Hukum Arisan dalam Islam | YDSF

Hukum Arisan dalam Islam | YDSF

19 Desember 2019

Ibu-ibu selalu identik dengan arisan. Karena arisan menjadi salah satu hal yang menyenangkan bagi sebagian besar masyarakat kita. Bahkan, sekarang arisan tidak hanya dilakukan oleh ibu-ibu, para kaum adam pun juga mulai mengikuti ‘tradisi’ kaum hawa yang satu ini.

Namun, tidak sedikit pula ibu-ibu yang tidak suka sama sekali dengan arisan. Alasan arisan menjadi lahan terbaik untuk berghibah berjamaah menjadi motivasi paling kuat. Jadi, bagaimana ya sebenarnya Islam memandang arisan ini?

Arisan Sudah Ada Pada Kebiasaan Wanita Arab Terdahulu

Fenomena arisan ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun, justru sejak abad kesembilan, para wanita Arab telah mengadakan kegiatan semacam itu. Arisan di kalangan wanita Arab dikenal dengan sebutan jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni.

Sedangkan arisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Ini memiliki arti yang sama dengan pertian yang disampaikan oleh Ulama dunia dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni.

Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para ulama sebagai bersepakatnya sejumlah  orang membayar sejumlah uang yang nominalnya telah ditentukan dan sama besarnya antar satu orang dengan lainnya. Kemudian, uang tersebut dikumpulkan kepada sealah satu anggota dan mereka berkumpul pada setiap kurun waktu tertentu (misal enam bulan sekali, atau sejenisnya). Pada setiap pertemuan juga ditentukan salah satu orang dari mereka yang menerima jumlah uang yang sama dari total yang dikumpulkan. Begitulah terus berlangsung hingga beberapa putaran dalam satu periode.

Hukum Arisan Secara Umum

Dalam memandang kegiatan arisan ini pun, terdapat dua pandangan dari para ulama.

Pertama, mari kita bahas mengenai pendapat yang mengharamkan arisan. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Shalil bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang), dan Syaikh Abdurrahman al-Barak:

Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad hutang bersyarat yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh jarra manfaatan). Padahal para Uama sepakat semua hutang yang memberikan kemanfaatan maka itu haram dan riba (Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’ dan Ibnu Qudamah dalam al-mughni).

Sedangkan hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berhutang. Sehingga dilarang menggunakan hutang sebagai sesuatu yang menguntungkan.

Ditambah di dalam arisan juga terdapat persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi, seperti dua jual beli dalam satu transaksi, sedangkan hal ini dilarang Rasulullah.

Pendapat kedua adalah para ulama yang memperbolehkan arisan.  Inilah fatwa Al-Hafizh

Abu Zur'ah al-'Iraqi (wafat tahun 826), (lihat Hasyiyah al-Qalyubi 2/258) fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai'ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, di antara mereka Syaikh Abdul-Aziz bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu), dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin. Mereka menyampaikan:

Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena menyangkut hutang yang membantu meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia mengembalikannya sesuai dengan jumlah uang yang diambilnya tanpa ada penambahan dan pengurangan.

Konsep seperti di atas adalah hakekat utang (al-qardh al-mu’tad) yang diperbolehkan berdasarkna nash-nash syariat dan ijma’ ulama. Arisan adalah salah satu bentuk hutang. Bedanya hanyala hutang pada arisan bersumber dari pemanfaatan yang lebih dari satu orang. Namun, kondisi seperti ini tidak menyebabkan arisan terlepas dari hakekat dan penamaan hutang.

Pada dasarnya sebagian besar oran gmenggunakan arisan sebagai bentuk menghindarkan diri dari hutang yang bersifat riba dan semacamnya. Hal ini pun kemudian dapat dibenarkan. Karena dalam arisan pun tidak ada bunga dan sebagainya dalam transaksinya.

Manfaat yang didapatkan dari arisan tidak mengurangi sedikit pun harta orang yang meminjam uang dan setiap dari peminjam mendapatkan besaran manfaat yang sama antara satu dengan lainnya. Maka, kebaikannya didapatkan dan akan dirasakan oleh seluru anggora arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian. Syariat seperti ini tidak menjadikan arisan haram karena tidak menimbulkan kemudharatan. (asm)

 

Disadur dari majalah Al Falah Edisi Agustus 2014

 

Baca juga:

Mengapa Kosmetik Disertifikasi Halal?

Doa Minta Rezeki Halal dan Berlimpah Sesuai Sunnah | YDSF

SEJARAH SERTIFIKASI HALAL DI INDONESIA | YDSF

Makna Di Balik Halal Haram

Mengenal Generasi Strawberry | YDSF

TIPS MENJADI MUSLIM BERKUALITAS | YDSF

Halalkah Makanan yang Mengandung Rum atau Essence Rum? | YDSF

Yuk, Berzakat di Penghujung Tahun Bersama YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: