Halal bihalal merupakan sebuah tradisi yang
sering kita rayakan saat Idulfitri, namun bagaimana sebenarnya hukum halal
bihalal dalam Islam?
Halal bihalal adalah sebuah aktivitas
silaturahmi dengan saling bermaafan dengan tujuan untuk memperkuat tali
persaudaraan dan menumbuhkan rasa kasih sayang. Kegiatan ini menjadi hal yang
seolah “wajib” setiap lebaran fitri tiba. Bahkan, saat momen ini pula rasa
gengsi dan perseisihan yang pernah ada seolah terlupakan karena besarnya rasa
saling lapang dada.
Dinarasikan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya
dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Makna Halal Bihalal
Dari pendekatan bahasa Arab, halal bihalal berasat
dari kata “halla” atau “halala” yang mempunya banyak arti sesuai
dengan konteks kalimatnya. Di antaranya yaitu penyelesaian problem (kesulitan),
meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang
membelenggu.
Maka, secara kontekstual bahasa, halal bihalal
diartikan sebagai suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan
sesudah lebaran melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama
manusia dari benci menjadi menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan
dari berdosa menjadi bebas dari dosa.
Sedangkan dalam hukum fiqih Islam, di dalam
kalimat halal bihalal terdapat kata halal yang berarti sesuatu yang
diperbolehkan. Berbanding terbalik dengan kata haram yang merupkaan suatu tuntutan
yang harus ditinggalkan karena berpotensi melahirkan dosa dan mengkibatkan
siksaan.
Dengan demikian, makna halal bihalal ditinjau
dari segi hukum adalah menjadikan sikap yang tadinya haram atau berdosa menjadi
halal dan tidak berdosa lagi. Hal tersebut dapat tercapai bila syarat-syarat
lain terpenuhi, yaitu syarat taubat. Seperti menyesali perbuatan, tidak
mengulangi lagi, meminta maaf dan jika berkaitan dengan barang maka
dikembalikan kecuali mendapat ridha dari pemiliknya.
Di Makkah dan Madinah, tradisi halal bihalal
tidak dikenal. Karena itu, bisa dikatakan halal bihalal made in Indonesia
atau ciptaan umat Islam Indonesia. Oleh karenanya, dalam bahasa para ulama
menyebutkan bahwas halal bihalal adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di
tengah masyarakat Asia Tenggara.
Baca juga: Bolehkah Zakat Diberikan untuk untuk Non-Muslim? | YDSF
Hukum Halal Bihalal
Meski belum pernah dicontohkan atau terdapat
hadits secara langsung tentang halal bihalal, para ulama bersepakat bahwa
melakukan halal bihalal hukumnya adalah mubah dalam Islam. Hal ini dikarenakan
meninjau tujuan utama dari halal bihalal itu sendiri, yaitu silaturahmi. Hasil
dari silaturahmi inilah kemudian dapat menumbuhkan rasa gembira dan segala hal
positif yang insya Allah dijaga agar tidak menyimpang dari syariat.
Agar kegiatan halal bihalal lebih bermakna dan
memperhatikan ketentuan syari, maka terdapat beberapa hal yang perlu kita
perhatikan. Berikut merupakan hal-hal yang dilarang terjadi dalam agenda halal
bihalal:
1.
Mengakhirkan permintaan
maaf hingga datangnya Idulfitri
Ketika melakukan kesalahan atau kezaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idulfitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf-memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Sehingga jadilah “mohon maaf lahir dan batin” menjadi ucapan yang wajib saat perayaan IdulFfitri. Padahal, makna Idulfitri lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi meraih kemenangan pasca Ramadhan.
Selain itu, belum tentu juga kita akan hidup sampai Idulfitri tiba. Itulah alasan utama kita agar menyegerakan meminta maaf setiap memiliki khilaf atau melakukan zalim kepada sesama.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya, karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari).
2.
Ikhtilat (campur baur lawan
jenis)
Dinarasikan dari Abu Usaid al-Anshari, ia mendengar Rasulullah saw. bersabda saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita, “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah dipinggirnya,” maka para wanita melekat di dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya.” (HR. Abu Daud).
3.
Berjabat tangan dengan
lawan jenis yang bukan mahram
Dari Ma’qil bin Yasar r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Tabrani).
Al-Albani berkata, “Ancaman
keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya
terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram), karena
tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat
Islam yang jatuh dalam kesalahan ini.”
Bismillah, semoga
ikhtiar kita dalam mempererat silaturahmi dimudahkan Allah dan dijauhkan dari
segala hal yang tidak sesuai syariat.
Wakaf di YDSF
Artikel Terkait
Pesan Rasulullah Saw. Untuk Umat Muslim Jelang Akhir Zaman | YDSF
BAYAR ZAKAT UNTUK ORANG YANG MENINGGAL | YDSF
Mendahulukan Qadha Puasa, Lalu Puasa Syawal | YDSF
KEJAR BERKAH, RUTIN SEDEKAH | YDSF
Keutamaan Bulan Syawal? l YDSF
PERBEDAAN ZAKAT, INFAQ, SEDEKAH, DAN WAKAF | YDSF