Program

Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim

10 Juni 2019•36 min baca•Admin
featured
<p>Keteladanan,&nbsp; menjadi&nbsp; kata&nbsp; kunci&nbsp; yang saya sepakati bersama istri dalam membangun&nbsp; keluarga&nbsp; surgawi, termasuk dalam menata disiplin dan kebiasaan baik kehidupan sehari-hari. Kebiasaan baik itu antara lain silaturrahim, kami&nbsp; lebih banyak mengajak bukan menyuruh&nbsp; apalagi menggertak.</p> <p>Meskipun kami cukup sibuk, seperti mengurusi perusahaan A, asosiasi B, pengajian dan dakwah C, narasumber D,&nbsp; dan lain sebagainya, kami masih bisa&nbsp; memiliki waktu yang cukup untuk anak-anak.</p> <p>Bahkan dari sela waktu yang ada, kami masih bisa&nbsp; mengajak&nbsp; anak-anak silaturrahim keluarga atau teman dekat, dilanjutkan belanja buku yang membuat mereka punya kemampuan literasi di atas rata-rata seusianya. Hasilnya, anak-anak selalu pernah menjadi juara pinjam buku terbanyak dikelasnya.</p> <p>Apalagi untuk urusan silaturrahim ketika lebaran, kami selalu memprioritaskan hal ini ketika&nbsp; bepergian, lebih-lebih ketika mudik lebaran. Kami pun begitu getol mengajak anak-anak kami&nbsp; silaturrahim,&nbsp; sebisa&nbsp; mungkin&nbsp; semua anak harus ikut tanpa terkecuali. Tak lupa kami menyampaikan manfaat-manfaat silaturrahim kepada mereka, yang di antaranya membuat bahagia, menambah rezeki, piawai bersyukur, dan memanjangkan usia.</p> <h5><strong>Menanam Semangat Silaturrahim</strong></h5> <p>Saat liburan ke luar kota, kami menyempatkan untuk mengunjungi saudara atau kolega yang tinggal di kota tersebut. Sedangkan, saat mudik lebaran lebih lagi, bisa dipastikan satu sampai dua hari habis&nbsp; hanya untuk silaturrahim ke tetangga&nbsp; kanan-kiri.&nbsp; Dan tradisi itu terus berulang setiap mudik lebaran.</p> <p>Tak&nbsp; kurang harus berkunjung 10 keluarga istri dan 10 keluarga saya sendiri, ditambah dengan kolega, guru dan tokoh pesantren di kampung halaman, Takeran. Tidak&nbsp; hanya&nbsp; berkenalan,&nbsp; tapi&nbsp; kami&nbsp; tanamkan pada anak-anak bagaimana adab terhadap orang tua atau pun yang dituakan, juga sikap tawadhu&rsquo; pada&nbsp; ustadz/guru/kyai&nbsp; yang&nbsp; telah&nbsp; mengukir kehidupan&nbsp; kita,&nbsp; hingga&nbsp; sukses&nbsp; seperti&nbsp; sekarang ini. Tidak ada bekas guru/ustadz.</p> <p>Semangat&nbsp; silaturrahim&nbsp; ini&nbsp; diwariskan&nbsp; ayah kami, Muslih Tamam (alm), sejak kecil. Huda kecil sering&nbsp; diajak&nbsp; silaturahim&nbsp; oleh&nbsp; Abah&nbsp; Muslich walaupun&nbsp; dengan&nbsp; kendaraan&nbsp; seadanya,&nbsp; kadang naik&nbsp; dokar,&nbsp; pedati&nbsp; (kereta&nbsp; ditarik&nbsp; sapi),&nbsp; mobil pikap bersama muatan kambing atau naik motor butut berdua menempuh jarak sejauh lebih 150 km, Takeran-Rembang.</p> <p>Bahkan&nbsp; terkadang,&nbsp; keluarga&nbsp; yang&nbsp; sudah <em>lost contact</em> pun&nbsp; berusaha&nbsp; kami&nbsp; sambung kembali&nbsp; silaturrahimnya.&nbsp; Walaupun&nbsp; mungkin sudah&nbsp; puluhan&nbsp; tahun&nbsp; tidak&nbsp; bertemu,&nbsp; tapi&nbsp; saat menyebut nama kakek-nenek kami, maka ikatan kekeluargaan kembali terjalin.</p> <p>Meneladani semangat silaturrahim dari ayah kami inilah yang membuat kami meluangkan waktu untuk kumpul sekeluarga&nbsp; lengkap&nbsp; dengan&nbsp; semua&nbsp; anggotanya, meskipun saat ini kami tinggal di kota yang berbeda-beda.</p> <h5><strong>Bertutur Agar Membekas</strong></h5> <p>Selama perjalanan mudik, kami manfaatkan dengan&nbsp; bercerita&nbsp; nostalgia&nbsp; saat&nbsp; kecil&nbsp; tinggal&nbsp; di desa, lengkap dengan pahit-getir perjuangan dan asam-manis&nbsp; kehidupan&nbsp; yang&nbsp; telah&nbsp; kami&nbsp; lakoni selama&nbsp; ini.&nbsp;</p> <p>Sejak&nbsp; saat&nbsp; sekolah&nbsp; di&nbsp; kota&nbsp; berjarak 10&nbsp; km&nbsp; dengan&nbsp; bersepeda angin, kuliah di Yogya dengan&nbsp; uang&nbsp; kiriman&nbsp; seadanya,&nbsp; menapaki&nbsp; awal berkeluarga dan meniti karir dari titik nol. Dan kami pesankan spirit kebaikan dan totalitas dalam&nbsp; mengemban&nbsp; amanah&nbsp; apapun,&nbsp; jangan mediocrity (biasa-biasa saja).</p> <p>Pada kesempatan yang sama, sekaligus memberi&nbsp; wejangan-wejangan tentang kerasnya kehidupan&nbsp; dan&nbsp; bekal&nbsp; spiritual&nbsp; yang&nbsp; harus&nbsp; anak-anak persiapkan. Karena saya yakin, denganbertutur maka apa yang keluar dari lisan kami bukanlah&nbsp; merupakan teori atau rekaan belaka, tapi kisah&nbsp; nyata. Dan bagi anak-anak kisah itu lebih berbekas dan mudah dicerna.</p> <p>Lebih dari itu, kami melatih anak-anak untuk belajar&nbsp; manajemen&nbsp; waktu&nbsp; dan&nbsp; mengatur&nbsp; skala prioritas,&nbsp; ditengah agenda silaturrahim yang sangat banyak dan waktu yang sangat terbatas. Maklum, saat bekerja di percetakan koran, tidak ada&nbsp; libur&nbsp; panjang&nbsp; meski&nbsp; lebaran,&nbsp; praktis&nbsp; hanya tersedia waktu 3 hari 2 malam untuk menempuh rute standar Surabaya&ndash;Rembang-Madiun balik Surabaya.&nbsp;</p> <p>Dengan demikian anak-anak akan belajar dan memahami apa arti efisiensi, berbagi, berempati, dan berkoordinasi&nbsp; yang&nbsp; sangat&nbsp; berguna bagi kehidupan mereka nantinya.</p> <h5><strong>Memulai Kebersamaan dari Rumah</strong></h5> <p>Karena&nbsp; sudah&nbsp; dibiasakan&nbsp; kerja-bakti bersama&nbsp; di&nbsp; rumah, &nbsp;maka&nbsp; ketika&nbsp; kami&nbsp; bepergian lebaran pun otomatis berlaku sama, sigap bekerja sama.&nbsp; Contohnya, saat&nbsp; akan&nbsp; pergi&nbsp; mudik. Kami menunjuk&nbsp; imam musafir, yang biasanya Wafi sebagai anak laki tertua sekaligus sopir, ada yang mengurusi&nbsp; tetek&nbsp; bengek&nbsp; permobilan, ada yang mengurusi&nbsp; barang&nbsp; hantaran, koper keluarga, si bungsu Fauzan bagian jaga <em>stock</em> makanan selama perjalanan, dsb. Libur Lebaran pun bukan suatu hal&nbsp; yang&nbsp; rumit.&nbsp; Karena&nbsp; kami&nbsp; memang&nbsp; tidak tergantung dengan keberadaan pembantu atau kami biasa sebut asisten rumah tangga (ART).</p> <p>Demikian&nbsp; juga&nbsp; ketika&nbsp; beberapa&nbsp; hari&nbsp; di desa,&nbsp; agar&nbsp; tidak&nbsp; <em>ngrepoti</em>&nbsp; orangtua,&nbsp; pagi-pagi kami mulai mengajak kerja bakti bersama dengan menanyakan jenis yang akan diambil. Misalnya, siapa cuci&nbsp; mobil? Atau, siapa yang ke pasar?&nbsp; Tak&nbsp; lupa kami&nbsp; melibatkan si&nbsp; bungsu&nbsp; Fauzan.&nbsp; Meski ketika itu dia masih SD, dia kebagian menyala-mati-kan lampu&nbsp; dan&nbsp; membuka-tutup&nbsp; korden.</p> <p>Sambil membagi tugas, kami biasanya sudah memegang selang air dan bak air untuk cuci mobil, tanda kami sudah siap memberi contoh kerja bakti.</p> <p>Mereka diajak dengan baik-baik, diberikan pilihan &lsquo;mau mengerjakan apa&rsquo; dan diberi teladan.&nbsp; Siapa yang tidak luluh hatinya jika semua hal dilakukan dengan cara &lsquo;demokratis&rsquo; seperti ini?&nbsp; Contoh, saat kami bilang,&nbsp; &ldquo;Abah sudah cuci mobil lho.&rdquo; Apa iya, anak-anak yang tinggal numpang dan duduk dengan manis masih saja tega berpangku tangan?</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong><em>Oleh: Misbahul Huda</em></strong><br /><strong><em>(Founder Rumah Kepemimpinan Indonesia)</em></strong></p> <p><strong><em>Editor: Ayu SM</em></strong></p> <p><strong><em>&nbsp;</em></strong></p>

Dukung Program Ini

Mari bersama-sama membantu program ini untuk mencapai tujuannya dan memberikan dampak positif bagi masyarakat