Natsir dan Nur Nahar, Menjadi Amil Zakat hingga Menggadai Emas | YDSF

Natsir dan Nur Nahar, Menjadi Amil Zakat hingga Menggadai Emas | YDSF

23 Juni 2022

Sekolah Pendidikan Islam yang didirikan Natsir bersama Ummi Nur Nahar harus berpindah dari sebuah bangunan di Jalan Lengkong 74 ke Jalan Pangeran Sumedang dengan luas bangunan yang lebih kecil. Bahkan, para murid di sekolah Natsir tersebut mayoritas dari kalangan bawah.

“Yang menjadi murid "Pendis" hampir semua dari keluarga-keluarga yang tidak mampu. Ada pula yang sudah ditolak oleh sekolah Pemerintah lantaran amalla atau "bodoh", kata Natsir (Abdullah Puar 1978:36).

Karenanya, dalam proses operasional sekolah, tak selalu mudah. Di antara para murid tentu saja cukup banyak yang tidak mampu membayar sama sekali sehingga mereka dibebaskan dari iuran sekolah. Natsir tak sampai hati melihat mereka yang tak mampu membayar sekolah, hatinya tentu menangis.

Pada saat yang bersamaan, Natsir juga harus berpikir agar mutu pendidikan dengan guru-guru yang mumpuni harus tetap dipelihara. Apalagi setelah pindah ke Jalan Lengkong Besar itu, sewa gedung benar-benar diminta tepat waktu, langsung lunas. Belum lagi, kredit buku-buku dari J. E. Wolters, harus dibayar pula dengan tertib, atau penerbit tidak akan mencetak buku-buku lagi.

Natsir dihadapkan pada kondisi seperti ini untuk tetap mempertahankan Sekolah Pendidikan Islam. Terkadang, kalau waktu sudah mendekati bulan Ramadhan, sudah pasti banyak murid yang tak mampu membayar uang sekolah, karena harus mempersiapkan kebutuhan lebaran juga.

Di tengah kesulitan-kesulitan itulah berlangsung perkawinan Natsir dan gadis Nur Nahar dengan sangat sederhana. Mereka tinggal di suatu rumah kecil dekat surau di Jalan Rana Diadakan juga walimah sedikit, tetapi tamu makan di atas surau di depan rumah kecil itu.

Isterinya yang selanjutnya disebut Ummi, tahu, bahwa jalan hidup yang ditempuh Natsir sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tidak mempunyai masa depan. Ummi rela dan berani naik perahu Natsir yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup yang penuh risiko. Sebagai teman hidup dan teman seperjuangan mereka sama-sama menggertamkan gigi menghadapi bermacam kesulitan. (Abdullah Puar, 1978: 37).

Mereka harus tinggal di satu kamar dekat dapur gedung sekolah di Lengkong Besar 74 agar semakin menghemat biaya sewa rumah, lampu, air dan lain-lain. Setiap bulan Ramadhan, Natsir biasanya mencari para dermawan untuk menunaikan kewajibannya berzakat.

“Natsir segera meninggalkan kota Bandung, berangkat dengan modal empat setengah rupiah ke Cirebon mengunjungi beberapa orang pengusaha di sana, antara lain Abdullah bin Afiff. Maksudnya ialah memungut zakatnya untuk keperluan "Pendis”,” tulis Abdullah Puar dalam Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.

Baca juga: Larangan LGBT dalam Islam dan Kisah Kaum Luth | YDSF

Untuk seorang dermawan yang sudah mengerti bagaimana Natsir berjuang melalui pendidikan, Abdullah Bin Afif tidak perlu lagi menanyakan apa maksud Natsir. Diterimanya Natsir sebagai tamu yang dihormatinya. Dilawannya berbicara tentang ini dan itu dan tentang kitab-kitab Mesir yang baru terbit.

Dia terkenal sebagai pedagang kitab-kitab keluaran Mesir itu. Apabila Natsir sudah akan berdiri hendak pergi, segera dia bangun dan memberikan bagian dari zakatnya sebesar dua puluh lima rupiah.

"Untuk perjuangan fi sabilillah!”, kata Abdullah Bin Afiff.

Berapa nilai uang sebanyak itu? Dengan uang sejumlah itu pada saatitu dapat dibeli sekitar empat kwintal beras. Sesudah itu diundangnya pula Natsir berbuka puasa di rumahnya. Permasalahannya, tidak semua orang yang dikunjungi Natsir seperti Abdullah bin Afiff itu.

Ada juga yang suka sombong dan kesal bila hendak mengeluarkan zakatnya. Dalam kondisi itu, terkadang Natsir harus mampu menahan rasa marahnya, tetapi seberapa bisa dicobanya menghadapinya dengan tenang sambal mengatakan:

“Saya datang berkunjung bukan untuk meminta belas kasihan. Saya tahu dalam harta tuan itu ada terselip hak masyarakat. Saya tahu tuan saat ini menunaikan kewajiban tuan sebagai Muslim untuk "membersihkan" atau "menzakahkan" harta tuan dari hak masyarakat itu. Zakah artinya bersih. Saya datang membantu tuan dalam hal ini, agar "zakat" yang Tuan akan keluarkan itu sampai kepada pihak yang berhak menerimanya,” tegas Natsir.

Menurut Natsir, "Pendidikan Islam” sebagai badan perjuangan ummat Islam dalam lapangan pendidikan adalah salah satu dari pihak yang berhak menerimanya.

“Saya datang sebagai orang perantaraan antara tuan yang akan menunaikan wajib zakat dengan pihak yang berhak atasnya. Itupun kalau tuan ridha. Kalau tidak, saya tidak berkecil hati. Sebab saya hanya sekadar melakukan kewajiban saya pula,” tegasnya.

Begitulah sikap Natsir dalam menghadapi orang-orang yang agak sombong sikapnya. Kalau sudah disampaikan seperti itu, mereka ada yang merah mukanya lantaran malu juga. Ada yang meminta maaf dan disampaikannya juga zakatnya. Dan mereka yang dikunjungi Natsir pada bulan Ramadan pertama itu ialah di Cirebon, Pekalongan, Kudus dan Surabaya.

Baca juga: LEBANON DALAM SEJARAH ISLAM | YDSF

Hampir semuanya mereka menjadi pembantu tetap "Pendis”. Ada pula yang kalau sudah waktunya mengeluarkan zakat, lalu mengirimkan zakatnya dengan pos wesel ke Bandung, tanpa diingatkan lagi. Dengan cara demikian dapat jugalah tertolong "Pendis” dari kesulitan-kesulitannya menghadapi lebaran Ramadhan dari tahun ke tahun dengan cara yang cukup terhormat.

Gelang Emas

Beberapa kali gelang emas milik istri Natsir, ummi Nur Nahar harus dikorbankan untuk cita-cita besar mereka. Berceritalah Natsir tentang sebuah gelang emas kepunyaan isterinya. Gelang emas Ummi yang satu-satunya itu mempunyai riwayat. Kalau "Pendis” sudah dalam kesulitan, maka gelang emas itu berpindah tempat dari tangan isterinya ke lemari pajak gadai.

Sudah berapa kali Ummi membuka gelang itu dari tangannya, Natsir tidak ingat lagi. Yang masih diingatnya benar ialah tidak tersiah air muka isterinya itu berubah atau mendung di waktu-waktu dia terpaksa melurutkan perhiasan itu dari tangannya untuk dikirim ke tempat "penginapannya” yang terkenal itu.

Dalam keadaan semacam itulah anak-anaknya lahir. Dalam keadaan yang serba sempit, akan tetapi yang dihadapi keduanya dengan hati yang gembira. Keluarga itu pindah dari gang ke gang mencari sewa rumah yang agak murah. Isterinyalah yang lebih ingat sudah berapa rumah yang telah didiami mereka di kota Bandung itu.

Itulah perjuangan para pendahulu kita ketika ingin mewujdukan mimpi mereka, bahwa setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak.

 

Sumber Majalah Al Falah edisi Agustus 2021

 

Artikel Terkait:

Pelaksanaan Shalat Sunnah Rawatib | YDSF
Istiqamah dalam Kebaikan | YDSF
CARA MENGHITUNG ZAKAT PENGHASILAN | YDSF
Menjaga Agama, Melindungi Manusia | Dharuriyah Al-Khams (5 Perkara Asasi) | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
JENIS WAKAF DALAM ISLAM MENURUT BWI | YDSF

Tags: perjuangan amil zakat

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: