Masalah waris
sering kali menimbulkan perselisihan di dalam keluarga. Bahkan di antara
saudara sedarah. Belum lagi, jika pembagiannya melibatkan cucu yang mana ayah (pewaris
asli) telah meninggal dunia, akan semakin kompleks bahasan tentang hak
warisnya.
Sebagai seorang
muslim yang ingin menjaga kerukunan dan keadilan dalam keluarga, tentu kita
harus berpedoman dengan hak waris yang diajarkan oleh syariat dan peraturan
negara. Karena, penentuan hak waris ini merupakan hal yang cukup sensitif dan
tidak bisa diputuskan berdasarkan pendapat dari orang yang belum ahli dalam
ilmu waris.
Dalil Tentang Ilmu Waris
Dalil utama yang
dijadikan landasan para ulama dalam hal waris adalah surah An-Nisa’ ayat 11-13
dan 176. Namun, sebelum ayat-ayat tersebut turun, terdapat asbabun nuzul (peristiwa
yang melatarbelakangi) yang menjadi penyebabnya dan diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah r.a.
Saat itu
Rasulullah saw. bersama Abu Bakr r.a. dalam perjalanan berjalan kaki menuju
kampung Bani Salamah untuk menengok Jabir bin Abdillah r.a. yang sakit. Jabir
sempat tidak sadarkan diri, Rasulullah meminta air untuk berwudhu dan
memercikkannya pada Jabir hingga sadar. Lalu, Jabir bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini?”
Lantas, Allah menurunkan wahyu yaitu surah An Nisa’ ayat 11.
Masih dai Jabir
bin Abdullah, dia berkata bahwa datang istri Sa’ad bin Ar-Rabu’ kepada
Rasulullah saw. dengan memwa kedua putrinya. Dia bertanya kepada Rasulullah, ”Wahai
Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut
perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua
hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum
menikah….”. Beliau bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Tak
lama, turunlah wahyu tentang dalil waris.
Rasulullah saw.
memanggil paman mereka, sambil bersabda, “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua
pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan. Sedangkan sisanya untuk engkau.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Tuhwatul Ahwadzi Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
Sabda Rasulullah
tersebut didukung dengan firman Allah Swt. pada surah An Nisa’ ayat 11-13 dan
176. Dalam ayat-ayat ini bukan hanya menjelaskan tentang pembagian hak waris,
tetapi juga menjaga kedudukan wanita dalam waris.
Dalam kitab fikih
Syafi’i Matan Ghoyah wat Taqrib, ahli waris dibedakan menurut jalur
nasab dari pihak laki-laki dan perempuan. Untuk ahli waris dari laki-laki
terdapat 10, yaitu: anak laki-laki, cucuk laki-laki dan seterusnya ke bawa,
ayah, kakek dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki, anak laki-laki dari
saudara laki-laki (keponakan) walaupun jauh (seperti anak dari keponakan),
paman, anak laki-laki dari paman (sepupu) walaupun jauh, suami, dan bekas budak
laki-laki yang dimerdekakan. Sedangkan ahli waris dari perempuan ada 7, yaitu:
anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan
seterusnya ke bawah, ibu, nenek dan seterusnya ke atas, saudara perempuan,
istri, dan bekas budak perempuan yang dimerdekakan.
Baca juga:
Mengenal Riba dalam Kredit | YDSF
Hukum Kartu Kredit dalam Pandangan Fiqih Islam | YDSF
Namun, juga ada ahli
waris yang tidak bisa gugur kedudukannya, yaiotu: suami dan istri, ayah dan
ibu, dan anak kanding.
Pembagian Waris untuk Cucu
Lalu, bagaimana
bila ada cucu yang orang tuanya telah meninggal? Apakah ia juga berhak
mendapatkan hak waris yang sederajat dengan saudara-saudara dari orang tuanya?
Pada bulan
November 2020 lalu, kami mendapatkan pertanyaan konsultasi agama dari salah satu
Sahabat Donatur yang berisikan:
Ada seorang janda karena ditinggal mati suaminya. Dia mempunyai seorang
anak laki-laki yang telah menikah dan seorang anak perempuan belum menikah.
Anak laki-laki tersebut meninggal dunia, meninggalkan seorang istri dan dua
putra. Suatu ketika si janda akan membagikan hartanya kepada anaknya.
Bagaimana dalam hukum Islam proses pembagian warisan? Apakah anak laiklaki
yang telah meninggal tersebut masih mendapatkan warisan dari harta ibunya?
Apakah anak-anak dari (anak laki–laki yang telah meninggal) mendapatkan hak
waris dari ibu kandungnya?
Ustadz Zainuddin
MZ, Lc., MA (Dewan Syariah YDSF) menjelaskan tentang hal ini edengan melihat
kondisinya terlebih dahulu. Ketika janda tersebut masih hidup, maka pemberian
ibu janda kepada cucu dari anak laki-laki yang telah meninggal dunia bukan
masuk kategori warisan, melainkan hibah. Hal ini sangat berbeda jika atasnya,
boleh memberi hibah kepada siapapun, apakah kepada cucu atau cicit atau
canggah, asalkan pemberian nenek telah wafat.
Lantas, apakah
cucu dari anak laki-laki (yang telah meninggal dunia) mempunyai hak warisan?
Hal ini memang diperselisihkan. Ada pendapat yang bagiannya sama dengan status
bapaknya ketika masih hidup sehingga statusnya sebagai pengganti status
bapaknya. Pendapat lain haknya tidak lebih dari sebagai kerabat yang mempunyai
pertalian darah atau biasa disebut Dzawi Arham, sehingga cucu dapat menerima
bagian dari warisan kakeknya dengan melalui wasiat wajibah yang besarannya
tidak melebihi sepertiga.
Sedangkan, dalam peraturan
Republik Indonesia, cucu dapat menjadi pengganti ahli waris dan bertindak
sederajat dengan saudara-saudara orang tuanya. Tepatnya pada pasal 185 ayat (1)
KHI. (berbagai sumber)
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Hukum Arisan Dalam Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
IHSG Anjlok, Begini Aturan dan Hukum Jual Beli Saham dalam Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF