“Menurut Kakak,
Ramadhan itu bulan ujian atau bulan pembuktian?!”
“Sependek yang
Kakak tahu, ya bulan pembuktian. Sebelas bulan lainnya untuk berlatih. Hasil
latihan dibuktikan saat Ramadhan.”
Irvan kemudian menjelaskan
argumentasinya. Allah memberikan pahala berlimpah untuk setiap butir kebaikan
yang dilakukan di Ramadhan. Rasulullah sudah memberi kita peringatan untuk
mempersiapkan diri. Lahir dan batin untuk memasuki Ramadhan bahkan sejak dua
bulan sebelumnya: Rajab dan Sya’ban.
“Pandangan
menarik,” tutur ibu, nimbrung pembicaraan. “Di luar Ramadhan kita dilatih
membiasakan diri shalat sunnah, puasa Senin-Kamis dan padang bulan, berhenti
makan sebelum kenyang, menahan marah, dan seterusnya. Nah, Ramadhan menjadi
ajang pembuktian semuanya.”
“Sepakat!” kata
Putri.
“Alasannya?!”
desak Irvan setengah menggoda.
“Kalau semua
program latihan itu dijalankan dengan disiplin, Insya Allah pembuktian Ramadhan
sukses,” kata Putri mantab.
“Ibu nambahi ya.
Saat melihat orang bisa betah berlama-lama shalat, mengaji, pandai menahan
diri, tekun iktikaf, kita menduga orang itu pada dasarnya memang punya
kelebihan. Padahal semua capaian itu, ya berkat disiplin dalam latihan.”
“Disiplin memang
tidak mudah, Mam,” kata Putri.
“Tak ada yang
bilang gampang! Awalnya, ibu pun berat mengerjakan shalat. Padahal kakekmu
sudah berulangkali memberitahu pentingnya, serta hukuman meninggalkannya. Toh
ketika mulai, ternyata memang terasa berat sehingga ibu meninggalkannya!”
“Bener juga, sih,”
kata Putri. “Dahulu Putri pikir mama bisa tahajud secara teratur karena orang
dewasa. Bahkan memiliki anugerah khusus dari Allah.”
“Wah, dikau sudah
membuat pengecualian diri sendiri. Berdalih orang berhasil lantaran memiliki
kemampuan atau anugerah yang tidak dikau miliki. Semua kemudahan itu dimulai
dari latihan awal,” tutur ibu.
“Pasti ada
permulaan untuk segala sesuatu," kata Irvan seraya menepuk-nepuk pundak
adiknya berlagak seorang bapak pada anaknya.
“Merasa berat di
awal itu manusiawi. Awalnya terasa berat karena kita berpikir berat. Karena itu berusahalah sekuat tenaga,
berpikir baik tentang pekerjaan yang akan kita lakukan, termasuk shalat atau
puasa.”
“Dorong sekuat
tenaga pikiranmu untuk membayangkan shalat atau puasa dengan gambaran yang
indah. Ketika setan menggambarkannya berat, segera tinggalkan pikiran itu.
Ganti dengan pikiran yang menyenangkan,” kata Irvan.
“Rasulullah
menggambarkan shalat sebagai sesuatu yang menyenangkan, lho. Ketika
minta Bilal mengumandangkan adzan, beliau bersabda: Tenangkan kami dengannya,
wahai Bilal. Begitu!” tutur ibu.
Putri terdiam.
Pikirannya dipenuhi bayangan beberapa program yang akan dilaksanakannya selama
Ramadhan. Ada setumpuk aktivitas: berbagi dengan kaum dhuafa, tur mengunjungi
rumah yatim dan rumah tahfidz, memberikan pelayanan di rumah-rumah jompo.
“Bagaimana aku
bisa tetap tarawih dan menghatamkan Al-Qur’an?!?” gumamnya. Putri tersadar dari
kesendiriannya setelah ibu bicara.
“Karakter
disiplin diri akan membuka pintu untuk mampu mewujudkan kesuksesan besar
memberi sumbangsih kepada sesama. Orang yang terus menjaga shalatnya selama
bertahun-tahun dengan sendirinya akan dianugerahi karakter disiplin. Karena dia
sudah terlatih!”
Sumber
Majalah Al Falah Edisi April 2022 Rubrik Pojok
Sedekah Mudah di YDSF
Artikel Terkait
Waktu Terbaik Terkabulnya Doa | YDSF
ZAKAT DARI UANG PESANGON PENSIUN | YDSF
Mendahulukan Jamak-Qashar dalam Shalat Fardhu | YDSF
FIDYAH DALAM ISLAM DAN KETENTUANNYA | YDSF
Kisah Mualaf, Musibah Membuatku Hijrah | YDSF
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT MAAL | YDSF
Sujud Setelah Shalat | YDSF