Sekolah Pendidikan Islam yang didirikan Natsir bersama Ummi
Nur Nahar harus berpindah dari sebuah bangunan di Jalan Lengkong 74 ke Jalan
Pangeran Sumedang dengan luas bangunan yang lebih kecil. Bahkan, para murid di
sekolah Natsir tersebut mayoritas dari kalangan bawah.
“Yang menjadi murid "Pendis" hampir semua dari
keluarga-keluarga yang tidak mampu. Ada pula yang sudah ditolak oleh sekolah
Pemerintah lantaran amalla atau "bodoh", kata Natsir (Abdullah Puar
1978:36).
Karenanya, dalam proses operasional sekolah, tak selalu
mudah. Di antara para murid tentu saja cukup banyak yang tidak mampu membayar
sama sekali sehingga mereka dibebaskan dari iuran sekolah. Natsir tak sampai
hati melihat mereka yang tak mampu membayar sekolah, hatinya tentu menangis.
Pada saat yang bersamaan, Natsir juga harus berpikir agar
mutu pendidikan dengan guru-guru yang mumpuni harus tetap dipelihara. Apalagi
setelah pindah ke Jalan Lengkong Besar itu, sewa gedung benar-benar diminta
tepat waktu, langsung lunas. Belum lagi, kredit buku-buku dari J. E. Wolters,
harus dibayar pula dengan tertib, atau penerbit tidak akan mencetak buku-buku
lagi.
Natsir dihadapkan pada kondisi seperti ini untuk tetap
mempertahankan Sekolah Pendidikan Islam. Terkadang, kalau waktu sudah mendekati
bulan Ramadhan, sudah pasti banyak murid yang tak mampu membayar uang sekolah,
karena harus mempersiapkan kebutuhan lebaran juga.
Di tengah kesulitan-kesulitan itulah berlangsung perkawinan
Natsir dan gadis Nur Nahar dengan sangat sederhana. Mereka tinggal di suatu
rumah kecil dekat surau di Jalan Rana Diadakan juga walimah sedikit, tetapi
tamu makan di atas surau di depan rumah kecil itu.
Isterinya yang selanjutnya disebut Ummi, tahu, bahwa jalan
hidup yang ditempuh Natsir sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap.
Tidak mempunyai masa depan. Ummi rela dan berani naik perahu Natsir yang oleng itu,
sama-sama menempuh samudera hidup yang penuh risiko. Sebagai teman hidup dan teman
seperjuangan mereka sama-sama menggertamkan gigi menghadapi bermacam kesulitan.
(Abdullah Puar, 1978: 37).
Mereka harus tinggal di satu kamar dekat dapur gedung
sekolah di Lengkong Besar 74 agar semakin menghemat biaya sewa rumah, lampu,
air dan lain-lain. Setiap bulan Ramadhan, Natsir biasanya mencari para dermawan
untuk menunaikan kewajibannya berzakat.
“Natsir segera meninggalkan kota Bandung, berangkat dengan
modal empat setengah rupiah ke Cirebon mengunjungi beberapa orang pengusaha di
sana, antara lain Abdullah bin Afiff. Maksudnya ialah memungut zakatnya untuk
keperluan "Pendis”,” tulis Abdullah Puar dalam Muhammad Natsir: 70 Tahun
Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Baca juga: Larangan LGBT dalam Islam dan Kisah Kaum Luth | YDSF
Untuk seorang dermawan yang sudah mengerti bagaimana Natsir
berjuang melalui pendidikan, Abdullah Bin Afif tidak perlu lagi menanyakan apa
maksud Natsir. Diterimanya Natsir sebagai tamu yang dihormatinya. Dilawannya
berbicara tentang ini dan itu dan tentang kitab-kitab Mesir yang baru terbit.
Dia terkenal sebagai pedagang kitab-kitab keluaran Mesir
itu. Apabila Natsir sudah akan berdiri hendak pergi, segera dia bangun dan memberikan
bagian dari zakatnya sebesar dua puluh lima rupiah.
"Untuk perjuangan fi sabilillah!”, kata Abdullah Bin
Afiff.
Berapa nilai uang sebanyak itu? Dengan uang sejumlah itu
pada saatitu dapat dibeli sekitar empat kwintal beras. Sesudah itu diundangnya
pula Natsir berbuka puasa di rumahnya. Permasalahannya, tidak semua orang yang
dikunjungi Natsir seperti Abdullah bin Afiff itu.
