Secara bahasa, qurban berasal dari bahasa Arab ‘qurban’ yang padanan katanya berasal dari kata ‘qaraba’ yang artinya dekat atau mendekatkan. Kata qurban ini satu akar kata dengan ‘qarib’ dan “kerabat.” Sahabat karib, berarti sahabat dekat. Karib kerabat atau kaum berarti keluarga dekat.
Dengan pengertian ini, qurban pada intinya adalah suatu upaya untuk lebih dekat dengan sesuatu. Kalau berqurban untuk Allah, artinya berusaha mendekatkan diri dengan Allah.
Untuk dekat kepada sesuatu seringkali diperlukan pengorbanan. Untuk lebih dekat dengan sang kekasih, terkadang diperlukan ongkos-ongkos tertentu yang harus dibayarkan (baca: diqurbankan) seperti waktu, perasaan, bahkan materi. Untuk dekat kepada atasan atau orang berpengaruh (pejabat) kadang diperlukan juga semacam qurban berupa parsel misalnya.
Semua jenis pengorbanan di atas bertujuan untuk mendekatkan diri kepada sesuatu, apakah itu dewa-dewa, penunggu pohon, gunung, laut, atau arwah leluhur. Biasanya, sesuatu yang dikorbankan itu dibiarkan begitu saja tanpa diganggu kecuali kurban manusia yang harus meregang nyawanya. Intinya, sesuatu yang diqurbankan itu tidak ada faidahnya bagi manusia.
Menurut keyakinan penganut ajaran-ajaran ini, sebagai imbalan dari pengorbanan ini, dewa-dewa, penunggu, atau arwah leluhur akan memberikan perlindungan, melimpahkan rezeki pertanian dan kelautan, dan sebagainya.
Belakangan, karena pengaruh ajaran Islam dan mungkin dunia modern, qurban tadi boleh dinikmati oleh manusia. Sesajen yang tadinya harus dilarung, dibuang, atau diletakkan di suatu tempat, boleh dibagi-bagikan kepada orang banyak. Dalam banyak tradisi upacara seperti ini kita saksikan orang-orang berebut sesajen untuk mengharapkan berkah.
Pengorbanan Berupa Sosok Manusia
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam tradisi primitif pengorbanan manusia dilakukan untuk mendapat simpati dari sesuatu yang diyakini mempunyai kekuatan seperti dewa, gunung, dan sebagainya. Ini adalah pengorbanan manusia dalam arti sempit. Artinya, nyawa seorang manusia dikorbankan untuk menyenangkan sesuatu yang ditakuti itu.
Dalam perkembangannya, pengorbanan manusia mengalami perubahan. Pengorbanan manusia tidak lagi dilakukan di atas batu altar atau kawah gunung. Yang terjadi adalah mengorban jiwa orang lain demi kepentingan manusia lain misalnya lewat jalur perbudakan, pembunuhan, peperangan, dan sebagainya.
Semua jenis qurban atau korban yang disebutkan belakangan ini adalah obyek penderita akibat tindakan kejahatan orang lain untuk kepentingannya atau seseorang lainnya. Dalam kaitan ini, semangat qurban itu sendiri mengalami perubahan orientasi.
Dari kurban untuk kepentingan orang banyak menjadi untuk kepentingan individu atau kelompok. Qurban yang tadinya diharapkan untuk mendapat blessing dari sesuatu yang ghaib menjadi harapan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya materi dan instan. Kurban yang tadinya dianggap tidak bertentangan nilai-nilai kemanusiaan menjadi musuh nomor satu para aktivis HAM.
Peradaban modern seharusnya adalah peradaban yang dapat meminimalisir jenis-jenis pengorbanan yang merugikan tersebut. Ironisnya, justru di zaman modern ini pengorbanan-pengorban itu lebih menjadi-jadi. Bahkan pengorbanan manusia lain itu terjadi berlapis-lapis atau yang disebut Peter L. Berger sebagai The Pyramide of Sacrifice (Piramida Korban).
Pengorbanan orang lain itu tidak melulu menyangkut nyawa tetapi bisa berupa fisik, tenaga, pikiran, waktu, materi, dan sebagainya demi kepentingan pihak lain di luar diri si korban. Si korban pun pada gilirannya dapat pula mengorbankan orang lain pula dan begitu seterusnya hingga membentuk piramida korban. Hanya yang teratas lah yang selamat dari keharusan berkorban itu.
Ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti dalam situasi krisis ekonomi, perusahaan terancam bangkrut, dan sebagainya, ada pihak-pihak yang harus dikorbankan terlebih dahulu untuk menyelamatkan pihak lain. Dalam krisis ekonomi, yang paling merasakan akibatnya adalah rakyat kecil.
Dalam keadaan perusahaan harus melakukan efisiensi maka yang dirasionalisasi terlebih dahulu adalah karyawan level bawah.
Sejarah Qurban dalam Islam
Dalam Islam, tradisi qurban diambil dari kisah Ibrahim a.s. Diceritakan, Ibrahim a.s. bermimpi disuruh untuk menyembelih anaknya. Ibrahim a.s. baru mendapat keturunan setelah sekian lama menikah dan tak lama kemudian dia disuruh untuk membunuh anak yang dirindui dan dicintainya itu. Mirip cerita Roro Anteng dan Joko Seger di Gunung Bromo yang diharuskan untuk mengorbankan anak yang paling mereka cintai.
Ketika pisau telah diletakkan di leher Ismal, tiba-tiba yang disembelih oleh Ibrahim adalah seekor gibas. Sementara Ismail berdiri tidak jauh dari situ tidak tahu apa yang terjadi. Ibrahim telah lulus ujian yang paling berat dalam sejarah manusia: menyembelih buah hati sendiri.
Apa hikmahnya? Banyak sekali. Salah satunya adalah peristiwa itu merupakan perintah atau dekrit Tuhan kepada manusia di sepanjang zaman yang menyatakan bahwa tidak boleh lagi ada qurban-qurban manusia lainnya yang jatuh. Pengorbanan manusia atas nama Tuhan saja tidak dibolehkan apalagi demi kepentingan individu atau golongan. Setiap orang harus mendapatkan hak-haknya tanpa boleh dicederai oleh manusia lain.
Semua manusia adalah satu karena pengorbanan itu hanya boleh dilakukan karena Allah. Kebaktiannya sampai kepada Allah, sementara daging qurban itu dibagikan kepada umat manusia. Selamat Hari Raya Idul Adha, jangan ada lagi korban-korban manusia!
Peristiwa itu merupakan perintah atau dekrit Tuhan kepada manusia di sepanjang zaman yang menyatakan bahwa tidak boleh lagi ada kurban-kurban manusia lainnya yang jatuh.
Sumber: Majalah Al Falah Edisi Agustus 2018
Baca Juga:
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Hakikat dan Keutamaan Silaturahim
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF
Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF