Tidak gampang
merajut kerja sama dalam kebaikan. Apalagi bila kebaikan itu tidak berorientasi
materi. Tidak heran bila banyak badan amal yang akhirnya tumbang karena kasus korupsi.
Ini terjadi bila kebaikan yang diupayakan tidak disertai dengan kesepahaman
untuk membuat koalisi kerja sama dalam kebaikan.
Tapi mustahil
bukan berarti mutlak tidak mungkin. Kerja sama bisa terjadi bila dipahami demi
kebaikan bersama. Hal inilah yang perlu dilakukan pertama kali dalam upaya
membentuk koalisi. Islam telah memberikan panduan. Upaya Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar tidak akan terwujud kecuali dengan kerja sama.
Dalam Al Qur’an
surat Al Ahzab ayat 21, Allah tegas menjelaskan bahwa Rasulullah telah diutus
untuk menjadi teladan yang baik bagi seluruh manusia. Artinya, Rasulullah
dipastikan sebagai representasi kebaikan bagi umat manusia seluruhnya.
Kepribadian Rasulullah inilah modal utama membentuk satu kerja sama. Kenapa? Karena
dalam kerja sama, aspek kepercayaan sangat penting untuk menjaga kerja sama.
Bila kepercayaan terhadap seseorang tidak ada, mustahil kerja sama ataupun
koalisi terbentuk.
Seseorang harus
mampu menjadi representasi dari tujuan kerja sama sehingga kepercayaan bisa datang
dari orang-orang di sekelilingnya, tanpa maksud mendatangkan keuntungan,
kecuali yang bersifat normatif seperti kepuasan spiritual dan kebahagiaan batin
karena telah berhasil membuat suatu perbuatan baik yang bisa jadi berskala
besar.
Seseorang yang
telah menjadikan dirinya sebagai definisi dari kebaikan juga akan mampu mengatasi
perbedaan. Ketika Rasulullah membangun masyarakat Madinah, beliau menjadikan
dirinya sebagai kebaikan yang berwujud manusia bagi semua pihak. Beliau baik dan
adil bagi umat Islam maupun umat beragama lain.
Dalam bukunya, Dr.
Hasan Ibrahim Hasan menuliskan bahwa Rasulullah mampu menjadikan dirinya
sebagai pengayom dan pemimpin semua lapisan masyarakat, tidak ada satupun yang
merasa dirugikan. Beliau telah berhasil mengatasi perbedaan dalam masyarakat
melalui kepribadiannya. Oleh sebab itu, koalisi sosial yang bernama Madinah ini
terus berkembang dan bahkan memunculkan orang-orang berkualitas super yang
mampu menyebarkan kebaikan ke seluruh dunia.
Kata Sayyid Quthb
dalam Ma’alim fith Thoriq, sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi emas, manusia
paling super hasil didikan Rasulullah yang pernah ada dalam sejarah umat
manusia. Fakta inilah yang menjadikan Rasulullah tidak hanya sekedar membuat
koalisi, tetapi lebih luas lagi, yaitu komunitas sosial yang disebut Madinah.
Maka tidak heran bila beliau pun diakui kebaikannya oleh seluruh masyarakat
Makkah waktu itu. Seperti yang diriwayatkan Abu Sufyan dalam Shahih Bukhori
ketika Abu Sufyan ditanya utusan Romawi tentang kepribadian Rasulullah saw.
Semua jawabannya menunjukkan bahwa Abu Sufyan mengakui keluhuran akhlak Nabi.
Baca juga: Istiqamah dalam Kebaikan | YDSF
Bahkan banyak
banyak yang menjadikan beliau sebagai representasi kebaikan. Seperti Herbert
George Wells, seorang penulis dan sejarawan Inggris mengatakan terdapat fakta
yang tak bisa dibantah bahwa Nabi Muhammad telah meletakkan asas kemasyarakatan
yang baik, di mana kekejaman dan kezaliman telah dihapuskan.
Itulah pentingnya
sosok representatif untuk melakukan upaya social kindness. Karena biar
bagaimana pun tidak mungkin seseorang akan mau ikut gabung bekerja sama bila
tidak ada kepercayaan antara satu dengan yang lainnya. Seorang pemimpin akan
terpilih secara aklamasi bila di dalam dirinya ada sifat baik yang bisa dipercaya,
seperti yang dijelaskan Rousseau dalam Kontrak Sosialnya.
Setelah itu,
dalam menjalin kerja sama sosial, sudah tentu pasti melibatkan orang terdekat.
Kepercayaan orang terdekat, apalagi keluarga, adalah modal utama dalam membentuk
kepercayaan diri. Bagaimana bisa orang lain mempercayai seseorang sedangkan keluarganya
saja tidak mempercayainya. Inilah kenapa Rasulullah memulai koalisi keimanan
dari keluarganya, meskipun tidak semua keluarganya menyambut dengan baik, namun
paling tidak ada dari mereka yang mau mendukung dan mempercayai.
Abu Thalib paman
beliau, meskipun tidak mengakui Islam sebagai agamanya, tapi Abu Tholib percaya
kepada Nabi. Ketika keluarga dan sekaligus tokoh masyarakat mengakui kebenaran dan
kebaikan Nabi, maka masyarakat pun akan mengapresiasi ajakan Rasul. Sehingga
sedikit demi sedikit rekanan kerja sama itupun bertambah. Semua potensi yang
sangat dibutuhkan semakin mudah didapat.
Segala potensi
dari orang-orang di sekeliling Rasul tidak luput dari perhatian Rasulullah saw.
Harapannya adalah, potensi-potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk
mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kemampuan ini membutuhkan tingkat kecerdasan
dan kemampuan komunikasi yang ulung. Inilah pula yang dicontohkan Rasulullah dengan
do’anya agar Allah bisa memberikan hidayah kepada Hamzah dan Umar ibn Khattab dan
dengannya semakin menguatkan Islam.
Inilah sedikit
gambaran dari kejeniusan Rasulullah SAW dalam merajut persaudaraan dalam
bingkai ke-Islaman. Konsistensi beliau dalam kebaikan telah menjadi daya magnet
untuk menarik simpati orang-orang di sekelilingnya untuk mau ikut aksi dalam
misi. Kepiawaian beliau dalam berkomunikasi dan keluasan ilmu atas bimbingan Ilahi
Rabbi tidak hanya membuat masyarakat terbimbing, namun juga meningkatkan
kualitas manusianya. Koalisi yang semula hanya berjumlah segelintir orang,
akhirnya mampu membentuk satu bentuk masyarakat sosial yang lebih besar. Wallahu
a’lam bish shawab.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi maret 2018
Raih Jariyah dengan Wakaf
Artikel Terkait:
Cara Mencari Berkah (Tabarruk) Allah Sesuai Syariat Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF