Di antara modal untuk sukses adalah memiliki karakter. Bukan hanya karakter moral, tetapi juga karakter kinerja. Bukan hanya jujur, tetapi juga profesional. Bukan hanya cerdas, tetapi juga disiplin.
Sukses kita hari ini adalah produk pendidikan karakter orangtua 30-40 tahun lalu. Jika kita ingin anak-anak sukses masa depannya, maka siapkan segalanya agar mereka siap berkompetisi kelas dunia di 30 tahun yang akan datang.
Masalahnya, tantangan kehidupan tumbuh dengan cepat sedangkan pertumbuhan kompetensi berjalan lamban. Semakin lama semakin tinggi kesenjangan antara tantangan dan kompetensi.
Perlu komitmen dan kompetensi spiritual dalam berkeluarga, bukan hanya intelektual. Anda bisa saja kuat secara fisik, cerdas intelektual, kaya finansial, dan matang emosional. Tetapi jika Anda tidak cerdas spiritual maka Anda tidak akan sabar menghadapi tantangan pendidikan anak milenial.
Dewasa ini banyak ilmu manfaat, lebih banyak lagi ilmu mubadzir. Untuk sarjana teknik rata-rata pernah belajar mata kuliah mekanika teknik selama lima semester, matematika empat semester. Tapi ilmu manajemen memimpin keluarga, hak dan kewajiban suami istri tak pernah dipelajari. Padahal ini yang setiap hari digunakan dalam kehidupan.
Diperlukan orangtua pembelajar sepanjang masa, mau belajar kapan saja, di mana saja, juga belajar kepada siapa saja, termasuk anaknya.
Untuk mengantarkan generasi sukses berkarakter diperlukan redefinisi sukses, reorientasi visi, dan reposisi pesan.
Redefinisi Sukses
Redefinisi sukses artinya harus menyamakan persepsi tentang definisi sukses. Keluarga sukses adalah keluarga yang mampu mengantarkan anak sukses. Keluarga itu pastilah terdiri dari pria yang mampu menjadi suami dan ayah, dan wanita yang piawai menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya.
Anak sukses bukanlah pintar secara intelektual, tapi anak yang berkarakter. Baik karakter moral maupun karakter kinerja. Pintar konotasinya lulus ujian di atas kertas,sedangkan berkarakter kesannya lulus ujian kehidupan.
Salah satu ciri anak berkarakter adalah mandiri. Mandiri secara intelektual, finansial, dan emosional. Contoh nyata adalah Rasululah, usia enam tahun sudah ikut menggembala kambing. Pada usia 12 tahun magang usaha bersama pamannya sampai ke luar negeri. Waktu 17 tahun sudah mempunyai usaha sendiri dan dipercaya membawa dagangan saudagar Arab. Ketika 25 tahun menjadi pebisnis dan bekerja sama dengan investor. Buktinya menikah dengan mahar 12 ons emas dan 20 ekor unta, yang kalau dikurskan saat ini mencapai Rp 1,5 miliar. Saat 37 tahun sudah peduli dengan akhlak, sosial, dan ekonomi masyarakat. Pada usia 40 tahun sampai akhir hayatnya hidup untuk dakwah.
Apakah sekarang masih relefan? Pada 2019, Thomas J. Stanley, Ph.D melakukan riset untuk menyusun 100 faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan. Ternyata 1-10 adalah karakter moral dan karakter kepemimpinan. Sedangkan kecerdasan intelektual, belajar di sekolah favorit, dan lulus dengan nilai baik hanya menempati posisi 20 ke atas.
Baca juga: Mendekatkan Anak Kepada Masjid
Reorientasi Visi
Keluarga harus punya tujuan ke mana bahtera keluarga akan berlabuh. Dengan visi, keluarga akan kuat menghadapi badai kehidupan. Tanpa visi, keluarga akan mudah diombang-ambingkan dan mudah salah arah. Visi dalam Islam bisa diartikan seperti niat, dan setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya.
Nabi Ibrahim memberikan doa yang seharusnya bisa menjadi visi keluarga. “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon: 74)
Istri cantik, anak penurut, dan anak yang sukses adalah sebagai penyenang hati (qurrota a’yun), tetapi tujuan keluarga muslim tidak cukup sampai di situ. Keluarga muslim juga harus memastikan keturunan mereka adalah orang-orang yang bertaqwa.
Tengoklah visi orangtua Muawiyah dan Salahudin Al Ayyubi, keluarga yang mempersiapkan pemimpin-pemimpin Islam. Dan mengutip pernyataan Ir. Soekarno: “Gantungkanlah visi anakmu setinggi langit, kalaupun jatuh masih terselip di antara bintang-bintang.”
Reposisi Peran
Keluarga ideal harus tahu dimana posisi peran ayah, peran ibu, dan peran guru. Jangan sampai saling lempar tanggung jawab antara ayah, ibu, dan guru.
Dalam Al-Qur’an terdapat 17 kali dialog orangtua dan anak. Dialog antara ayah dengan anaknya (14 kali), dialog antara ibu dan anaknya (2 kali), dialog antara kedua orangtua tanpa nama dengan anaknya (1 kali).
Penanaman aqidah dan akhlak oleh ayah Lukman, penanaman jiwa keiklasan oleh ayah Ibrahim, peleraian pertikaian Qabil Habil oleh ayah Adam, dan lain sebagainya. Lebih banyak diperankan oleh ayah. Ayah yang harus berperan dalam mendidik anak.
Sayangnya, saat ini banyak fenomena ayah bisu. Pembagian peran berubah terpisah, ibu mendidik anak, ayah hanya mencari nafkah dan abai terhadap persoalan anak-anak.
Menurut Elly Risman, S.Psi, pemerhati anak dari Universitas Indonesia, Indonesia adalah negara tanpa ayah. Ayah tidak hadir secara emosional dan spiritual dalam waktu dan jumlah yang cukup. Akibatnya anak menjadi jahat. Ya, tidak hanya nakal, tapi sudah menjadi jahat.
Jika terjadi kerusakan pada anak, penyebab utamanya adalah ayah. Ingatlah, seorang anak bernasab pada ayahnya (bukan ibu), menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak. Kata Ibnu Qoyyim dalam kitab Tuhfatul Maudud.
Peran boleh berbagi kepada ibu, ustadz, atau guru. Tetapi tanggung jawab pendidikan anak tidak bisa dialihkan. Tetap pada ayah, bukan ibu, guru, apalagi pembantu.
Perlu figur ayah yang hadir mendampingi anak menghadapi tantangan zamannya. Sudah tentu zaman yang berbeda dengan zaman ayah.
Cara mudah mengantarkan anak sukses adalah gali potensi dan raih prestasi. Orangtua jangan mendikte dan memaksakan kehendaknya pada anak. Setiap insan terlahir unik dan istimewa pemberian Allah. Tugas orangtua dan guru menggali dan melejitkan potensi itu.
Sumber Majalah Al Falah Edisi Juli 2020
Narasumber: Ir. Misbahul Huda, MBA
Baca juga:
Tips Mengatur Penggunaan Gadget pada Anak | YDSF
Parenting Islami: Cara Mendidik Anak Agar Bahagia | YDSF
Pola Komunikasi Pengasuhan Anak dalam Islam | YDSF
Mengenal Generasi Strawberry | YDSF