Altruisme, Efek Negatif Menolong | YDSF

Altruisme, Efek Negatif Menolong | YDSF

29 November 2022

Setiap orang memiliki kadar kemampuan dalam hal menolong sesama yang berbeda-beda. Sayangnya, ada orang-orang tertentu yang sangat menikmati saat menolong tetapi berujung bencana. Seperti, merugikan si penolong, hingga membuat beberapa rencana hidupnya berantakan.

Pelajaran saling tolong menolong ini bukan hanya ada dalam norma sosial. Di dalam norma agama pun, sangat getol ditanamkan nilai-nilai kepeduliaan semacam ini. Mengingat, kita tidak hidup sendirian. Tetapi juga berdampingan dengan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Perlu diingat, menolong bukan hanya dilakukan kepada sesama manusia saja. Bila mengetahui makhluk hidup lain yang juga kesulitan, hendaknya kita juga tergerak untuk menolongnya. Karena biasanya, ada beberapa karakter di mana mau menolong manusia tetapi karena jijik, takut, atau tidak suka dengan makhluk hidup lain, seseorang menjadi enggan untuk menolong mereka.

Tolong-menolong dalam Islam

Tergeraknya hati untuk menolong sesama menunjukkan bahwa kita memiliki rasa empati bagus. Agar mencapai titik empati demikian, masing-masing orang berbeda tergantung tingkat kepekaannya terhadap sekitar. Dan, bagaimana sejak kecil ia dilatih oleh orang tua beserta orang-orang terdekatnya.

Dalam Islam, tolong-menolong disebut dengan istilah ta’awun. Dan, sangat dianjurkan untuk menerapkan sifat ini dalam kehidupan sehari-hari. Dan, tolong-menolong yang dimaksud dalam ta’awun ini adalah dalam hal kebajikan, bukan sebaliknya.

Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah: 2)

Firman tersebut diturunkan dengan asbabun nuzul sebagai berikut:

Pada suatu hari Rasulullah saw. memperingatkan pada para sahabat, “Tolonglah saudaramu, baik yang dianiaya orang maupun yang menganiaya!” sahabat bertanya, ”Bagaimana cara kami menolong orang yang menganiaya?” Rasulullah SAW menjawab, “Engkau cegah dia melakukan penganiayaan. Dengan demikian engkau telah menolong orang yang menganiaya itu dari perbuatan dosa.” (HR. Bukhari)

Memang, dengan menolong sesama dapat menambah tingkat kebahagiaan seseorang. Semakin sering menolong, semakin bahagia dan lega hidupnya. Bahkan, ada pula perilaku yang suka menganonimkan identitas diri setelah menolong. Alasannya sederhana, biasanya karena tidak ingin terlihat atau dikatakan riya’. Padahal, riya’ atau tidaknya itu tergantung oleh niatan yang sudah tertanam dalam hati sebelum amalan menolong dilakukan.

Baca juga: 
Pintu Dosa di Era Digital | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF

Efek Negatif dalam Berlebihan Menolong

Terdapat kondisi di mana seseorang dapat secara maksimal menolong yang cenderung berujung tidak memperhatikan kondisi dirinya sendiri. Beberapa langsung menyebut orang semacam ini dengan altruism atau pelaku altruisme.

Altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun (kecuali mungkin perasaan telah melakukan kebaikan). Jika si penolong menghilang tanpa diketahui identitasnya setelah menolong, maka disebut dengan altruistic atau prososial.

Baron dan Byrne (2003) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu.

Selain adanya perhatian dan rasa bertanggung jawab, ada beberapa alasan seseorang melakukan tindakan prososial. Menurut Staub (Dayakisni dan Hudainah, 2006) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:

1.       Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

2.       Personal values and norms: adanya nilai-nilai dan norma social yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilainilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal-balik.

3.       Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.

Namun, ada beberapa kondisi di mana kita harus mampu menahan untuk tidak terlalu berlebihan mengasihani orang lain. Maksudnya bukan untuk tidak menolong, tetapi tahu batasan kemampuan menolong kita sampai di titik mana. Sehingga, saat nantinya permasalahan orang lain selesai berkat kita tolong, tidak akan menimbulkan permasalahan baru bagi kita pihak penolong.

Bagaimana kita bisa menyikapi sebuah proses kebijaksanaan dalam hidup, itu penting. Setiap amal yang bermotif karena Allah Swt., insya Allah keberkahan akan kita dapatkan, begitu pula sebaliknya. Allah SWT mengaruniakan kebijakan dalam diri, karena pilihan mengemas niat yang tepat. Aamiin.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Februari 2017

 

Raih Jariyah dengan Wakaf:


Artikel Terkait:

Hukum Arisan Dalam Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
IHSG Anjlok, Begini Aturan dan Hukum Jual Beli Saham dalam Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF


YDSF NEWS Edisi November 2022



Tags: efek negatif menolong, menolong, efek negatif, taawun, ydsf, altruisme

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: