Sikap Kritis di Era Digital | YDSF

Sikap Kritis di Era Digital | YDSF

26 Oktober 2022

Bersikap kritis di era digital memang bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat ini, kita dengan mudah mendapatkan banyak informasi, tetapi juga harus menyadari bahwa perlu ada penyaringan yang ketat. Tujuannya tak lain tentu untuk terhindar dari hoax dan tidak terbawa ‘arus’ pola hidup yang tidak sesuai.

Era kini disebut sebagai periode Revolusi Industri 4.0. Telah terjadi transformasi menyeluruh di semua bidang, terdiri dari kombinasi antara sistem cerdas dan otomasi ikut campur dalam aktivitas industri.

Beberapa pilar utama dalam Revolusi Industri 4.0, yaitu Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence (AI), dan Cloud Computing. Pemerintah dan pihak swasta berusaha memperkuat pondasi digital di berbagai sektor.

Waktu Rerata Online

Tentu ini menuntut sikap dan mental yang produktif. Karena banyak perubahan pada kebiasaan belajar dan dunia kerja. Hal ini juga mengubah gaya hidup masyarakat. Menurut riset, tiap orang menghabiskan waktu antara 5 - 6 jam dalam keadaan online. Itu jika dalam kondisi normal.

Durasi ini bisa lebih lama jika dalam kondisi lockdown atau pembatasan aktivitas luar ruang karena pandemi. Durasi online bisa lebih lama lagi bila work from home (WFH) atau pembelajaran daring. 

Tak ayal, pikiran dan panca indera manusia zaman ini dipenuhi dengan konten media online. Informasi bertebaran dan simpang siur. Fenomena ini menuntut kita untuk selalu kritis dan berhati-hati. Karena, hakikat taqwa adalah kehati-hatian. Sebagaimana pernyataan Ubay bin Ka’ab, sahabat Nabi Muhammad saw., “Bagaimanakah engkau melintas di jalan yang penuh duri? Itulah taqwa.”

Seperti apa saja sikap hati-hati itu? Mari kita sedikit ulas pada artikel ini.

Tidak Mudah Termakan Isu

Hampir tiap orang di zaman ini memiliki setidaknya satu gawai. Mulai dari siswa SD hingga kaum profesional. Sebagai orang beriman, kita wajib menyadari tidak semua konten medsos itu bergizi. Ada yang tergolong sampah bahkan kemaksiatan.

Selain itu ada pula konten melenakan. Isi medsos itu selayaknya etalase. Yang bagus dan cantik yang ditampilkan. Sedangkan hal esensial tidak banyak diekspos. Kalau pun ada yang esensial, biasanya tenggelam di tengah lautan konten.

Orang hanya menampilkan kesuksesan atau konten piknik. Jarang ada yang menampilkan problem hidupnya. Semua itu tersembuyi di balik medsosnya masing-masing. Selain itu, media online bisa dimanfaatkan menjadi produktif dalam rumus 3C: cari ilmu, cari teman, dan cari penghasilan.

Baca juga: Amalan dan Doa Ketika Turun Hujan | YDSF

Tetap Kritis dan Check & Recheck

Banyak kasus penipuan dengan menggunakan akun media sosial palsu. Maka tetaplah bersikap kritis terhadap pesan yang masuk, khususnya jika ada permintaan yang mencurigakan.

Dicek berulang kali. Kalau perlu dihubungi dengan saluran telepon dan diuji dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat detil. Untuk memastikan bahwa sang penghubung itu orang yang kita benar-benar kenal.

Misalnya ditanyakan siapa nama kerabat yang sama-sama kenal atau pertama kali kenal di mana. Hal sama untuk berita yang agaknya terasa bombastis. Harus dicek ke situs berita tepercaya. Tidak asal telan atau asal sebar ulang.

Punya Guru Panutan

Allah telah menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul sebagai penuntun hidup. Mereka menjadi panutan dan tempat bertanya. Jika pasien harus bertanya ke dokter sebagai ikhtiar kesembuhan, maka umat harus bertanya kepada ulama sebagai ikhtiar jalan yang lurus.  

Karena itulah nabi berwasiat, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda). Dan ulama itu sosok yang dengan ilmunya mengajak taqwa. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir 35).

Maksud ayat itu --menurut Buya HAMKA- hanyalah orang-orang yang berilmu yang merasa takut kepada Allah. Dengan kata lain, orang yang bisa merasakan takut kepada Allah hanyalah orang berilmu. Seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang Allah dan kekuasaan-Nya, maka dia tidak akan merasa takut kepada-Nya (Tafsir al-Azhar, jilid 8: 5931).

Tergabung dalam Komunitas Kebaikan

Nabi saw. berpesan, “Tidak ada tiga orang di desa atau padang pasir, tidak didirikan shalat berjamaah pada mereka kecuali setan menguasai mereka. Maka bergabunglah dalam jamaah, karena sesungguhnya serigala hanya memangsa domba yang menyendiri.” (HR. Abu Dawud dari Abu Darda).  

Hendaknya tiap muslim bergabung dalam perkumpulan yang baik. Bisa sebagai pengurus masjid, RT-RW, yayasan sosial, ormas keagamaan, majelis taklim, pencinta lingkungan dan satwa dll.

Jangan sampai menyendiri. Hindari pula bergabung pada perkumpulan yang tidak saling mengingatkan kepada kebaikan. “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin,” (QS. Az Zariyat 55). Wallahu a’lam.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi April 2022

 

Peduli Penyintas Bencana

 

 

Artikel Terkait:

KORBAN BENCANA BOLEH TERIMA ZAKAT | YDSF
Perbedaan Nazhir dan Wakif dalam Wakaf | YDSF
6 KEUTAMAAN SEDEKAH DALAM JANJI ALLAH SWT. | YDSF
Perbedaan Zakat, Sedekah, dan Wakaf | YDSF
BOLEHKAH UMRAH TAPI BELUM ZAKAT MAAL? | YDSF
Perbedaan Nazhir dan Wakif dalam Wakaf | YDSF

 

Indonesia #SiagaBencana



Tags: kritis di era digital, kritis digital, ydsf

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: