Ramadhan memiliki arti tersendiri bagi umat Islam, tak
terkecuali para sahabat Nabi. Puasa menjadi amanat yang sangat penting untuk
dijaga selama bulan Ramadhan. Ada aktivitas luar biasa yang mereka lakukan.
Puasa dan peperangan adalah dua hal yang sulit dipertemukan dalam
sekali aktivitas. Perang menguras tenaga, pikiran, bahkan seluruh potensi fisik.
Butuh asupan gizi yang tidak sedikit agar badan kuat. Namun, perang badar
berkecamuk di bulan Ramadhan. Kewajiban berpuasa Ramadhan dan perang Badar
terjadi berurutan pada tahun kedua hijriyah. Tepatnya 17 Ramadhan.
Namun, kondisi berpuasa tidak mematahan semangat para
sahabat. “Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya lautan membentang,
lalu engkau menyelam, kami akan mengikutimu,” kata Sa`ad bin Mu`adz.
Perang pada bulan Ramadhan inilah yang menjadi titik awal
kebangkitan Islam, hingga Allah menyebutkan sebagai Hari Pembeda; “yaum al[1]Furqan”
(al-Anfal: 41). Puasa bagi sahabat menjadi dentuman jiwa untuk berbuat apa saja
yang diridlai Allah ta`ala.
Bekerja keras juga tidak ditinggakan. Sahabat dari kalangan
umum seperti Sharmah RA, bekerja di bawah terik matahari. Karena kelelahan ia
tidak sempat berbuka dan santap sahur, namun esoknya tetap berpuasa. Nabi pun
memujinya: “Kamu benar[1]benar
luar biasa. Ma ly araka qad jahadta juhdan syadida.” (Tafsir Ibn Katsir,
301).
Puasa bukanlah penghalang untuk melakukan kegiatan di siang
hari. Justru menjadi penyemangat untuk meningkatkan kebaikan. Sahabat juga
meningkatkan hubungan dengan Al-Qur’an. Semua kitab suci turun pada bulan
Ramadhan, tak terkecuali Al-Qur’an. Maka, bulan ini juga disebut ‘bulan Al-Qur’an’,
bisa juga disebut “bulan kitab suci”. Maka hari-hari Rasul dan sahabatnya tidak
pernah melewatkan untuk berinteraksi dengan kitab suci ini. Secara khusus, Jibril
‘bertaddarus; saling menyimak bacaan Al-Qur’an dengan Rasulullah saw. setiap
bulan Ramadhan. Waktunya malam hari karena ternyata bacaan malam lebih kuat
menancap di hati “aqwam qila”
(Muzammil; 6).
Baca juga: Perbedaan Pahala Shalat di Masjid dan Mushola | YDSF
Kegiatan ‘khatmil
qur`an’ juga mendapatkan perhatian lebih para sahabat Nabi. Sesuai kemampuan
dan ‘illat’nya. Sahabat mulia Utsman bin Affan terkenal menghatamkan Al-Qur’an dalam
satu hari. Ini artinya, beliau menghatamkan Al-Qur’an tiga puluh kali dalam
Ramadhan. Sedangkan, sahabat Abdul Mujliz setiap tujuh hari sekali dalam salat
tarawih yang dia pimpin. Sedangkan Al-Aswad dua hari sekali. Qatadah tujuh hari
sekali di luar Ramadhan, namun pada Ramadhan khatam tiga hari sekali, spesial
sepuluh terakhir, beliau khatam setiap malam.
Aktivitas ini diteruskan generasi selanjutnya dari kalangan
tabi`in. Sebut saja Imam Malik. Imam Syafi`i menghatamkan Al-Qur’an dua kali
sehari. Enam puluh kali hataman di bulan ramadhan. Testimoni Syaikh Ramadhan
al-Buthy: “Tiada ibadah yang lebih nikmat
di bulan Ramadhan selain membaca Al-Qur’an”.
Selain Al-Qur’an, berbuka dan sahur bersama juga menjadi kegiatan
utama. Beberapa sahabat ‘memilah-milih’ dengan siapa mereka berbuka. Sebuah
hadits dari Nabi menyatakan: Siapapun yang memberikan makanan atau minuman
untuk berbuka, ia akan diberi pahala orang yang diberinya. Pertanyaanya, puasa
siapakah yang pahalanya paling sempurna? Rasululullah tentunya.
Sa`ad Bin Ubadah pernah dikunjungi Rasulullah untuk
melaksakan buka bersama. Roti dan minyak zaitun dihidangkan, dan Rasulullah
menikmatinya. Nabi mendoakannya: “Semoga orang-orang yang puasa berbuka di tempatmu,
orang-orang baik yang makan hidanganmu dan para Malaikat bershalawat untukmu”
(HR. Abu Daud).
Baca juga: Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Maka, dengan adanya sunnah ini, kita juga bisa memilih
berbuka dengan orang shalih yang tentu puasa mereka berkualitas. Pun,
disunnahkan juga untuk saling mendoakan. Lain halnya dengan sahabat Abdullah
Bin Umar, seorang pakar Fiqh dari kalangan sahabat, beliau memilih berbuka dengan
para faqir, miskin, dan anak yatim. Ada kenikmatan yang sulit diungkapkan bisa
berbagi dengan kelompok yang untuk makan esok belum pasti. Sudah menjadi Sunnah
Rasulullah Saw. meningkatkan kedermawanya di bulan Ramadhan.
Masih banyak lagi amalan istimewa Ramadhan, seperti shalat
tarawih, varian shalat malam, dan i`tikaf. Namun, nilai yang perlu diambil dari
mereka adalah puasa para sahabat tidak sebatas meninggalkan makan dan minum
atau hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Tetapi, benar[1]benar
menahan dari dosa sekecil apapun. Meraka menahan diri untuk tidak bereaksi jika
ada yang berkata tidak baik. “Hendaklah berkata, maaf saya sedang puasa”
(Muttafaq Alaih).
Bahkan, benar-benar meninggalkan memikirkan hal-hal duniawi
dan yang bisa melalaikan dari mengingat Allah Swt. Setiap hembusan nafas dibarengi
mengingat Allah Swt. Inilah usaha yang dilakukan kelompok ‘ashab shuffah’ yang
meningkatkan i`tikaf mereka di masjid.
Puasa bagi mereka adalah nikmat sekaligus amanat. Nikmat dengan
turunnya rahmat, amanat untuk tidak menyia-nyiakannya dengan perbuatan sia-sia.
Kata Nabi: “Puasa adalah amanat, jagalah amanat itu.” (HR. Khartah`i).
Sumber Majalah Al Falah Edisi Mei 2019
Sedekah Ramadhan:
Artikel Terkait:
Tata Cara Shalat Tarawih dan Witir | YDSF
PERBANYAK SEDEKAH SAAT RAMADHAN | YDSF
Batas Penghasilan Wajib Zakat | YDSF
APA SAJA YANG HARUS DISIAPKAN SEBELUM MENUNAIKAN WAKAF? | YDSF
Siapa yang Harus Membayar Fidyah Istri? | YDSF
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT MAAL | YDSF