Beberapa hari
terakhir, kita kembali dihebohkan dengan adanya kasus teror bom bunuh diri di
Bandung. Ditambah, ditemukannya fakta-fakta yang menyudutkan hingga membuat
stigma negatif terhadap kaum muslim.
Seorang pakar peneliti
kejahatan dan perlindungan korban kejahatan (victimologist), Heru Susetyo, PhD,
pernah mengulas tentang perbandingan serta analisa angka kejahatan dan kebaikan di Indonesia. Yang
terangkum dalam artikel Majalah Al Falah Edisi Februari 2018. Berikut catatan
beliau:
Memang, fakta dan
data menyebutkan bahwa angka kriminalitas di Indonesia memang amat tinggi.
Utamanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung,
Semarang, Medan, Palembang dan Makassar.
Di Jakarta misalnya,
setiap 12 menit dan 18 detik terjadi satu kali kejahatan, alias 120 kejahatan
dalam sehari dan 3600 kejahatan dalam sebulan. Pada 2016 tercatat ada 43.149 kasus
kejahatan yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Dari jumlah tersebut
terjadi 719 kasus pencurian dengan kekerasan, 719 kasus perkosaan, 904 kasus
pencurian dengan pemberatan, 71 kasus pembunuhan, dan 3187 kasus penganiayaan
berat (detiknews, 30122016).
Di bidang
korupsi, prestasi Indonesia juga tidak menggembirakan. Pada tahun 2016 Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia berada pada angka 37 (angka terbaik adalah 100) dan berada
pada posisi no 90 dari 176 negara yang di data. Bahkan posisi ini berada di
bawah angka median 43 yang menunjukkan bahwa persoalan korupsi di Indonesia
memang amat serius. Parahnya, lembaga yang dianggap paling korup di Indonesia,
berdasarkan riset, adalah DPR, Birokrasi, DRPD, Ditjen Pajak, dan Kepolisian.
Di bidang
kesejahteraan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan Indeks Kedalaman
Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia meningkat masing-masing
1,83 dan 0,48 di Maret 2017 dibanding realisasi September 2016 yang sebesar
1,74 dan 0,44. Jumlah penduduk miskin di bulan ketiga ini sebanyak 27,77 juta
orang dengan persentase 10,64 persen (liputan6.com, 17072017).
Angka
pengangguran di Indonesia tidak kalah parahnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan,
pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar
10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016
sebesar 7,03 juta orang (kompas.com, 06112017). Dengan angka pengangguran sebesar
ini sudah jauh melewati penduduk negara-negara termakmur di dunia seperti Denmark,
Finlandia, Norwegia, Singapore dan Selandia Baru yang rata-rata penduduknya di bawah
angka tujuh juta jiwa.
Benarkah negeri
ini melulu hanyalah berwajah kejahatan, kekerasan, korupsi, miskin, mengganggur,
diskriminatif, intoleran, radikal?
Tidak benar
tentunya. Kita tidak menafikan bahwa semua fenomena sosial tersebut memang
eksis di Indonesia, dengan kuantitas yang besar pula. Namun, fenomena itu tidak
mewakili Indonesia sepenuhnya. Di samping kejahatan, masih banyak kebaikan di
negeri ini.
Di samping
perilaku korupsi, perilaku jujur juga masih mudah ditemui. Di samping
kemiskinan dan pengangguran, penduduk yang sejahtera dan bekerja secara
produktif juga masih banyak jumlahnya. Di samping mereka yang diskriminatif,
intoleran dan radikal, mereka yang adil, bijak, cinta damai dan penuh toleransi
juga masih mudah ditemui di Indonesia.
Pada akhirnya ini
kembali pada cara pandang dan tone mana yang akan kita gunakan. Media
mana yang kita percayai. Dan mau dibawa ke mana Indonesia yang sama-sama kita
cintai ini.
Baca juga: MENEBAR KEBAIKAN DAN KEMANUSIAAN MELALUI PEKERJA SOSIAL
Masih banyak
kebaikan di negeri ini. Ketika banyak negara-negara di dunia mulai mendesakralisasi
lembaga perkawinan dan keluarga, trend perkawinan dan membentuk keluarga
masih amat positif di Indonesia.
Indonesia masih
mengalami bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif yang masih
melimpah ruah. Penduduk Indonesia bertambah sekitar 4 juta jiwa setiap tahunnya
dengan total fertility rates (TFR) 2.34 pada tahun 2017. Bonus demografi ini
adalah berkah, kehadiran anak, lembaga perkawinan dan keluarga masih dianggap
penting. Walau juga bisa berkembang menjadi musibah apabila tidak dikelola
dengan baik.
Kebaikan
Indonesia yang lain adalah negeri ini masih berketuhanan Yang Maha Esa. Alias,
modernitas dan kemajuan teknologi tak sekali-kali menggusur signifikansi agama dalam
kehidupan rakyat Indonesia. Semangat beribadah dan beragama tetap lancar jaya. Walau
sesekali ada konflik sosial antar umat beragama, namun secara umum kehidupan antar
umat beragama di Indonesia relatif harmonis.
Perkawinan
tradisional yang heteroseksual masih menjadi satu-satunya perkawinan yang sah
di Indonesia. Walaupun 25 negara di dunia sudah melegalkan perkawinan sesama
jenis (same sex marriage) sejak 2001 (dimulai oleh Belanda pada 2001 dan
terakhir Malta pada 2017), dan sebagian negara lainnya melegalkan cohabitation
(kumpul kebo) civil union, domestic partnership, common law
marriage, negara Indonesia tetap tidak latah dan tidak genit. Tetap
bertahan dengan perkawinan tradisional yang heterokseksual karena pengaruh
masih kuatnya nilai-nilai agama dan sosial budaya di Indonesia di tengah-tengah
pengaruh liberalism dan sekularisme barat.
