Setiap orang
memiliki kadar kemampuan dalam hal menolong sesama yang berbeda-beda. Sayangnya,
ada orang-orang tertentu yang sangat menikmati saat menolong tetapi berujung
bencana. Seperti, merugikan si penolong, hingga membuat beberapa rencana
hidupnya berantakan.
Pelajaran saling
tolong menolong ini bukan hanya ada dalam norma sosial. Di dalam norma agama
pun, sangat getol ditanamkan nilai-nilai kepeduliaan semacam ini. Mengingat, kita
tidak hidup sendirian. Tetapi juga berdampingan dengan manusia dan makhluk
hidup lainnya.
Perlu diingat,
menolong bukan hanya dilakukan kepada sesama manusia saja. Bila mengetahui
makhluk hidup lain yang juga kesulitan, hendaknya kita juga tergerak untuk
menolongnya. Karena biasanya, ada beberapa karakter di mana mau menolong
manusia tetapi karena jijik, takut, atau tidak suka dengan makhluk hidup lain,
seseorang menjadi enggan untuk menolong mereka.
Tolong-menolong dalam Islam
Tergeraknya hati
untuk menolong sesama menunjukkan bahwa kita memiliki rasa empati bagus. Agar
mencapai titik empati demikian, masing-masing orang berbeda tergantung tingkat
kepekaannya terhadap sekitar. Dan, bagaimana sejak kecil ia dilatih oleh orang
tua beserta orang-orang terdekatnya.
Dalam Islam, tolong-menolong
disebut dengan istilah ta’awun. Dan, sangat dianjurkan untuk menerapkan sifat
ini dalam kehidupan sehari-hari. Dan, tolong-menolong yang dimaksud dalam ta’awun
ini adalah dalam hal kebajikan, bukan sebaliknya.
Sebagaimana Allah
Swt. berfirman, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al
Maidah: 2)
Firman tersebut
diturunkan dengan asbabun nuzul sebagai berikut:
Pada suatu hari
Rasulullah saw. memperingatkan pada para sahabat, “Tolonglah saudaramu, baik
yang dianiaya orang maupun yang menganiaya!” sahabat bertanya, ”Bagaimana cara
kami menolong orang yang menganiaya?” Rasulullah SAW menjawab, “Engkau cegah
dia melakukan penganiayaan. Dengan demikian engkau telah menolong orang yang
menganiaya itu dari perbuatan dosa.” (HR. Bukhari)
Memang, dengan
menolong sesama dapat menambah tingkat kebahagiaan seseorang. Semakin sering
menolong, semakin bahagia dan lega hidupnya. Bahkan, ada pula perilaku yang
suka menganonimkan identitas diri setelah menolong. Alasannya sederhana,
biasanya karena tidak ingin terlihat atau dikatakan riya’. Padahal, riya’ atau
tidaknya itu tergantung oleh niatan yang sudah tertanam dalam hati sebelum
amalan menolong dilakukan.
Baca juga:
Pintu Dosa di Era Digital | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Efek Negatif dalam Berlebihan
Menolong
Terdapat kondisi
di mana seseorang dapat secara maksimal menolong yang cenderung berujung tidak
memperhatikan kondisi dirinya sendiri. Beberapa langsung menyebut orang semacam
ini dengan altruism atau pelaku altruisme.
Altruisme adalah
tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong
orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun (kecuali mungkin perasaan telah
melakukan kebaikan). Jika si penolong menghilang tanpa diketahui identitasnya
setelah menolong, maka disebut dengan altruistic atau prososial.
Baron dan Byrne
(2003) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang
menguntungkan orang lain. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan
yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan
tersebut, bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu.
Selain adanya
perhatian dan rasa bertanggung jawab, ada beberapa alasan seseorang melakukan
tindakan prososial. Menurut Staub (Dayakisni dan Hudainah, 2006) terdapat
beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:
1.
Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau
menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian
atau takut dikucilkan.
2.
Personal
values and norms: adanya
nilai-nilai dan norma social yang diinternalisasikan oleh individu selama
mengalami sosialisasi dan sebagian nilainilai serta norma tersebut berkaitan
dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan
keadilan serta adanya norma timbal-balik.
3.
Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan
perasaan atau pengalaman orang lain.
Namun, ada beberapa
kondisi di mana kita harus mampu menahan untuk tidak terlalu berlebihan mengasihani
orang lain. Maksudnya bukan untuk tidak menolong, tetapi tahu batasan kemampuan
menolong kita sampai di titik mana. Sehingga, saat nantinya permasalahan orang
lain selesai berkat kita tolong, tidak akan menimbulkan permasalahan baru bagi
kita pihak penolong.
Bagaimana kita
bisa menyikapi sebuah proses kebijaksanaan dalam hidup, itu penting. Setiap
amal yang bermotif karena Allah Swt., insya Allah keberkahan akan kita
dapatkan, begitu pula sebaliknya. Allah SWT mengaruniakan kebijakan dalam diri,
karena pilihan mengemas niat yang tepat. Aamiin.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Februari 2017
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Hukum Arisan Dalam Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
IHSG Anjlok, Begini Aturan dan Hukum Jual Beli Saham dalam Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF