Tauhid Memerdekakan dan Memuliakan Manusia | YDSF

Tauhid Memerdekakan dan Memuliakan Manusia | YDSF

17 Agustus 2023

Untuk dapat meraih kemerdekaan, tentu ada perjuangan yang besar. Di baliknya, tauhid dan memuliakan sesama menjadi salah satu pilar pentingnya. Bukan hanya berjuang dengan jiwa dan raga tanpa ada pertolongan Sang Maha Kuasa. Sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia di kalimat pertamanya.

Sejarah adalah guru kehidupan. Bung Karno berpesan agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Dengan mengetahui sejarah, banyak yang bisa diambil dan dipelajari. Seperti nilai-nilai dan semangat perjuangan, kerelaan berkorban, serta teladan.

Sejarah memperjuangkan dan merebut kemerdekaan Negara Indonesia pun perlu diketahui dan dipahami. Bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah. Untuk mendapatkah hak merdeka, terlebih dulu harus direbut melalui proses panjang dan tak mudah.

Seperti dalam deklarasi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, ‘Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa’. Bangsa, tersusun dari berjuta individu di dalamnya adalah manusia yang berhak merdeka.

Kemudian dilanjutkan, ‘Oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.’

Dari sinilah, sisi merdeka yang mulia. Budi luhur dan bermartabat semestinya dijunjung tinggi atas dasar rela hati dalam bermasyarakat. Membantu yang susah, mengangkat yang lemah, adalah beberapa nilai yang mesti dijaga. Tidak hanya merdeka semata, tetapi juga menghadirkan kemerdekaan yang luhur dan mulia.

Seperti dikatakan Muhammad Jazir ASP, Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, merdeka dengan mulia sejatinya menghapuskan segala bentuk penindasan agar serta-merta tercipta keadilan yang hakiki.

Menelaah pada masa sebelum kemerdekaan, Nabi Ibrahim as. telah memproklamirkan kemerdekaan, jauh sebelum era sekarang. Diperkirakan 1997 sebelum masehi, kala di zaman Nabi Ibrahim lafaz Tauhid telah menggema: ‘laa ilaaha illallah’ tiada tuhan selain Allah. Lafaz sebagai penanda agar manusia tidak lagi bergantung kecuali hanya kepada Allah Swt.

“Itulah manusia merdeka!” tegas Ustadz Jazir, yang juga Pembina YDSF.

Hakikat dari ‘laa ilaaha illallah’ adalah manusia tidak lagi menuhankan manusia, melainkan menjadi manusia yang bebas. Bebas dalam berpikir dan merdeka dalam kehidupan. Manusia merdeka adalah yang tidak lagi takut atas kehendak orang lain kecuali pada Allah semata.

Dengan merdeka dari diri sendiri, manusia tidak boleh menghamba kepada yang lain. Manusia hanya boleh menghamba pada siapa yang menciptakan.

Penegasan tersebut telah difirmankan Allah, di dalam Surat Al-Baqarah ayat 21, ‘Ya ayyuhan-nasu'budụ rabbakumulladzi khalaqakum.’ Yang artinya, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu.”

“Itulah kemerdekaan yang sejati,” ucap Ustadz kelahiran Yogyakarta, 61 tahun silam ini.

Dan Ibrahim merupakan manusia pertama yang mengajarkan kemerdekaan dalam balutan tauhid. Dengan tauhid, manusia hanya akan tunduk kepada Allah semata.

“Itulah konsep manusia merdeka,” tandas Ustadz Jazir. 

Sudah semestinya merdeka diciptakan dari niatan diri. Lantas, dengan berpegang teguh pada ajaran tauhid dan keesaan Allah. senantiasa menghantarkan diri menjadi manusia yang kuat dalam menangkal nilai-nilai buruk. Menjadi manusia merdeka. 

Baca juga: Upacara Kemerdekaan RI ke-75 tahun di Zona Hijau Bawean | YDSF

Merawat Kemerdekaan

Ustadz Jazir kembali menjelaskan bahwa nilai utama mencapai kemerdekaan dengan mulia disokong tiga hal. Kerelaan berkorban, persatuan, dan kesetiakawanan sosial.

