Keteladanan, menjadi kata kunci yang saya sepakati bersama istri dalam membangun keluarga surgawi, termasuk dalam menata disiplin dan kebiasaan baik kehidupan sehari-hari. Kebiasaan baik itu antara lain silaturrahim, kami lebih banyak mengajak bukan menyuruh apalagi menggertak.
Meskipun kami cukup sibuk, seperti mengurusi perusahaan A, asosiasi B, pengajian dan dakwah C, narasumber D, dan lain sebagainya, kami masih bisa memiliki waktu yang cukup untuk anak-anak.
Bahkan dari sela waktu yang ada, kami masih bisa mengajak anak-anak silaturrahim keluarga atau teman dekat, dilanjutkan belanja buku yang membuat mereka punya kemampuan literasi di atas rata-rata seusianya. Hasilnya, anak-anak selalu pernah menjadi juara pinjam buku terbanyak dikelasnya.
Apalagi untuk urusan silaturrahim ketika lebaran, kami selalu memprioritaskan hal ini ketika bepergian, lebih-lebih ketika mudik lebaran. Kami pun begitu getol mengajak anak-anak kami silaturrahim, sebisa mungkin semua anak harus ikut tanpa terkecuali. Tak lupa kami menyampaikan manfaat-manfaat silaturrahim kepada mereka, yang di antaranya membuat bahagia, menambah rezeki, piawai bersyukur, dan memanjangkan usia.
Menanam Semangat Silaturrahim
Saat liburan ke luar kota, kami menyempatkan untuk mengunjungi saudara atau kolega yang tinggal di kota tersebut. Sedangkan, saat mudik lebaran lebih lagi, bisa dipastikan satu sampai dua hari habis hanya untuk silaturrahim ke tetangga kanan-kiri. Dan tradisi itu terus berulang setiap mudik lebaran.
Tak kurang harus berkunjung 10 keluarga istri dan 10 keluarga saya sendiri, ditambah dengan kolega, guru dan tokoh pesantren di kampung halaman, Takeran. Tidak hanya berkenalan, tapi kami tanamkan pada anak-anak bagaimana adab terhadap orang tua atau pun yang dituakan, juga sikap tawadhu’ pada ustadz/guru/kyai yang telah mengukir kehidupan kita, hingga sukses seperti sekarang ini. Tidak ada bekas guru/ustadz.
Semangat silaturrahim ini diwariskan ayah kami, Muslih Tamam (alm), sejak kecil. Huda kecil sering diajak silaturahim oleh Abah Muslich walaupun dengan kendaraan seadanya, kadang naik dokar, pedati (kereta ditarik sapi), mobil pikap bersama muatan kambing atau naik motor butut berdua menempuh jarak sejauh lebih 150 km, Takeran-Rembang.
Bahkan terkadang, keluarga yang sudah lost contact pun berusaha kami sambung kembali silaturrahimnya. Walaupun mungkin sudah puluhan tahun tidak bertemu, tapi saat menyebut nama kakek-nenek kami, maka ikatan kekeluargaan kembali terjalin.
Meneladani semangat silaturrahim dari ayah kami inilah yang membuat kami meluangkan waktu untuk kumpul sekeluarga lengkap dengan semua anggotanya, meskipun saat ini kami tinggal di kota yang berbeda-beda.
Bertutur Agar Membekas
Selama perjalanan mudik, kami manfaatkan dengan bercerita nostalgia saat kecil tinggal di desa, lengkap dengan pahit-getir perjuangan dan asam-manis kehidupan yang telah kami lakoni selama ini.
Sejak saat sekolah di kota berjarak 10 km dengan bersepeda angin, kuliah di Yogya dengan uang kiriman seadanya, menapaki awal berkeluarga dan meniti karir dari titik nol. Dan kami pesankan spirit kebaikan dan totalitas dalam mengemban amanah apapun, jangan mediocrity (biasa-biasa saja).
Pada kesempatan yang sama, sekaligus memberi wejangan-wejangan tentang kerasnya kehidupan dan bekal spiritual yang harus anak-anak persiapkan. Karena saya yakin, denganbertutur maka apa yang keluar dari lisan kami bukanlah merupakan teori atau rekaan belaka, tapi kisah nyata. Dan bagi anak-anak kisah itu lebih berbekas dan mudah dicerna.
Lebih dari itu, kami melatih anak-anak untuk belajar manajemen waktu dan mengatur skala prioritas, ditengah agenda silaturrahim yang sangat banyak dan waktu yang sangat terbatas. Maklum, saat bekerja di percetakan koran, tidak ada libur panjang meski lebaran, praktis hanya tersedia waktu 3 hari 2 malam untuk menempuh rute standar Surabaya–Rembang-Madiun balik Surabaya.
Dengan demikian anak-anak akan belajar dan memahami apa arti efisiensi, berbagi, berempati, dan berkoordinasi yang sangat berguna bagi kehidupan mereka nantinya.
Memulai Kebersamaan dari Rumah
Karena sudah dibiasakan kerja-bakti bersama di rumah, maka ketika kami bepergian lebaran pun otomatis berlaku sama, sigap bekerja sama. Contohnya, saat akan pergi mudik. Kami menunjuk imam musafir, yang biasanya Wafi sebagai anak laki tertua sekaligus sopir, ada yang mengurusi tetek bengek permobilan, ada yang mengurusi barang hantaran, koper keluarga, si bungsu Fauzan bagian jaga stock makanan selama perjalanan, dsb. Libur Lebaran pun bukan suatu hal yang rumit. Karena kami memang tidak tergantung dengan keberadaan pembantu atau kami biasa sebut asisten rumah tangga (ART).
Demikian juga ketika beberapa hari di desa, agar tidak ngrepoti orangtua, pagi-pagi kami mulai mengajak kerja bakti bersama dengan menanyakan jenis yang akan diambil. Misalnya, siapa cuci mobil? Atau, siapa yang ke pasar? Tak lupa kami melibatkan si bungsu Fauzan. Meski ketika itu dia masih SD, dia kebagian menyala-mati-kan lampu dan membuka-tutup korden.
Sambil membagi tugas, kami biasanya sudah memegang selang air dan bak air untuk cuci mobil, tanda kami sudah siap memberi contoh kerja bakti.
Mereka diajak dengan baik-baik, diberikan pilihan ‘mau mengerjakan apa’ dan diberi teladan. Siapa yang tidak luluh hatinya jika semua hal dilakukan dengan cara ‘demokratis’ seperti ini? Contoh, saat kami bilang, “Abah sudah cuci mobil lho.” Apa iya, anak-anak yang tinggal numpang dan duduk dengan manis masih saja tega berpangku tangan?
Oleh: Misbahul Huda
(Founder Rumah Kepemimpinan Indonesia)
Editor: Ayu SM