Untuk membantu masyarakat agar mudah mendapatkan produk
halal, pemerintah telah membuat prosedur sertifikasi halal untuk usaha kecil
dan mikro. Ini memang sangat menguntungkan bagi konsumen, namun juga tidak
merugikan untuk para pelaku usaha. Syaratnya, tidak seribet yang kita
bayangkan.
Istilah sertifikat halal menurut UU No. 33 tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan
fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
Secara umum proses untuk memperoleh sertifikat halal
sebagaimana diatur dalam UU Jaminan Produk Halal tersebut adalah meliputi: (a)
pengajuan kepada BPJPH dengan mengisi formulir; (b) pemeriksaan oleh Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH) yang ditunjuk; (c) selanjutnya penetapan fatwa oleh
Komisi Fatwa MUI; dan (d) penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH. Setelah
terbit UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ketentuan proses mendapatkan
sertifikat halal sebagaimana di atas, ada pengecualian untuk usaha kecil dan
mikro. Hal ini sebagaimana dimuat dalam pasal 48 UU Cipta Kerja ini.
Sebagai tindak lanjut dari terbitnya UU Cipta Kerja,
diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2021 mengantikan Peraturan
Pemerintan No. 31 tahun 2019. Anehnya, ketika UU Cipta Kerja dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi, keberadaan PP No.
39 tahun 2021 masih tetap diberlakukan.
Pada pasal 79 peraturan ini dinyatakan bahwa kewajiban
bersertifikat halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil didasarkan atas
pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil. Ketentuan ini ada di pasal 4a UU
Jaminan Produk Halal, yang merupakan pasal tambahan yang disisipkan berdasarkan
UU Cipta Kerja. Selanjutnya secara lebih terinci sertifikasi halal untuk pelaku
usaha mikro dan kecil diatur dalam peraturan Menteri Agama No. 20 tahun 2021.
Ada beberapa syarat untuk bisa memperoleh sertifikat halal
yang didasarkan atas pernyataan sendiri. Antara lain kriteria produk tidak
berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya dan proses
produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.
Pelaku usaha mikro dan kecil yang dimaksud merupakan usaha
produktif yang memiliki modal usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan omset
penjualan tahunan maksimal Rp500 juta.
Pelaku usaha mikro dan kecil juga harus memiliki nomor induk berusaha yang
dikeluarkan oleh kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang investasi.
Berikutnya, pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil
dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH yang meliputi:
adanya pernyataan berupa akad/ikrar yang berisi kehalalan produk dan bahan yang
digunakan; adanya proses produksi halal (PPH); dan adanya pendampingan PPH.
Baca juga:
HALALKAH MAKANAN YANG MENGANDUNG RUM ATAU ESSENCE RUM? | YDSF
MENJAMURNYA HOTEL SYARI DAN STANDAR MENU HALAL | YDSF
Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana yang dimaksudkan adalah produksi yang menggunakan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis; proses produksi tidak mengalami proses iradias dan tidak menggunakan teknologi rekayasa genetika. Selain itu juga berproduksi mengikuti ketentuan yang menjamin kehalalan dengan menerapkan sistem jaminan produk halal (SJPH).
Pendamping PPH
Syarat lainnya bagi yang akan mengurus sertifikasi halal
dengan model self halal declare (pernyataan halal oleh pelaku usaha
sendiri) harus mempunyai pendamping produksi halal. Dalam hal pendampingan ini
dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan
Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi. Atau, dapat pula instansi
pemerintah atau badan usaha, sepanjang bermitra dengan organisasi
kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau
perguruan tinggi.
Pendamping halal adalah orang yang ditunjuk oleh
lembaga-lembaga ini sebagai pendamping halal dengan kriteria sebagai warga
negara Indonesia yang beragama Islam dan memiliki sertifikat pelatihan
pendamping PPH.
Tetap Ada Ketetapan Fatwa MUI
Meski sifatnya pernyataan halal oleh pelaku usaha sendiri
yang didampingi oleh pendamping halal, tetap harus melalui penetapan kehalalan
oleh Komisi Fatwa MUI. Dalam hal ini, pelaku usaha mengajukan permohonan
sertifikasi halal kepada BPJPH, melalui jalur self halal declare, dengan
melengkapi persyaratan yang ditentukan. BPJPH-lah yang kemudian meneruskan
kepada Komisi Fatwa MUI untuk mendapatkan penetapan kehalalan. Atas dasar
ketetapan halal dari MUI inilah, BPJPH menerbitkan sertifikal halal untuk usaha
kecil dan mikro yang dimaksud.
Keuntungan dan Kekurangan
Keuntungan model self halal declare bagi perusahaan,
tentu dalam soal biaya. Dengan cara ini, masalah biaya bukan menjadi beban
lagi, karena perusahaan tidak dipungut biaya. Padahal, pada dasarnya tetap ada
biaya seperti biaya pendampingan dan sebagainya yang tidak dibebankan pada
pelaku usaha. Ini alasannya kenapa hal ini dimasukkan melalui Undang-Undang
Cipta Kerja.
Di sisi lain, self halal declare menuntut adanya
pengawasan yang lebih ketat karena dalam hal ini tidak ada audit sertifikasi
seperti pada proses sertifikasi halal biasanya. Perusahaan menyiapkan model
pengajauan secara mandiri dibantu oleh pendamping halal. Bisa jadi memang
bahan-bahan yang diajukan tidak ada masalah, tetapi dalam proses produksi ada
masalah. Misalnya jika pelaku usaha memelihara anjing, adalah jaminan bahwa
anjing piaraan tidak mengontaminasi fasilitas produksi. Demikian pula bila
pelaku mengonsumsi daging babi, adakah jaminan tidak terjadi penyimpanan
bersama antara daging babi yang akan dikonsumsi dengan bahan-bahan untuk
produksi atau penggunaan fasilitas bersama. Hal yang tidak kalah pentingnya,
adalah kejujuran dari pelaku usaha.
Artikel Terkait:
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF
CERMATI HALAL HARAM DI RESTORAN, RUMAH MAKAN, DAN HOTEL | YDSF
Haid, Tidak Boleh Ngaji dan Dzikir? | YDSF
Definisi Rezeki Berkah dalam Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF