Untuk dapat
meraih kemerdekaan, tentu ada perjuangan yang besar. Di baliknya, tauhid dan
memuliakan sesama menjadi salah satu pilar pentingnya. Bukan hanya berjuang
dengan jiwa dan raga tanpa ada pertolongan Sang Maha Kuasa. Sebagaimana yang
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia di
kalimat pertamanya.
Sejarah adalah
guru kehidupan. Bung Karno berpesan agar jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah. Dengan mengetahui sejarah, banyak yang bisa diambil dan dipelajari.
Seperti nilai-nilai dan semangat perjuangan, kerelaan berkorban, serta teladan.
Sejarah
memperjuangkan dan merebut kemerdekaan Negara Indonesia pun perlu diketahui dan
dipahami. Bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah. Untuk mendapatkah
hak merdeka, terlebih dulu harus direbut melalui proses panjang dan tak mudah.
Seperti dalam
deklarasi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, ‘Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa’. Bangsa, tersusun dari
berjuta individu di dalamnya adalah manusia yang berhak merdeka.
Kemudian
dilanjutkan, ‘Oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.’
Dari sinilah,
sisi merdeka yang mulia. Budi luhur dan bermartabat semestinya dijunjung tinggi
atas dasar rela hati dalam bermasyarakat. Membantu yang susah, mengangkat yang
lemah, adalah beberapa nilai yang mesti dijaga. Tidak hanya merdeka semata,
tetapi juga menghadirkan kemerdekaan yang luhur dan mulia.
Seperti dikatakan
Muhammad Jazir ASP, Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada,
merdeka dengan mulia sejatinya menghapuskan segala bentuk penindasan agar
serta-merta tercipta keadilan yang hakiki.
Menelaah pada
masa sebelum kemerdekaan, Nabi Ibrahim as. telah memproklamirkan kemerdekaan,
jauh sebelum era sekarang. Diperkirakan 1997 sebelum masehi, kala di zaman Nabi
Ibrahim lafaz Tauhid telah menggema: ‘laa ilaaha illallah’ tiada tuhan selain
Allah. Lafaz sebagai penanda agar manusia tidak lagi bergantung kecuali hanya
kepada Allah Swt.
“Itulah manusia
merdeka!” tegas Ustadz Jazir, yang juga Pembina YDSF.
Hakikat dari ‘laa
ilaaha illallah’ adalah manusia tidak lagi menuhankan manusia, melainkan menjadi
manusia yang bebas. Bebas dalam berpikir dan merdeka dalam kehidupan. Manusia
merdeka adalah yang tidak lagi takut atas kehendak orang lain kecuali pada
Allah semata.
Dengan merdeka
dari diri sendiri, manusia tidak boleh menghamba kepada yang lain. Manusia
hanya boleh menghamba pada siapa yang menciptakan.
Penegasan
tersebut telah difirmankan Allah, di dalam Surat Al-Baqarah ayat 21, ‘Ya
ayyuhan-nasu'budụ rabbakumulladzi khalaqakum.’ Yang artinya, “Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu.”
“Itulah
kemerdekaan yang sejati,” ucap Ustadz kelahiran Yogyakarta, 61 tahun silam ini.
Dan Ibrahim
merupakan manusia pertama yang mengajarkan kemerdekaan dalam balutan tauhid.
Dengan tauhid, manusia hanya akan tunduk kepada Allah semata.
“Itulah konsep
manusia merdeka,” tandas Ustadz Jazir.
Sudah semestinya
merdeka diciptakan dari niatan diri. Lantas, dengan berpegang teguh pada ajaran
tauhid dan keesaan Allah. senantiasa menghantarkan diri menjadi manusia yang
kuat dalam menangkal nilai-nilai buruk. Menjadi manusia merdeka.
Baca juga: Upacara Kemerdekaan RI ke-75 tahun di Zona Hijau Bawean | YDSF
Merawat Kemerdekaan
Ustadz Jazir
kembali menjelaskan bahwa nilai utama mencapai kemerdekaan dengan mulia
disokong tiga hal. Kerelaan berkorban, persatuan, dan kesetiakawanan sosial.