Ada juga yang suka sombong dan kesal bila hendak
mengeluarkan zakatnya. Dalam kondisi itu, terkadang Natsir harus mampu menahan rasa
marahnya, tetapi seberapa bisa dicobanya menghadapinya dengan tenang sambal mengatakan:
“Saya datang berkunjung bukan untuk meminta belas kasihan.
Saya tahu dalam harta tuan itu ada terselip hak masyarakat. Saya tahu tuan saat
ini menunaikan kewajiban tuan sebagai Muslim untuk "membersihkan"
atau "menzakahkan" harta tuan dari hak masyarakat itu. Zakah artinya
bersih. Saya datang membantu tuan dalam hal ini, agar "zakat" yang
Tuan akan keluarkan itu sampai kepada pihak yang berhak menerimanya,” tegas
Natsir.
Menurut Natsir, "Pendidikan Islam” sebagai badan
perjuangan ummat Islam dalam lapangan pendidikan adalah salah satu dari pihak
yang berhak menerimanya.
“Saya datang sebagai orang perantaraan antara tuan yang akan
menunaikan wajib zakat dengan pihak yang berhak atasnya. Itupun kalau tuan
ridha. Kalau tidak, saya tidak berkecil hati. Sebab saya hanya sekadar
melakukan kewajiban saya pula,” tegasnya.
Begitulah sikap Natsir dalam menghadapi orang-orang yang
agak sombong sikapnya. Kalau sudah disampaikan seperti itu, mereka ada yang merah
mukanya lantaran malu juga. Ada yang meminta maaf dan disampaikannya juga
zakatnya. Dan mereka yang dikunjungi Natsir pada bulan Ramadan pertama itu
ialah di Cirebon, Pekalongan, Kudus dan Surabaya.
Baca juga: LEBANON DALAM SEJARAH ISLAM | YDSF
Hampir semuanya mereka menjadi pembantu tetap "Pendis”.
Ada pula yang kalau sudah waktunya mengeluarkan zakat, lalu mengirimkan
zakatnya dengan pos wesel ke Bandung, tanpa diingatkan lagi. Dengan cara demikian
dapat jugalah tertolong "Pendis” dari kesulitan-kesulitannya menghadapi
lebaran Ramadhan dari tahun ke tahun dengan cara yang cukup terhormat.
Gelang Emas
Beberapa kali gelang emas milik istri Natsir, ummi Nur Nahar
harus dikorbankan untuk cita-cita besar mereka. Berceritalah Natsir tentang
sebuah gelang emas kepunyaan isterinya. Gelang emas Ummi yang satu-satunya itu
mempunyai riwayat. Kalau "Pendis” sudah dalam kesulitan, maka gelang emas itu
berpindah tempat dari tangan isterinya ke lemari pajak gadai.
Sudah berapa kali Ummi membuka gelang itu dari tangannya,
Natsir tidak ingat lagi. Yang masih diingatnya benar ialah tidak tersiah air muka
isterinya itu berubah atau mendung di waktu-waktu dia terpaksa melurutkan perhiasan
itu dari tangannya untuk dikirim ke tempat "penginapannya” yang terkenal
itu.
Dalam keadaan semacam itulah anak-anaknya lahir. Dalam
keadaan yang serba sempit, akan tetapi yang dihadapi keduanya dengan hati yang
gembira. Keluarga itu pindah dari gang ke gang mencari sewa rumah yang agak
murah. Isterinyalah yang lebih ingat sudah berapa rumah yang telah didiami
mereka di kota Bandung itu.
Itulah perjuangan para pendahulu kita ketika ingin
mewujdukan mimpi mereka, bahwa setiap anak berhak mendapat pendidikan yang
layak.
Sumber Majalah Al Falah edisi Agustus 2021
Artikel Terkait:
Pelaksanaan Shalat Sunnah Rawatib | YDSF
Istiqamah dalam Kebaikan | YDSF
CARA MENGHITUNG ZAKAT PENGHASILAN | YDSF
Menjaga Agama, Melindungi Manusia | Dharuriyah Al-Khams (5 Perkara Asasi) | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
JENIS WAKAF DALAM ISLAM MENURUT BWI | YDSF