Hukum Kartu Kredit dalam Islam | YDSF

Hukum Kartu Kredit dalam Islam | YDSF

6 Desember 2019

Dalam perkembangan ekonomi kreatif saat ini, semakin banyak bentuk kredit yang kita jumpai. Bukan hanya sekedar fisiknya dalam bentuk kartu saja. Bahkan semakin banyak pula pinjaman kredit dalam ranah digital. Sehingga masyarakat pun berbondong-bondong menggunakan fasilitas ini. Tanpa mengetahui landasan hukum yang ada dalam Islam. Lantas, bagaimanakah Islam memandangnya hukum kartu kredit?

Pandangan Ulama Fiqih Tentang Hukum Kartu Kredit

Pendekatan ulama dalam berpendapat terkait dengan kartu kredit ini pun terdapat perbedaan. Ada pendapat yang membolehkan dan ada juga pendapat yang melarangnya.

Pendapat pertama yang memperbolehkan menggunakan pendekatan dengan dasar ketika Aisyah hendak Barirah (budak wanita dari kaum Anshar), namun majikannya tidak mau melepasnya kecuali dengan syarat hak wala’ (perwalian) budak itu tetap menjadi milik mereka. Rasulullah Saw kemudian datang, Aisyah pun menceritakan apa yang terjadi. Hal tersebut membuat Rasulullah bersabda, “Bebaskan dia (Barirah), tetapi yang benar, hal wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.”

Tak hanya itu, Rasulullah Saw pun berkata di atas mimbar,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504).

Mari kita refleksikan hal tersebut pada kehidupan yang ada. Berbagai transaksi pemakaian listrik, telepon, dan lainnya yang menggunakan komitmen pembayaran jatuh tempo, bila pelanggan terlambat maka akan dikenakan denda. Regulasi pemerintah yang seperti ini pun tidak ada seorangpun ulama yang kemudian mengharamkan penggunaan fasilitas-fasilitas tersebut.

Begitupula pendapat yang memperbolehkan kredit, menurut sebagian ulama pinjaman tidak begitu asaja batal karena batalnya persyaratan, bahkan pinjaman tetap saja sah meskipun syaratnya batal.

Pendapat kedua yang melarang pembuatan dan penggunaan kartu kredit dengan persyaratan tersebut menggagap transaksi itu batal yakni pendapat dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah. Menurut para ulama di kubu kedua ini berpendapat bahwa kasus Barirah merupakan qiyas dengan alasan yang berbeda.

Penerapan kasus Barirah tidak bisa digunakan dalam kartu kredit. Karena dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena dianggap bertentangan dengan ajaran syari’at. Alasan lain yang juga mendukung yakni karena kejadian itu terjadi ketika syari’at Islam benar-benar masih menjadi panutan dan masih dipelihara oleh negara Islam.

Bagaimana mungkin membandingkan sebuah persyaratan berbau riba dengan mengingkari referensi Islam yang suci melibatkan agama dengan negara. Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakaian listrik dan telepon, karena fasilitas ini memang sangat dibutuhkan dan demi kemaslahatan kehidupan manusia. Sementara kartu kredit memiliki vitalitas yang lebih rendah dari itu.

Syariat Tentang Kartu Kredit

Selain itu, kita juga harus paham hukum-hukum syariat dalam penggunaan kartu kredit. Lalu apa sajakah?

1. Persyaratan Berbau Riba

Komitmen yang terkandung dalam kartu-kartu kredit berbau riba. Yang mana secara paksa mengikat para pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial ketika terlambat membayarkan tagihan hutangnya.

Permasalahnnya terletak pada sah atau tidaknya transaksi pembuatan kartu itu terhadap pengaruh komitmen-komitmen tersebut.

2. Denda Keterlambatan dan Bunga Riba

Pihak yang mengeluarkan kartu kredit menetapkan beberapa bentuk denda karena adanya keterlambatan dalam pembayaran tagihan hutang. Denda keterlambatan (late charge) identik dengan makna riba an-nasi’ah yang hukumnya haram.

Dalam keputusan seminar fiqih yang diselenggrakan di Bahrain (November 1998) menyebutkan bahwa dalam penerbitan charge card, card holder tidak dipersyaratkan untuk memiliki rekening di bank bersangkutan. Namun, ia tetap berkewajiban untuk membayar sejumlah nilai transaksi yang tertera dalam voucher dalam batas waktu yang diberikan.

Tak hanya itu, berdasarkan hasil seminar Al Barakah ke 12, sebagian ulama kontemporer memperbolehkan adanya syarat late charge (keterlambatan pembayaran). Namun, tidak boleh dimiliki oleh issuer (pihak penerbit kartu kredit), akan tetapi diakui sebagai dana sosial.

3.Uang Adimistrasi Penarikan Tunai

Beberapa kartu kredit, juga dapat digunakan untuk penarikan tunai. Namun, juga ada biaya administrasi yang dikenakan kepada pemilik kartu kredit. Dalam hal ini pun para ulama fiqih kontemporer memiliki pendekatan pendapat yang berbeda.

Beberapa ulama yang memperbolehkan, menganggap bahwa biaya administrasi yang dikenakan kepada pemilik kartu kredit merupakan balas jasa atas biaya operasional yang dikeluarkan oleh pihak hak. Mudahnya, sebagai upah. Namun tetap harus dibatasi agar biaya adminstrasi tersebut tidak berlebihan.

Sedangkan para ulama yang berpendapat tidak boleh karena biaya administrasi adalah haram, menggunakan pendekatan bahwa proses oenarikan bersifat utang atau peminjaman dari pihak pemegang kartu atau dari pihak bank yang mewakilinya. Ini merupakan pendapat dari Bank Ar-Rajihi. (ASM)

 

Disadur dari Majalah Al Falah Edisi Mei 2014

 

Baca juga:

Mengenal Riba dalam Kredit | YDSF

Membuat Nafkah Menjadi Berkah | YDSF

HALALKAH MAKANAN YANG MENGANDUNG RUM ATAU ESSENCE RUM? | YDSF

Cara Menghitung Zakat Profesi | YDSF

Zakat dalam Islam | YDSF

Perbedaan Zakat, Infaq, dan Sedekah | YDSF

Konsultasi Zakat Cepat Melalui WhatsApp YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: