Fenomena itu menyadarkan bahwa keberadaan jaminan halal untuk produk konsumsi menjadi suatu kebutuhan mendesak umat Islam. Seperti disampaikan Profesor Amin Aziz, ketua LPPOM MUI periode pertama, anggapan bahwa jika umat Islam mayoritas, pasti masalah halal akan terjamin, kenyatannya tidak. Dibutuhkan kebijakan yang mengatur. Kebutuhan jaminan produk halal menjadi isu penting di Indonesia. Umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas dengan jumlah 86% menuntut penyikapan pemerintah.
Pemerintah berusaha menetralisir masalah. Tapi pemerintah tidak berupaya menangani akar masalahnya. Langkahnya instan untuk meredam gejolak saja. Wujudnya, Sekjen Departemen Agama (ketika itu), Tarmidzi Taher secara demonstratif minum susu di sebuah pabrik di Pasuruan untuk diliput media.
MUI sebagai wadah musyawarah para ulama, para zuama (pemimpin), dan cendekiawan muslim kemudian mengambil inisiatif menangani akar masalahnya. Dilakukanlah kajian-kajian. Langkah MUI mendapat dorongan para intelektual muslim dan para ulama. MUI sebagai organisasi forum lintas ormas, dipandang strategis sehingga mempunyai kedekatan khusus dengan pemerintah.
Akhirnya terbentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia yang kemudian disingkat LPPOM MUI. Dari sini bisa difahami kenapa yang melakukan sertifikasi halal adalah MUI. MUI lah yang mengambil inisiatif dalam menangani masalah ini. Tidak ada lembaga lainnya.
LPPOM MUI berdiri 6 Januari 1989. Rencana kegiatan utamanya memeriksa produk halal yang kemudian disebut sertifikasi halal. Tujuannya untuk mendapatkan jaminan produk halal. Proses sertifikasi halal dilakukan dengan penelusuran mendalam untuk mengetahui secara pasti apakah bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk pangan serta proses produksinya telah terjamin halal dan konsisten atau tidak. Hasil sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal bila telah memenuhi syarat. Sertifikat halal merupakan pernyataan halal atas suatu produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan berdasarkan hasil audit dan kajian fatwa. Tujuannya agar konsumen muslim terlindungi dari produk tidak halal.
Selain diberi tugas melakukan sertifikasi halal, LPPOM MUI diberi tugas lain, antara lain: Mengadakan inventarisasi, klasifikasi, dan pengkajian terhadap kehalalan makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang beredar di masyarakat.
Mengkaji dan menyusun konsep-konsep yang berkaitan dengan upaya memproduksi dan memperjualbelikan suatu produk, penggunaan makanan, minuman serta obat-obatan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Mengkaji dan menyusun konsep-konsep yang berkaitan dengan peraturan mengenai penyelenggaraan rumah makan/restoran, perhotelan, hidangan dalam pelayaran atau penerbangan, pemotongan hewan, serta penggunaan berbagai jenis pangan, obat-obatan, dan kosmetika yang dipergunakan oleh masyarakat, khususnya umat Islam dengan ketentuan harus terjamin kehalalannya.
Menyampaikan hasil-hasil pengkajian dan konsep-konsep itu kepada Dewan Pimpinan MUI sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan pengolahan, jual beli, dan penggunaan pangan.
Mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta baik dalam maupun luar negeri.
Dalam perjalanannnya MUI telah beberapa kali mengeluarkan surat keputusan yang mengatur tugas dan wewenang LPPOM MUI.
Tugas LPPOM MUI berdasarkan SK terbaru tahun 2001 antara lain:
Mengaudit makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang diajukan oleh produsen untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI.
Mengaudit makanan, obat-obatan, dan kosmetika yang mencantunkan label halal pada kemasannya.
Menyampaikan hasil audit secara rinci dan hasil pengkajiannya kepada Komisi Fatwa untuk mendapatkan pertimbangan hukum selanjutnya akan dikeluarkan sertifikat halal oleh MUI.
Mengadakan kegiatan-kegiatan dalam rangka kerja-sama dengan instansi pemerintah dan swasta dalam negeri maupun luar negeri, serta melaksanakan tugas lainnya yang diberikan oleh Dewan Pimpinan MUI.
Kendati LPPOM MUI telah berdiri sejak 1989, namun dalam implementasinya, sertifikat halal dikeluarkan kali pertama oleh MUI berdasarkan hasil audit dari LPPOM MUI baru tahun 1994 setelah LPPOM MUI memperoleh persetujuan dari Menteri Agama.
Selama waktu sekitar lima tahun sejak berdiri sampai dapat direalisasikannya kegiatan sertifikasi halal, LPPOM MUI telah melakukan berbagai kajian terutama untuk mendapatkan metode pemeriksaan yang tepat dan efektif.
Sebab untuk mendapatkan informasi akurat berkait kehalalan suatu produk pangan tidak mudah. Pemeriksaan tidak selalu bisa diuji dari produk akhir dengan menggunakan peralatan laboratorium.
Sebagai contoh, produk turunan daging seperti produk bakso, sosis, nugget dll, mungkin secara analisis laboratorium dapat ditentuan sumber dagingnya dari jenis hewan tertentu semisal sapi atau ayam. Namun apakah hewan telah disembelih secara syariat Islam atau tidak, tidak mungkin dianalisis menggunakan laboratorium.
Kesulitan lain yang dihadapi adalah memastikan konsistensi kehalalan. Memastikan produk yang telah bersertifikat halal dapat dipertanggungjawabkan kehalalannya secara konsisten, tidak mudah. Jangan sampai terjadi dalam perjalalannya diubah oleh produsen sehingga berubah status halalnya tanpa sepengetahuan LPPOM MUI. Kondisi ini kemudian menginspirasi lahirnya kebijakan Sistem Jaminan Halal, sehingga perusahaan yang bersertifikat halal wajib menerapkan sistem jaminan halal ini. (Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt.)
Sumber: Majalah Al Falah Edisi September 2018
Baca juga:
Mengapa Kosmetik Disertifikasi Halal?
Doa Minta Rezeki Halal dan Berlimpah Sesuai Sunnah | YDSF
Mengenal Generasi Strawberry | YDSF
TIPS MENJADI MUSLIM BERKUALITAS | YDSF
Halalkah Makanan yang Mengandung Rum atau Essence Rum? | YDSF