Yayasan Dana
Sosial al-Falah (YDSF) telah menyebarkan dakwah kebaikan hingga wilayah Bali. Giat
ini dilakukan jauh sebelum terjadinya bom Bali 2005. Berbagai lika liku dalam
perjalanan dakwah ini dirasakan oleh para dai yang diamanahkan di wilayah
setempat.
Perjuangan
seorang dai untuk menyebarkan agama Islam di Bali sangatlah menarik. Layaknya
babat alas, para dai berupaya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Butuh
seni dakwah tersendiri mendekati masyarakat yang berbeda keyakinan, berbeda
budaya dan trauma terhadap Islam pasca-Bom Bali.
Kisah inspiratif
datang dari seorang dai YDSF yang bertugas menguatkan dan melestarikan
keislaman masyarakat Bali, khususnya di Buleleng. Ubaidullah Fadhil, dai yang
sudah puluhan tahun berdakwah dan berhasil menuntun orang-orang mengucap dua
kalimat syahadat.
Pasang surut dan
aneka kendala dilalui dai kelahiran Kediri Ini. Berlokasi di Kelurahan Seririt,
Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, jumlah pemeluk Islam berkisar di angka
15%, sisanya Hindu.
Ubaidullah
Fadhil, yang lebih kerap disapa Ustadz Ubaid mulai berdakwah di Bali diutus oleh Ketua Majelis
Ulama Jawa Timur, April 1988. Bali saat itu masih minim pemahaman terhadap
Islam.
“Belum ada
kegiatan keagamaan sama sekali, seperti pengajian,” katanya.
Tahun 1989 dia
menginisiasi perkumpulan jamaah, di Masjid Tauhid Minallah. Itu pengajian
khusus untuk ibu-ibu. Beberapa bulan kemudian Ustadz Ubaid juga menginisiasi
pengajian di Masjid Raya Seririt. Tahun 1991, jamaah sudah semakin berkembang.
Mulanya hanya ada 15 ibu-ibu, sekarang sudah sekitar 200.
Kebaikan dan Berbagi
Strateginya tidak
hanya menggaet hati umat Islam. Pendekatan dilakukan dengan menggandeng
instansi dan aparatur negara mulai Kelurahan, Kecamatan, Polsek, dan Koramil.
Dukungan pemangku kebijakan akan menjadi perlindungan dari berbagai gangguan.
Salah satu
caranya, semua warga sekitar Seririt mendapatkan pembagian daging qurban. Tidak
peduli warga nonmuslim. Daging sapi untuk warga muslim sedang daging kambing
untuk umat Hindu.
Ada juga daging
qurban yang sudah diolah menjadi makanan jadi. Ustadz Ubaid memperdayakan
beberapa penjual sate untuk mengelola daging hingga siap santap. Istri sang
ustadz juga mengolah menjadi masakan siap saji.
“Kalau daging
hanya cukup untuk yang muslim, saya cari tambahan dana agar juga cukup untuk
umat non muslim,” ujarnya.
Pernah suatu hari
seorang beragama Hindu datang dan mengatakan Ustadz Ubaid bagaikan Tuhan,
karena memberi tanpa pernah memandang siapa yang dibantu. Namun ustadz
kelahiran 17 November 1961 ini segera meluruskan pernyataan kurang tamunya.
Tak heran bapak
tiga anak ini selalu dihormati bahkan di kalangan umat Hindu. Tidak jarang ia
dilibatkan dalam kegiatan mengisi ceramah bagi umat Hindu. Upaya pendekatan
bahkan dilakukan melalui pendekatan personal.
Baca juga: 5.100
Paket Buka Puasa dan Takjil Bernutrisi YDSF untuk 11 Provinsi
“Tangan ini harus
bergerak, kita bantu satu persatu orang yang membutuhkan, semampunya, hingga
kita dikenal warga,” katanya seraya menyatakan ketika umat muslim berbuat
kebaikan, mereka akan ingat dan membalas kebaikan kita.”
Ustadz Ubaid juga
sering menggalang berbagai kegiatan sosial. Di antaranya seorang pedagang sate
asal Madura yang selain sering mendapatkan pesanan dari berbagai kegiatanjuga
dibantu modal. Begitu pula jika warga yang sakit, jamaah saling membantu.
Bedakan Sajian
Perkara makanan
sempat menjadi gesekan antara umat Hindu dan Islam setempat. Umat muslim
dianggap tidak menghargai sajian yang diberikan umat Hindu, padahal umat Hindu
selalu bisa memakan makanan orang muslim. Ustadz Ubaid dengan tegas namun
lembut menjelaskan duduk perkaranya secara Islam.
“Kini umat Islam dan Hindu sudah paham. Ketika
orang Hindu mengadakan hajatan, khawatir umat muslim salah ambil sajian, maka
dibedakan tempat penyajian dan cara masaknya,” kisahnya.
Dari sini Ustadz mengutip Bukhari dan Muslim
dari sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau
bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah yang berpenduduk mayoritas
ahli kitab. Bolehkah kami makan dengan menggunakan wadah mereka?” Rasulullah
saw. menjawab, “Jika kalian memiliki wadah yang lain, jangan makan dengan wadah
mereka. Namun, jika kalian tidak memiliki wadah yang lain, cucilah wadah mereka
dan makanlah dengan menggunakan wadah tersebut.”
Menjadi Mualaf
Kinni tercatat
sudah ada sekitar 105 mualaf/mualafah yang dituntun Ustadz Ubaid untuk memeluk
Islam. Mereka ini dituntun untuk melepaskan tata cara dan budaya peribadatan
agama sebelumnya hingga benar-benar bisa lepas dan senantiasa kukuh pendirian
beragama Islam.
Ustadz Ubaid
bahkan mengingatkan untuk selalu memperhatikan sajian setiap kali menyantap
makanan. “Kalau sedang berkumpul dengan keluarga yang beragama Hindu, selalu
hati-hati untuk memperhatikan makanan,” pesannya.
Bertahan Hidup
Menjadi
pendatang, beragama minoritas, tidak mudah mengawali dakwah bagi Ustadz
Ubaidullah Fadhil kala itu. Berstatus perjaka dan hidup dengan modal seadanya
ketika pertama kali ditugaskan berdakwah di Bali, ia harus berjuang menyambung
hidup. Setelah menikah Ustadz Ubaid tinggal di rumah kontrakan bersama istri
dan anaknya.
Untuk menghidupi
keluarganya, ia sempat melakoni beberapa usaha. Dimulai dari berjualan tikar.
Ustadz Ubaid kemudian banting stir. Bermodal pinjam alat pahat milik seorang
siswa SMP, ia memahat kayu menjadi kaligrafi yang indah dan bernilai jual. Ia
juga pernah berjualan batu alam, seperti marmer, dll.
Islam Dicap Teroris Pasca-Bom
Bali
Perjuangan dakwah
juga dilakukan beberapa dai yang tersebar di Bali. Beberapa dai dari Pondok
Pesantren Sidogiri yang bermitra dengan YDSF juga turut serta menyebarkan
dakwah Islam.
Salah satunya
Ustadz Muhibbin, berdakwah di Lingkungan Menesa, Perumahan Raya Kampial,
Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Ustadz
kelahiran Pasuruan ini berdakwah di kalangan umat Islam yang hanya 10%.
Berbagai tantangan dan kendala banyak dijumpai.
Baca juga: Safari
Dakwah dan Bakti Sosial YDSF di Lereng Merbabu, Semarang | YDSF
Begitu juga
banyaknya nyinyiran dari masyarakat yang menganggap Islam sebagai agama radikal
pasca peristiwa Bom Bali 2002 silam.
“Di sini kita
tidak bisa berekspresi, kita tidak bisa bebas mengundang orang, tidak semua
lingkungan mendukung kegiatan kita,” kata Ustadz Muhibbin ketika menjelaskan
kendala-kendala dalam berdakwah. Perselisihan umat beda agama sudah biasa
terjadi. Gangguan kebanyakan terjadi secara verbal, gangguan secara fisik sudah
mulai berkurang.
“Sekitar tahun
2005, saat gencar-gencarnya peristiwa Bom Bali, orang sini tidak percaya umat
muslim. Kita dikecam sebagai teroris. Bahkan ada preman yang datang mau bantai
kita,” kenang Ustadz Jono, Ketua Kerukunan Umat Islam Perumahan Kampial.
Ketika kata
toleransi menggaung di belantara republik, tidak terjadi di lingkungan ini.
Pengeras suara tidak digunakan karena komplain masyarakat. Suara adzan hanya
dikumandangkan di dalam ruangan. “Kalau mau shalat patokan utamanya ada di
handphone masing-masing,” kata Muhibbin.
Kegiatan dengan
menggunakan pengeras suara hanya dapat digunakan ketika sudah mendapatkan izin,
seperti hari-hari besar keagamaan umat Islam, hari raya, dsb. Bahkan pernah
harus pindah dari rumah ke rumah lainnya untuk menunaikan shalat lima waktu.
Luruskan
Di Kute Utara
pergaulan bebas banyak meracuni remaja, seperti minuman keras dan narkotika.
Dukungan orang tua terhadap anaknya untuk paham agama juga kurang. Banyak orang
tua beranggapan tujuan utama anak adalah mencari uang, bukan untuk beribadah.
“Tidak apa-apa
anak saya tidak shalat Ustadz, yang penting anak saya dapat kerja dulu,” kata
orangtua yang ditanya apakah anaknya menunaikan shalat.
Ustadz berumur 27
tahun ini juga fokus menangani berbagai persinggungan budaya. Banyak anak-anak
kecil masih kurang memahami Islam jadi ikut-ikutan tata cara beribadah umat
Hindu.
Ustadz Muhibbin
menunjuk contoh anak-anak ngaji di TPQ menyembah temannya sambil membawa
kembang. Ketika ditanya, “Ya teman-teman
saya shalatnya begitu,” jawabnya.
Begitu juga pengalaman
dai yang berada di Desa Banyubiru, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali.
Ustadz Hasan Basri menceritakan bahwa yang menjadi fokus permasalahan justru
datang dari minimnya kesadaran umat Islam untuk memakmurkan masjid.
“Upaya kita
menjadikan desa ini tidak menjadi desa mati, dalam artian masyarakat ramai
untuk memakmurkan masjid,” kata Ustadz berdarah Madura ini.
“Mereka itu
beragama Islam, tapi asing dengan ajaran Islam. Mereka seperti tidak memiliki
ghirah semangat untuk mengikuti kegiatan di masjid ini,” katanya.
“Kesadaran umat
Islam untuk mengerti Islam masih perlu digarap,” kata Ustadz Muhammad Mahur,
Guru Tugas Pondok Pesantren Sidogiri. Ia bertugas di Pondok Pesantren Miftahul
Hikmah, Desa Cupel, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali.
Perbanyak Sedekah Agar Hidup
Semakin Berkah:
Artikel Terkait:
Masalah Halal dalam RUU Cipta Kerja | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
Generasi Masa Kini Berpedoman Al-Qur’an | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
YDSF Adakan Buka Bersama untuk Meningkatkan Kualitas Gizi Anak-anak Gresik
Rasulullah Menempa Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Doa Memohon Rezeki yang Berkah dan Umur Panjang | YDSF
Perjalanan ke Pulau Terpencil Kangean | YDSF NEWS