“Cukuplah kita
para pemimpin saja yang menderita, rakyat tidak boleh menderita.” Itulah pernyataan
Jenderal Soedirman yang sering didengungkan. Kata yang dirajut untuk
mengungkapkan bentuk pengorbanan pemimpin kepada rakyatnya.
Pepatah kuno
Belanda bermakna serupa disampaikan M. Roem dalam tulisannya tentang H. Agus
Salim. Leiden is lijden! Memimpin itu siap menderita untuk rakyatnya.
Pengorbanan dalam
era kemerdekaan sudah dicontohkan oleh pemimpin dan pejuang, seperti Soedirman.
Hanya dengan kerelaan berkorban dari para pemimpin, kemerdekaan bisa diraih.
“Para pemimpin
memiliki pandangan yang sama untuk membebaskan bangsa ini dari penindasan atas
kemanusiaan. Serta demi tegaknya nilai keadilan,” kata Ustadz Jazir.
Sebagai generasi
yang hidup di masa kini, sudah sepatutnya kita bersama-sama merawat
kemerdekaan. Saling berkorban dan berlomba dalam kebaikan, perlulah senantiasa
dijaga agar lestari. Jika setiap diri manusia sadar sebagai individu yang rela
berkorban, semakin mengasah empati. Yang dalam perkembangannya menjadi bagian
penting pemupuk rasa persatuan bangsa dan negara.
Setelah mampu menyelami
makna berkorban, berbuat kebaikan menjadi lebih mudah dilakukan bersama. Maka
kebaikan-kebaikan yang kita tanamkan, akan memberi kemanfaatan jauh lebih baik
bagi yang membutuhkan.
Kesatuan
senantiasa dijaga dalam nuansa merdeka agar utuh, bukan malah mengarahkan dalam
narasi yang memecah belah rakyat. Persatuan sejatinya harus diusung demi
kemaslahatan seluruh elemen bangsa, bukan di atas kepentingan golongan.
Ketika jiwa berkorban dan jiwa bersatu telah diresapi, maka
penyempurnanya adalah kesetiakawanan sosial. Kesetiakawanan sosial dalam
berbagai situasi dan kondisi. Bahu-membahu untuk membebaskan rakyat dari
kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Kesetiakawaan harus tetap dijaga
untuk dan bagi manusia agar dapat membantu masyarakat yang membutuhkan.
Mirisnya, akibat kesetiakawanan yang tidak berjalan dengan
semestinya, masih sering dijumpai kasus kemiskinan, stunting, dan sebagainya.
“Itu karena mekanisme kesetiakawanan sosial yang tidak
berjalan,” ujar Ketua Dewan Syura Masjid Jogokariyan ini.
Tidak dimungkiri, kita sering buta memandang sekitar. Masih
banyak yang lupa bila kesetiakawanan sosial adalah jalan membantu dan
mengangkat derajat orang yang lemah.
Menjadi merdeka dengan mulia, adalah bagaimana kita
membangun kedekatan dengan Tuhan Semesta Alam. Allah yang Esa.
Tauhid, adalah jalan utama kemerdekaan. Dalam dasar negara
Indonesia, Ketuhanan yang Mahaesa menjadi konsep kemerdekaan. Dan ketika Allah
Swt. menjadi poros untuk merdeka, niscaya asas yang memaknai kemerdekaan akan
senantiasa mengikutinya. (tim)
Majalah Al
Falah Edisi Agustus 2023 (Rubrik Ruang Utama)
Peduli Sesama bersama YDSF
Artikel Terkait:
PERBEDAAN ZAKAT PROFESI DAN ZAKAT PERTANIAN | YDSF
Keutamaan Puasa Senin Kamis | YDSF
ZAKAT DALAM ISLAM | YDSF
Tips Mendidik Anak Berkarakter | YDSF
ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK | YDSF
Peresmian Pesantren Wakaf Ihya Ul Qur’an Wosossalam, Jombang
APA ITU WAKAF? PENGERTIAN, DALIL, DAN HUKUM WAKAF | YDSF
Belanja Bersama Yatim