Negeri ini juga
masih mengutuk perilaku seks sebelum nikah. Walau tak ada juga sanksi hukumnya,
kecuali dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. Bandingkan dengan negara lain. Seks
sebelum menikah adalah legal dengan batas usia minimal tertentu. Uruguay
misalnya menetapkan usia 12 tahun, Argentina 13 tahun, dan Brasil 14 tahun.
Sementara itu Perancis menetapkan usia 15 tahun, Belanda 16 tahun, Jerman 14
tahun, Russia 16 tahun dan Inggris Raya juga 16 tahun. Negeri jiran Singapore menetapkan
16 tahun, Jepang 13 tahun, dan Australia bervariasi antara 16 tahun dan 17 tahun
(tergantung negara bagiannya).
Kebaikan lain
dari negeri bernama Indonesia adalah semangat kedermawanan sosial dan
filantropi warga negaranya. Negeri mana di dunia yang secara sukarela menampung
dan tidak mengusir pengungsi dan pencari suaka dari Asia Tengah, Asia Selatan, dan
Asia Tenggara yang transit ataupun terdampar di Indonesia dalam perjalanannya menuju
Australia?
Sejak 1979
Indonesia telah menampung pengungsi dari Cambodia dan Vietnam selama 16 tahun
lebih di Pulau Galang dan Rempang di Kepulauan Riau. Lalu gelombang pengungsi
di akhir tahun 90-an hingga kini yang mengalir dari Afghanistan, Iran, Irak, Sri
Lanka (Tamil), Myanmar (Rohingya) tak sekali sekali diusir pulang ke negeri
asal mereka. Contoh paling akhir adalah bagaimana nelayan dan masyarakat di
sekitar Aceh dan Sumatera Utara membantu menyelamatkan pengungsi Rohingya yang
terkatung-katung di Lautan Hindia berhari-hari akibat terusir dari kampong
halamannya di Myanmar. Padahal, Indonesia belum meratifikasi konvensi tentang
Status Pengungsi tahun 1951, yang berarti tak memiliki kewajiban dari sisi
hukum internasional untuk menampung pengungsi.
Baca juga: KISAH UMAT TERDAHULU YANG DIUJI ALLAH | YDSF
Bandingkan dengan
Australia, kebijakan imigrasi Australia sangat keras. Kendati sudah
meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, negerinya empat kali luas wilayah
Indonesia dan penduduknya hanya 11% dari total penduduk Indonesia (sejumlah
24.7 juta jiwa saja tahun 2017), Australia selalu menolak kedatangan manusia
perahu (boat people) dari Asia.
Semangat berderma
masyarakat Indonesia juga masih luar biasa. Kendati perolehan dana zakat masih jauh dari potensinya (baru IDR 5
trilliun dari total potensi IDR 271 trilyun pada tahun 2017), namun masih amat
mudah menemui para muzakki ataupun orang-orang yang rela untuk menyisihkan
sebagian hartanya guna menolong sesamanya. Apalagi, kini amat banyak start-up
penggalangan dana kemanusiaan yang memudahkan orang untuk berderma di zaman now.
Dan seringkali
para muzakki atau orang yang berderma tersebut adalah orang yang tak
terduga-duga. Orang biasa saja yang tak dikenal sebagai aktifis dakwah ataupun
pegiat masjid. Dan penulis pernah mengalaminya. Ketika penulis melakukan fundraising
untuk adik kelas yang terancam drop out karena tak mampu membayar biaya studi,
maka penulis mengedarkan imbauan berdonasi via social media kepada mantan
teman-teman kuliah zaman dahulu. Dan masya Allah, dalam hitungan jam saja telah
terkumpul dana nyaris Rp20 juta rupiah. Kerennya, donasi terbesar diberikan
oleh Mr. X, teman penulis, yang mendonasikan hartanya sebanyak Rp 9 juta tanpa
syarat apapun kecuali satu: “Ru, gua transfer Rp9 juta ya buat adik mahasiswa
itu, dan please nama gua jangan pernah disebut sebagai penyumbang-nya.”
Dahsyat, tho.
Percayalah, masih banyak kebaikan di negeri ini. Dan tak habis kertas berlembar-lembar
untuk menuliskan kebaikan-kebaikan tersebut. Tambahan lagi, negeri ini adalah
surga yang mengalir ke bumi. Posisinya strategis, antara Asia dan Australia.
Antara Samudera Pasifik dan Lautan Hindia. Tanahnya luas, lautnya luas,
pantainya indah dan banyak, gunungnya bejibun. Flora dan faunanya amat bervariasi.
Budaya masyarakatnya beragam dan amat majemuk.
Cobalah sesekali
saudara ke negeri minim hujan dan gersang sangat macam di Afrika Selatan,
Kongo, Mozambique, Namibia, atau Afrika Utara dan Timur Tengah, maka betapa kita
amat bersyukur tinggal di Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke perlu sekitar 4
jam terbang dengan pesawat. Sehingga kitapun punya banyak pilihan travelling
di dalam negeri tanpa harus melancong ke negeri lain. Bandingkan apabila anda
penduduk Singapura, Malta, Maldives, Palau, Nauru, Tuvalu, St Kitt & Nevis
dan Marshall Island, yaitu negeri-negeri pulau yang berukuran mini. Anda tak
punya banyak pilihan selain berwisata ke luar negeri apabila bosan mendapati
kenyataan bahwa negeri anda amat kecil. Maka, jangan pernah lelah mencintai
Indonesia!!!
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Februari 2018
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Cara Mencari Berkah (Tabarruk) Allah Sesuai Syariat Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF