Halal adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak akan mengakibatkan dosa, sebaliknya haram adalah sesuatu yang apabila dikerjakan berakibat dosa. Jika hal ini dikaitkan dengan makanan dan minuman, maka makanan yang halal artinya apabila dikonsumsi tidak akan mengakibatkan dosa, sebaliknya makanan yang haram adalah makanan yang apabila dikonsumsi berakibat dosa pada pengonsumsinya
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang pada dasarnya menciptakan segala sesuatu adalah untuk manusia. Dalam al Qur’an Allah berfirman:
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (Q.S. Al-Baqarah: 29)
Semuanya agar dikelola dengan baik untuk memberi kemanfaatan dan kemakmuran di muka bumi. Dalam al Qur’an Allah berfirman:
Dia telah menciptakanmu dari bumi tanah dan menjadikanmu pemakmurnya. (QS. Hud: 61)
Berdasarkan ayat tersebut di atas para ulama merumuskan prinsip yang dikenal dengan kaidah fiqhiyyah bahwa segala makanan dan minuman pada umumnya dibolehkan (halal) kecuali ada larangan dari al Qur’an dan al Sunnah.
Asal dari sesuatu/benda adalah mubah sampai terdapat dalil yang menunjukkan atas keharamannya. Prinsip tersebut di atas mengundang pertanyaan kita, “jika semua itu tercipta untuk manusia lalu mengapa ada sesuatu yang diharamkan untuk manusia?” Orang yang beriman harus yakin, pastilah ada rahasia di balik keharaman tersebut. Ini artinya sesuatu yang diharamkan adalah bersifat perkecualian.
Ketika Allah mengharamkan sesuatu, berarti ada hikmah di balik keharaman itu. Yang pertama-tama adalah untuk menguji manusia sejauh mana kepatuhan manusia pada aturan Allah. Secara akal mungkin kita akan mempertanyakan kenapa babi itu diharamkan, bukankah daging babi itu sumber protein? Atau bukankah babi itu pula mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga menguntungkan secara ekonomi? Di sinilah keimanan dan kepatuhan kita diuji, apakah kita akan tunduk pada akal rasional itu saja ataukah mengikuti ketentuan Allah dimana mungkin rasionalitas kita belum mampu menjangkaunya?
Yang kedua, sesuatu yang diharamkan masuk dalam salah satu dari tiga hal: pertama, sesuatu tersebut mengandung madharat (bahaya) atau mafsadah (kerusakan); kedua, karena sesuatu tersebut jelek tidak layak dikonsumsi atau menjijikkan (al-khabaits); ketiga karena sesuatu itu merupakan bagian dari organ manusia, karena Allah memuliakan manusia sehingga bagian dari organnya tidak patut dikonsumsi. Jika manusia mengonsumsi bagian dari tubuhnya sendiri pasti akan menjatuhkan martabatnya.
Sebaliknya, ketika Allah menghalalkan sesuatu berarti terdapat maslahah (kebaikan). Sesuatu itu dihalalkan karena memang baik untuk manusia. Mereka menanyakan kepadamu, apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: dihalalkan bagimu yang baik-baik… (Q.S. Al Maidah: 4)
Hanya saja maslahah dan mafsadah tersebut tidak selalu dapat diketahui dengan akal secara langsung. Dengan kata lain ketaatan terhadap ketentuan Allah dapat dipastikan akan membawa pada kemaslahatan atau kebaikan, sebaliknya pelanggaran terhadap ketentuan Allah akan mengarah pada kerusakan (mafsadah) atau keburukan.
Kaidah mengatakan haitsumȃ wujida al-syar‘u fatsamma al-mashlahah (di mana syara‘ diwujudkan di situ terdapat maslahah). Seperti yang disampaidisampaikan oleh Imam al-Ghazali, hakikat maslahah adalah terpeliharanya tujuan syara‘ itu sendiri, sehingga ketika syariat ditegakkan di situlah maslahah berada (al Mustashfâ, juz I, hal. 416-417). Allah Swt.
Berfirman dalam al Qur’an: Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’. (Q.S. Al A’raf: 33).
Demikian pula firman-Nya:
Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja)di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayatayat itu bagi orang-orang yang mengetahui’. (Q.S. Al A’raf: 32).
Kemudian ditegaskan lagi dengan ayat lainnya:
“...dan (Nabi) yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk… “(Q.S. Al A’raf: 157)
Dari sini menunjukkan bahwa wilayah keharaman dalam syariat Islam sesungguhnya sangatlah sempit karena hanya merupakan perkecualian saja. Sedangkan wilayah kehalalan terbentang luas. Karenanya hukum atas sesuatu pada umunya adalah halal kecuali apabila ada penjelasan tentang keharamannya.
Wallahu a’lamu bi al-shawab
Oleh : Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt.
Sekretaris MUI Jawa Timur