“Cukuplah kita para pemimpin saja yang menderita, rakyat tidak boleh menderita.” Itulah pernyataan Jenderal Soedirman yang sering didengungkan. Kata yang dirajut untuk mengungkapkan bentuk pengorbanan pemimpin kepada rakyatnya.

Pepatah kuno Belanda bermakna serupa disampaikan M. Roem dalam tulisannya tentang H. Agus Salim. Leiden is lijden! Memimpin itu siap menderita untuk rakyatnya.

Pengorbanan dalam era kemerdekaan sudah dicontohkan oleh pemimpin dan pejuang, seperti Soedirman. Hanya dengan kerelaan berkorban dari para pemimpin, kemerdekaan bisa diraih.

“Para pemimpin memiliki pandangan yang sama untuk membebaskan bangsa ini dari penindasan atas kemanusiaan. Serta demi tegaknya nilai keadilan,” kata Ustadz Jazir.

Sebagai generasi yang hidup di masa kini, sudah sepatutnya kita bersama-sama merawat kemerdekaan. Saling berkorban dan berlomba dalam kebaikan, perlulah senantiasa dijaga agar lestari. Jika setiap diri manusia sadar sebagai individu yang rela berkorban, semakin mengasah empati. Yang dalam perkembangannya menjadi bagian penting pemupuk rasa persatuan bangsa dan negara.

Setelah mampu menyelami makna berkorban, berbuat kebaikan menjadi lebih mudah dilakukan bersama. Maka kebaikan-kebaikan yang kita tanamkan, akan memberi kemanfaatan jauh lebih baik bagi yang membutuhkan. 

Kesatuan senantiasa dijaga dalam nuansa merdeka agar utuh, bukan malah mengarahkan dalam narasi yang memecah belah rakyat. Persatuan sejatinya harus diusung demi kemaslahatan seluruh elemen bangsa, bukan di atas kepentingan golongan.

Ketika jiwa berkorban dan jiwa bersatu telah diresapi, maka penyempurnanya adalah kesetiakawanan sosial. Kesetiakawanan sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Bahu-membahu untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Kesetiakawaan harus tetap dijaga untuk dan bagi manusia agar dapat membantu masyarakat yang membutuhkan.

Mirisnya, akibat kesetiakawanan yang tidak berjalan dengan semestinya, masih sering dijumpai kasus kemiskinan, stunting, dan sebagainya.

“Itu karena mekanisme kesetiakawanan sosial yang tidak berjalan,” ujar Ketua Dewan Syura Masjid Jogokariyan ini.

Tidak dimungkiri, kita sering buta memandang sekitar. Masih banyak yang lupa bila kesetiakawanan sosial adalah jalan membantu dan mengangkat derajat orang yang lemah.

Menjadi merdeka dengan mulia, adalah bagaimana kita membangun kedekatan dengan Tuhan Semesta Alam. Allah yang Esa.

Tauhid, adalah jalan utama kemerdekaan. Dalam dasar negara Indonesia, Ketuhanan yang Mahaesa menjadi konsep kemerdekaan. Dan ketika Allah Swt. menjadi poros untuk merdeka, niscaya asas yang memaknai kemerdekaan akan senantiasa mengikutinya. (tim)

 

Majalah Al Falah Edisi Agustus 2023 (Rubrik Ruang Utama)

 

Peduli Sesama bersama YDSF

 

 

Artikel Terkait:

PERBEDAAN ZAKAT PROFESI DAN ZAKAT PERTANIAN | YDSF
Keutamaan Puasa Senin Kamis | YDSF
ZAKAT DALAM ISLAM | YDSF
Tips Mendidik Anak Berkarakter | YDSF
ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK | YDSF
Peresmian Pesantren Wakaf Ihya Ul Qur’an Wosossalam, Jombang
APA ITU WAKAF? PENGERTIAN, DALIL, DAN HUKUM WAKAF | YDSF

 

Belanja Bersama Yatim


Tags: tauhid, kemerdekaan, tauhid memerdekakan, tauhid memuliakan, ydsf

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: