Kriteria Produk Halal dan Fatwa MUI | YDSF

Kriteria Produk Halal dan Fatwa MUI | YDSF

25 Januari 2022

Untuk dapat mengetahui kehalalan sebuah produk, maka kita perlu mengetahui lebih dahulu kriteria produk halal dan fatwa MUI. Sebagaimana, Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) pada Bab I ketentuan umum menyebut sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

Selanjutnya pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan: penetapan kehalalan produk diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Maka berdasarkan ketentuan ini, praktis fatwa MUI terkait produk halal mengikat secara hukum dan menjadi satu-satunya acuan dalam penetapan standar produk halal di Indonesia.

Fatwa merupakan penjelasan ulama atau jawaban ulama yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Pada dasarnya fatwa tidak bersifat mengikat. Namun ketika fatwa telah diadopsi ke dalam hukum pasitif, keberadaannya menjadi mengikat dalam konteks masalah yang terkait, sekalipun masalah yang difatwakan bersifat ijtihadiyah. Contohnya, fatwa terkait bekicot, fatwa terkait bulu dan tanduk bangkai hewan halal, dan sebagainya. Dengan demikian, sekalipun mungkin ada pandangan yang berbeda dengan fatwa MUI dalam masalah produk halal, tetapi yang berlaku dan menjadi acuan adalah fatwa MUI.

Dalam kaitan dengan produk halal, MUI telah banyak menerbitkan fatwa sebagai standar. Dalam proses penerbitan sertifikat halal, salah satu tahapannya adalah pengkajian fatwa untuk diterbitkan keputusan penetapan kehalalan, sebagaimana diatur pada pasal 10 ayat (2) UU JPH. Artinya, setiap sertifikat yang diterbitkan harus melalui tahap pengkajian oleh komisi fatwa MUI.

Baca juga: HALALKAH MAKANAN YANG MENGANDUNG RUM ATAU ESSENCE RUM? | YDSF

Selain kriteri bahan, ada kriteria produk yang antara lain diatur dalam fatwa MUI No. 4 Tahun 2003, tentang Standardisasi Fatwa Halal.

Kriteria Produk Halal

1. Produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan. Misalnya permen valentine, permen lesbian, atau coklat homo. Atau memakai nama yang berhubungan dengan kegiatan ritual di luar Islam, sepert coklat natal, coklat Gong Xi Fa Cai, dan sebagainya. Termasuk dalam kriteria ini adalah produk-produk yang diberi nama berbau umpatan atau diberi nama makhluk yang dicela seperti iblis atau setan, misalnya mie iblis, nasi geprek sambel iblis, rawon setan, pecel kuntilanak, dan sebagainya. Produk-produk seperti ini tidak bisa disertifikasi halal meskipun bahan-bahan yang digunakan bahan halal.

2. Produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi, anjing, dan khamr,  kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia, bir pletok, dan bakpao. Dengan demikian produk yang diberi nama beef babi panggang, beef bacon, hot dog, ham burger, rootbeer, es krim rasa rhum raisin, bir 0% alkohol, dan sebagainya, sekalipun bahan-bahan yang digunakan tidak mengandung babi, atau bahkan semua bahannya adalah bahan halal, tetapi tidak bisa disertifikasi halal.

3. Produk tidak boleh menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbukan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan, seperti rasa babi, bacon flavour, aroma minuman keras, aroma rhum, aroma babi panggang, dan sebagaimnya.

4. Produk tidak boleh menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer, dan sebagainya.

5. Tidak boleh membuat produk yang bentuknya berkonotasi erotik, berbau pornografi, atau bernuansa benda/barang yang diharamkan seperti coklat yang menampilkan orang telanjang, permen berbentuk babi dan anjing, dan sebagainya.

Baca juga: Hukum Kartu Kredit dalam Pandangan Fiqih Islam | YDSF

6. Tidak boleh membuat produk yang kemasannya diberi gambar berkonotasi erotik, pornografi, atau bernuansa benda/barang yang diharamkan seperti coklat cap orang bugil, permen cap babi, kacang sanghai cap penari erotis, dan sebagainya.

Ketentuan di atas adalah kriteria yang berkaitan dengan produk agar bisa disertifikasi halal, yang mencakup semua kategori, termasuk produk yang dijual ritel ataupun produk katergori restoran.

Sehubungan dengan kriteria itu, kemungkinan ada pihak yang mempertanyakannya. Misalnya apakah dengan semua bahan halal masih tidak diperbolehkan? Juga pertanyaan, jika di dalam ketentuan fatwa MUI No. 4 Tahun 2003 dinyatakan bahwa produk-produk tersebut selain tidak bisa disertifikasi halal, juga tidak boleh dikonsumsi, apakah ini tidak berarti mengharamkan yang halal?

Pertanyaan di atas perlu dijelaskan, bahwa pernyataan tidak boleh dalam hal ini tidak berarti mengharamkan yang halal, tetapi sifatnya adalah tahdzir (memperingatkan) dan tarhib (menakut-nakuti untuk hati-hati). Hal ini mengikuti prinsip penetapan hukum dengan metode sadd al-dzari’ah (menutup perantara kepada perbuatan terlarang). Sifatnya adalah preventif, agar masyarakat tidak gegampang terhadap hal yang diharamakan, atau berbuat yang mendekati pada hal yang dilarang. Ini juga bagian dari pendidikan masyarakat agar mereka tidak ceroboh dan sengaja atau tidak menjadi terbiasa dengan identitas yang buruk, sehingga tidak peka lagi terhadap keburukan.

 

Sumber: Majalah Al-Falah Edisi Januari 2022 Rubrik Halal Haram

 

Membuat Rezeki Berkah dengan Sedekah, Klik

 

Artikel Terkait:
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF
MENGELUARKAN SEDEKAH DARI BUNGA BANK | YDSF
Hukum Gadai Barang dalam Islam | YDSF
CERMATI HALAL HARAM DI RESTORAN, RUMAH MAKAN, DAN HOTEL | YDSF

Tags: kriteria produk halal, fatwa halal MUI, produk halal MUI

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: