Masalah implementasi UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang masih menghadapi berbagai kendala dan belum selesai, ternyata harus berhadapan dengan masalah baru, yaitu keinginan pemerintah menerbitkan undang-undang omnibus law.
Istilah Omnibus law diartikan, suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus, sehingga menjadi lebih sederhana.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, sedang merencanakan penyusunan UU omnibus law. Ada tiga kelompok yang rencana disasar pemerintah, yakni perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Sejauh ini, pemerintah telah menyisir 74 undang-undang yang akan terkena dampak omnibus law. Terkait dengan cipta lapangan kerja telah diselesaikan darf RUU Cipta Kerja dan telah diserahkan ke DPR, yang terdapat di dalamnya menyasar juga undang-undang jaminan produk halal. Padalah UU ini penerapannya baru saja dijalankan.
Ada sejumlah ketentuan baru dalam RUU cipta kerja yang berkaitan dengan UU Jaminan Produk Halal, yaitu terdapat dalam pasal 49. Pada pasal ini terdapat ketentuan yang apabila diterapkan bisa menjadi kemunduran dan memunculkan masalah baru.
Pertama, munculnya pasal 4A yang akan disisipkan pada UU No. 33 tahun 2014, yang menyatakan bahwa untuk pelaku usaha mikro dan kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil sendiri. Ketentuan ini sama artinya dengan pelaku usaha mikro dan kecil dibebaskan dari sertifikasi halal.
Prinsip sertifikasi pada dasarnya adalah berbasis pada audit atau pemeriksaan lapangan. Nah, jika sertifikat bisa diterbitkan tanpa adanya pemeriksaan lapangan atau pemeriksaan ke lokasi, bagaimana bisa diketahui atau dipastikan konsistensinya dalam memproduksi produk halal. Inilah yang menjadi pertanyaan mendasar.
Perlu diketahui dan ditegaskan, bahwa kunci sertifikasi halal adalah audit, yang bertujuan untuk melakukan penelusuran proses pembuatan dan penelusuran bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suatu produk yang akan disertifikasi. Karena itu, traceability (kemamputelusuran) bahan-bahan baku dari suatu produk sangat menentukan dalam proses sertifikasi halal.
Contoh sederhana, perusahaan dendeng sapi, untuk mengetahui status kehalalannya perlu ada penelusuran pembelian dagingnya di mana, kemudian penelusuran tempat penyembelihannya dan siapa yang menyembelih. Misalnya saja, jika ada perusahaan dendeng sapi, kelasnya UKM sekalipun, meskipun disebutkan bahwa dendeng benar-benar sapi isinya, namun setelah ditelusur daging sapi yang digunakan adalah produk impor yang tidak berasal dari rumah potong hewan untuk konsumsi muslim, maka dalam hal ini kehalalannya bisa menjadi sangat diragukan.
Contoh yang lebih kompleks adalah dalam kasus pembuatan es krim misalnya. Untuk memproduksi es krim, perlu bahan pembantu yang disebut emulsifier yang fungsinya untuk menyatukan antara komponen air dan komponen minyak agar tidak memisah. Es krim adalah bentuk sediaan emulsi, yaitu produk yang dibuat dari campuran minyak dan air. Jadi untuk membuat es krim sangat membutuhkan bahan emulsifier ini. Di antara bahan yang biasa digunakan sebagai emulsifier antara lain monogliserida, suatu senyawa turunan lemak. Yang perlu diperhatikan, sumber lemaknya dari apa, hal ini yang membutuhkan penelusuran. Karena, lemak bisa bersumber dari nabati maupun hewani. Bahan lemak hewani pun masih perlu ditelusur lagi, hewan halal ataukan hewan haram. Bahkan bahan yang berasal dari hewan halal pun masih harus pula ditelusur cara menyembelihnya. Itulah pentingnya traceability dalam proses audit.
Maka jika dalam RUU Cipta Kerja, perusahaan UKM tidak perlu lagi diaudit sertifikasinya tetapi cukup hanya didasarkan pada pengakuan sendiri, hal ini adalah kemunduran dari aturan undang-undang yang ada. Kita akan kembali pada kondisi kehalalan yang tidak jelas.
Masalah ke dua, dalam draft RUU Cipta Kerja, soal otoritas mengeluarkan fahwa tidak hanya ditangani oleh satu lembaga saja. Hal ini mengubah ketentuan dalam UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang hanya memberi kewenangan untuk mengeluarkan fatwa di bidang halal kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun pada draft RUU Cipta Kerja, yang diberikan kewenangan mengeluarkan fatwa produk halal tidak hanya Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi juga organisasi kemasyarakatan keislaman (Ormas Islam). Kebijakan ini jika jadi diputuskan, akan menjadi persoalan kedepan yaitu adanya benturan fatwa dari lembaga satu dengan lembaga yang lain, maka bisa saja terjadi ada produk yang sama tetapi fatwanya berbeda. Hal ini karena dalam persoalan fatwa terdapat di dalamnya wilayah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan.
Persoalan konflik fatwa yang lebih serius jika sampai terjadi konflik kepentingan termasuk kemungkinannya ada uang dalam penentuan fatwa, mudah-mudahan tidak sampai terjadi.
Berbeda halnya, apabila yang diberikan otoritas mengeluarkan fatwa adalah hanya MUI seperti pada UU No. 33 tahun 2014 sebagaimana yang sudah berjalan. MUI adalah wadah bersama, yang di dalamnya terdapat wakil-wakil dari ormas-ormas Islam. Dengan adanya wakil-wakil ormas di dalamnya, ketika terdapat perbedaan, bisa cukup diselesaikan di dalam lembaga MUI, sehingga keputusan yang keluar adalah keputusan yang satu, yang mengakomodasi semuanya melalui mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, berbagai kemungkinan negatif sebagaimana yang di atas akan bisa dihindari.
Sumber Majalah Al Falah Edisi April 2020
Featured Image by Freepik.
Baca juga:
MEMAHAMI ERA NEW NORMAL | YDSF
OJEK ONLINE TERIMA ORDER BABI | YDSF
Membuat Sertifikasi Halal Tidak di LPPOM MUI | YDSF
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia | YDSF