Untuk dapat mengetahui kehalalan sebuah produk, maka kita
perlu mengetahui lebih dahulu kriteria produk halal dan fatwa MUI. Sebagaimana,
Undang-undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) pada Bab I
ketentuan umum menyebut sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu
produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang
dikeluarkan oleh MUI.
Selanjutnya pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan: penetapan
kehalalan produk diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Maka berdasarkan ketentuan ini, praktis fatwa MUI terkait produk halal mengikat
secara hukum dan menjadi satu-satunya acuan dalam penetapan standar produk
halal di Indonesia.
Fatwa merupakan penjelasan ulama atau jawaban ulama yang
berhubungan dengan masalah keagamaan. Pada dasarnya fatwa tidak bersifat
mengikat. Namun ketika fatwa telah diadopsi ke dalam hukum pasitif,
keberadaannya menjadi mengikat dalam konteks masalah yang terkait, sekalipun
masalah yang difatwakan bersifat ijtihadiyah. Contohnya, fatwa terkait bekicot,
fatwa terkait bulu dan tanduk bangkai hewan halal, dan sebagainya. Dengan
demikian, sekalipun mungkin ada pandangan yang berbeda dengan fatwa MUI dalam
masalah produk halal, tetapi yang berlaku dan menjadi acuan adalah fatwa MUI.
Dalam kaitan dengan produk halal, MUI telah banyak
menerbitkan fatwa sebagai standar. Dalam proses penerbitan sertifikat halal,
salah satu tahapannya adalah pengkajian fatwa untuk diterbitkan keputusan
penetapan kehalalan, sebagaimana diatur pada pasal 10 ayat (2) UU JPH. Artinya,
setiap sertifikat yang diterbitkan harus melalui tahap pengkajian oleh komisi
fatwa MUI.
Baca juga: HALALKAH MAKANAN YANG MENGANDUNG RUM ATAU ESSENCE RUM? | YDSF
Selain kriteri bahan, ada kriteria produk yang antara lain
diatur dalam fatwa MUI No. 4 Tahun 2003, tentang Standardisasi Fatwa Halal.
Kriteria Produk Halal
1. Produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau
simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Misalnya permen valentine, permen lesbian, atau coklat homo. Atau memakai nama
yang berhubungan dengan kegiatan ritual di luar Islam, sepert coklat natal,
coklat Gong Xi Fa Cai, dan sebagainya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
produk-produk yang diberi nama berbau umpatan atau diberi nama makhluk yang
dicela seperti iblis atau setan, misalnya mie iblis, nasi geprek sambel iblis,
rawon setan, pecel kuntilanak, dan sebagainya. Produk-produk seperti ini tidak
bisa disertifikasi halal meskipun bahan-bahan yang digunakan bahan halal.
2. Produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau
simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang
yang diharamkan terutama babi, anjing, dan khamr, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan
tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan,
bakpia, bir pletok, dan bakpao. Dengan demikian produk yang diberi nama beef
babi panggang, beef bacon, hot dog, ham burger, rootbeer, es krim rasa rhum
raisin, bir 0% alkohol, dan sebagainya, sekalipun bahan-bahan yang digunakan
tidak mengandung babi, atau bahkan semua bahannya adalah bahan halal, tetapi
tidak bisa disertifikasi halal.
3. Produk tidak boleh menggunakan bahan campuran bagi
komponen makanan/minuman yang menimbukan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau
binatang yang diharamkan, seperti rasa babi, bacon flavour, aroma minuman
keras, aroma rhum, aroma babi panggang, dan sebagaimnya.
4. Produk tidak boleh menggunakan nama-nama makanan/minuman
yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer, dan sebagainya.
5. Tidak boleh membuat produk yang bentuknya berkonotasi
erotik, berbau pornografi, atau bernuansa benda/barang yang diharamkan seperti
coklat yang menampilkan orang telanjang, permen berbentuk babi dan anjing, dan
sebagainya.
Baca juga: Hukum Kartu Kredit dalam Pandangan Fiqih Islam | YDSF
6. Tidak boleh membuat produk yang kemasannya diberi gambar
berkonotasi erotik, pornografi, atau bernuansa benda/barang yang diharamkan
seperti coklat cap orang bugil, permen cap babi, kacang sanghai cap penari
erotis, dan sebagainya.
Ketentuan di atas adalah kriteria yang berkaitan dengan
produk agar bisa disertifikasi halal, yang mencakup semua kategori, termasuk
produk yang dijual ritel ataupun produk katergori restoran.
Sehubungan dengan kriteria itu, kemungkinan ada pihak yang
mempertanyakannya. Misalnya apakah dengan semua bahan halal masih tidak
diperbolehkan? Juga pertanyaan, jika di dalam ketentuan fatwa MUI No. 4 Tahun
2003 dinyatakan bahwa produk-produk tersebut selain tidak bisa disertifikasi
halal, juga tidak boleh dikonsumsi, apakah ini tidak berarti mengharamkan yang
halal?
Pertanyaan di atas perlu dijelaskan, bahwa pernyataan tidak
boleh dalam hal ini tidak berarti mengharamkan yang halal, tetapi sifatnya
adalah tahdzir (memperingatkan) dan tarhib (menakut-nakuti untuk hati-hati).
Hal ini mengikuti prinsip penetapan hukum dengan metode sadd al-dzari’ah
(menutup perantara kepada perbuatan terlarang). Sifatnya adalah preventif, agar
masyarakat tidak gegampang terhadap hal yang diharamakan, atau berbuat yang
mendekati pada hal yang dilarang. Ini juga bagian dari pendidikan masyarakat
agar mereka tidak ceroboh dan sengaja atau tidak menjadi terbiasa dengan
identitas yang buruk, sehingga tidak peka lagi terhadap keburukan.
Sumber: Majalah
Al-Falah Edisi Januari 2022 Rubrik Halal Haram
Membuat Rezeki Berkah dengan Sedekah, Klik
Artikel Terkait:
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF
MENGELUARKAN SEDEKAH DARI BUNGA BANK | YDSF
Hukum Gadai Barang dalam Islam | YDSF
CERMATI HALAL HARAM DI RESTORAN, RUMAH MAKAN, DAN HOTEL | YDSF