Obat pun butuh
disertifikasi halal. Mengingat, untuk dapat membuat suatu obat terdiri dari
beberapa bahan. Memang, mungkin untuk alasan medis, terdapat pengecualian.
Namun, bila ada bahan subtitusi lain yang lebih layak dan jelas kehalalannya
tentu harusnya diutamakan. Belum lagi, belakangan ini sedang marak kasus gagal
ginjal akut yang diderita anak-anak. Salah satu penyebabnya yang telah
ditemukan adalah karena kandungan yang ada dalam obat anak.
Obat adalah suatu
zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi rasa sakit,
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia dan hewan (Ansel: 1989). Dari perspektif halal haram, ketentuan
obat pada manusia pada dasarnya sama seperti pada makanan dan minuman. Artinya ketika berobat manusia juga
diperintahkan untuk mencari obat yang halal.
Batas Halal Haram dalam Obat
Rasulullah saw.
bersabda, "Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan
menjadikan setiap penyakit ada obatnya maka berobatlah kalian, jangan berobat
dengan yang haram." (HR. Abu Dawud)
Berobat adalah
suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari bagi orang yang sakit, sekalipun
sebenarnya mengonsumsi obat adalah suatu yang tidak disukai. Secara normal tidak ada orang yang
berkeinginan mengonsumsi obat tanpa sebab. Dengan demikian obat adalah
bahan yang dibutuhkan dalam kondisi terpaksa. Maka jika keberadaan obat yang suci dan halal tidak tersedia sementara berobat adalah kebutuhan yang mendesak, menggunakan bahan najis pun diperbolehkan jika memang bahan tersebut bisa menyembuhkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt: "Tetapi
siapa saja dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Baqarah 173)
Maka kriteria
kebolehannya adalah karena terpaksa, sangat membutuhkan, bukan karena sekadar
memenuhi keinginan semata dan pemakaiannya tidak melampaui batas. Dan memang
dalam mengonsumsi obat tidak boleh melampaui batas tetapi harus patuh pada
dosis dan aturan pakai yang ditentukan.
Dalam hal ini
pula bisa disimak pendapat Imam Izz al-Dîn bin Abdi al-Salam dalam karyanya
Qawa'id al-Ahkam: "Boleh atas seseorang berobat dengan bahan yang najis
ketika tidak ditemukan bahan suci karena maslahat yang berhubungan dengan
kesehatan dan keselamatan lebih utama daripada maslahat menghindari najis. Namun
tidak diperbolehkan berobat dengan khamr (miras) menurut pendapat yang kuat kecuali
apabila secara pasti diketahui dapat menyembuhkan dan tidak ditemukan obat selain
itu.”
Kebolehan untuk
mengonsumsi bahan najis sebagai obat karena terpaksa ini merupakan bagian dari
ciri ajaran Islam yang rahmatan li al-alamiin. Islam yang menjadi rahmat
tidak diturunkan untuk menciptakan kesulitan atau menjadi beban bagi kehidupan,
namun justru Islam diturunkan sebagai tuntunan hidup agar manusia tidak
terjerembab kedalam kenistaan yang akan menjatuhkan martabatnya sebagai makhluk
yang mulia.
Baca juga:
TERTULIS NO PORK BUKAN JAMINAN HALAL | YDSF
KRITERIA PRODUK HALAL DAN FATWA MUI | YDSF
Jikalau manusia
diperintahkan untuk hanya mengonsumsi yang halal termasuk ketika berobat, hal
tersebut agar kemuliaan manusia tidak runtuh dan tetap bertahan sampai hayatnya
hingga menghadap Sang Pencipta. Nah, bisa dipahami bahwa kebolehan untuk menggunakan
bahan najis sebagai obat adalah bersifat keringanan yang disebabkan oleh
kondisi yang tidak semestinya atau kondisi yang abnormal.
Tidak sepatutnya
kondisi abnormal ini menjadi pembenaran bagi negara atau pemerintah untuk tidak
mengupayakan ketersediaan bahan obat yang halal. Karena pada asalnya berobat
juga diperintahkan untuk menggunakan bahan yang halal. Pemerintah adalah
lembaga publik yang memperoleh mandat dari publik yakni warga negara untuk
melakukan pengelolaan sektor publik.
Kebijakan Penggunaan Bahan Halal
pada Obat
Pemerintah yang
baik adalah pemerintah yang mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan dan
melayani apa yang menjadi kebutuhan publik yang implementasinya diatur dalam
peraturan perundangan.
UUD 1945
memberikan dasar-dasar konstitusional bagi setiap warga negara Republik
Indonesia untuk dijamin hak asasinya termasuk hak beragama dan beribadah
menurut agamanya. Hal ini ditegaskan antara lain dalam pasal 29 ayat (2).
Sedangkan memilih produk halal adalah tuntutan agama dan ba- gian dari ibadah,
sehingga penyediaan produk yang dijamin halal merupakan amanat konstitusi yang
harus diwujudkan dalam rangka memberikan jaminan kepada warga negara khususnya
yang beragama Islam untuk dapat menjalankan haknya, yaitu mengamalkan agama sesuai
dengan keyakinan yang dianutnya. Lebih-lebih lagi tidak kurang dari 86% penduduk Indonesia beragama Islam.
Sangat tidak
tepat pandangan yang menyatakan bahwa produk obat tidak perlu disertifikasi
halal dengan alasan dalam keadaan darurat obat yang haram boleh dikonsumsi. Jika
alasan seperti ini yang digunakan, sama artinya dengan pemerintah sengaja mengkondisikan
warganya terus menerus berada dalam keadaan darurat.
Lebih dari itu,
keberadaan pemerintah menurut ajaran Islam merupakan pilar bagi tegaknya negara
dan terpeliharanya agama. Seperti yang disampaikan oleh Imam Abu al-Hasan Ali
bin Muhammad al-Mawardi, "Kepemimpinan merupakan tempat pengganti kenabian
dalam menjaga agama dan menga- tur dunia, dan memilih orang yang menduduki
kepemimpinan tersebut hukumnya adalah wajib menurut ijma."
Berangkat dari
pandangan di atas, eksistensi pemerintah bagi umat Islam tidak saja diperlukan
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi juga mengatur agar
nilai-nilai agama dapat diamalkan tanpa ada halangan. Penyediaan obat yang
halal merupakan suatu keharusan bagi pemerintah karena berobat dengan yang halal
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengamalan ajaran agama tersebut.
Wa Allâhu
a'lamu bi al-shawâb.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Januari 2017
Bantu Penyintas Bencana
Artikel Terkait:
Konsumsi Obat Berbahan Haram | YDSF
BAYAR ZAKAT UNTUK ORANG YANG MENINGGAL | YDSF
Hukum Percaya Pawang Hujan dalam Islam | YDSF
MENGELUARKAN SEDEKAH DARI BUNGA BANK | YDSF
Kandungan STMJ dan Ginseng Mengandung Arak | YDSF
2 JENIS HARTA BENDA WAKAF | YDSF