Ketika mendapatkan tugas untuk observasi sekolah, ada sebuah kondisi yang lazim dijumpai. Mungkin kondisi ini tidak hanya dijumpai di sekolah-sekolah, tapi di beberapa institusi lain. Apakah kondisi tersebut? Mempunyai tapi tidak berfungsi. Jika kondisi ini ada di sekolah, mereka mempunyai banyak sekali dokumen, namun dokumen itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Contohnya yaitu dokumen sederhana dalam bentuk afirmasi (penegasan) yang
sering kita jumpai di sekolah semisal kebersihan adalah sebagian dari iman.
Namun dengan sangat mudah dijumpai di sekeliling afirmasi tersebut sampah
berserakan. Dan yang lebih aneh lagi banyak guru maupun siswa berlalu-lalang di
sekitar afirmasi tersebut terpasang seolah tidak peduli. Dokumen yang lebih
lengkap dimiliki oleh sekolah semisal dokumen kurikulum pun banyak yang tidak
dipahami fungsinya. Entah karena guru merasa sudah sangat menguasai (?) atau
memang tiada kepedulian?
Bahkan dokumen yang dimiliki oleh sekolah karena ada persyaratan akreditasi
sekolah, lebih banyak belum difungsikan sebagaimana tuntutan akreditasi.
Kondisi itu secara umum dijumpai di banyak sekolah, baik negeri maupun swasta,
umum maupun beragama.
Mengapa bisa terjadi? Seolah-olah tidak ada hubungan antara dokumen dengan
fungsinya. Ibarat sebuah pengetahuan, maka dokumen-dokumen itu adalah sebuah pengetahuan,
maka banyak sekali pengetahuan yang sudah ada di sekolah. Namun pengetahuan
tersebut belum mengarahkan warga sekolah untuk menjadi lebih baik (dari sisi
keterampilan dan sikap).
Dokumen afirmasi kebersihan adalah sebagian dari iman belum bisa menjadikan
para guru dan siswa untuk paham tentang pentingnya iman terhadap kebersihan
yang kemudian berujung pada munculnya perilaku bersih. Dokumen kurikulum belum
bisa menjadikan banyak guru untuk menjadi seorang pembelajar yang kreatif dan
inovatif dengan tetap menjunjung tinggi akhlak. Justru yang banyak terjadi
adalah banyak guru yang melemahkan fungsi dokumen kurikulum tersebut melalui kegiatan
copy and paste perangkat pembelajaran, alih-alih mengembangkannya.
Baca juga: Pendidikan Karakter Generasi Visioner | YDSF
Tentu saja kondisi ini menjadi sebuah ironi apabila kita hubungkan dengan
tujuan pendidikan nasional kita sebagaimana UU no. 20/2003 Pasal 3 yang
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.”
Mengapa bisa terjadi?
Berdasarkan hasil obervasi, wawancara, maupun diskusi kelompok kecil,
kondisi-kondisi mempunyai tapi tidak berfungsi sebagaimana gambaran di atas
bisa terjadi karena beberapa sebab:
1. Lemahnya keyakinan
Artinya adalah masih banyak kepala sekolah dan guru yang tidak yakin bahwa dengan
memfungsikan dokumen sekolah akan menjadikan tujuan pendidikan bisa diwujudkan dengan
lebih baik. Biasanya yang lebih mengemuka adalah kendala-kendala internal maupun
eksternal.
2. Kurangnya kepahaman
Sebagian guru tidak paham bagaimana agar dokumen-dokumen itu bisa berfungsi
dan memberikan efek perubahan ke arah yang lebih baik.Apa yang menyebabkan
tidak mudah memahami, jawaban yang lazim muncul di antaranya adalah masih
terlalu banyak tugas.
3. Lemahnya kepemimpinan
Pimpinan sekolah kurang menguasai bagaimana menggerakkan anak buahnya untuk
lebih baik secara sistem.
Sebab lainnya
Termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah permasalahan kesejahteraan
guru yang kurang (terutama di sekolah swasta yang belum berkembang), lingkungan
yang kurang kondusif untuk berkembang, dan kurangnya motivasi menjadi guru.
Baca juga: 10 HAL PENTING DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK | YDSF
Bagaimana sebaiknya?
Tentu saja permasalahan ini bukanlah bisa diselesaikan dalam hitungan hari
atau bulan. Diperlukan kesungguhan dalam memperbaikinya. Diawali dengan
pentingnya kesadaran tentang standardisasi sebagaimana tujuan pendidikan. Bahwa
lembaga pendidikan hadir sebagai jawaban atas permasalahan yang ada, bukan
sumber masalah baru. Beberapa langkah bisa menjadi alternatif untuk perbaikan kualitas
dari hanya sekadar mempunyai menjadi berfungsi:
Meluaskan cara pandang pengelola sekolah, bahwa keberadaan dokumen sekolah
adalah sebagai dasar pijakan. Keyakinan terhadap cara pandang ini akan sangat
membantu menjadi bahan bakar bagi pengelola sekolah untuk menciptakan sistem
yang lebih baik. Keyakinan ini juga akan membantu kepala sekolah dan guru untuk
sungguh-sungguh dalam meningkatkan tidak hanya pengetahuannya, namun juga keterampilan,
dan sikap. Kuatnya keyakinan juga akan mempengaruhi tindakan (amal shalih) yang
lebih berkualitas dan berdampak lebih luas.
Meningkatkan kualitas kepemimpinan sekolah mulai dari kepala sekolah, wali kelas,
hingga siswa, dan orangtua siswa (bila memungkinkan). Kepemimpinan yang baik
akan mampu mengarahkan dan mendayagunakan seluruh dokumen sekolah agar menjadi
berfungsi optimal.
Memantapkan sistem pengelolaan sekolah yang standar, sebagaimana pemerintah
sudah membantu dengan adanya standar nasional pendidikan. Pemantapan pelaksaaan
standar nasional pendidikan dengan sistem yang baik akan memberikan peluang
terjadinya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Aneka dokumen yang
seharusnya ada sesuai dengan standar nasional pendidikan akan terkonversi dari
sekadar ada menjadi berguna.
Sumber: Majalah Al Falah Edisi November 2017
Featured Image by unsplash
Sedekah Online:
Artikel Terkait:
Potret Pendidikan Karakter Keluarga Nabi Ibrahim | YDSF
Pola Pendidikan Najmuddin Ayyub, Ayah Sang Ksatria Shalahuddin Al-Ayyubi | YDSF
Melahirkan Imam Al-Ghazali Milenial Dengan Bantuan Pendidikan | YDSF
Pendidikan dan Hukum Hijab untuk Anak-Anak dalam Islam | YDSF
Parenting Islami: Cara Mendidik Anak Agar Bahagia | YDSF
Tips Mendidik Anak Berkarakter | YDSF