Bersikap kritis
di era digital memang bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat ini, kita dengan
mudah mendapatkan banyak informasi, tetapi juga harus menyadari bahwa perlu ada
penyaringan yang ketat. Tujuannya tak lain tentu untuk terhindar dari hoax
dan tidak terbawa ‘arus’ pola hidup yang tidak sesuai.
Era kini disebut
sebagai periode Revolusi Industri 4.0. Telah terjadi transformasi menyeluruh di
semua bidang, terdiri dari kombinasi antara sistem cerdas dan otomasi ikut
campur dalam aktivitas industri.
Beberapa pilar
utama dalam Revolusi Industri 4.0, yaitu Internet of Things (IoT), Big
Data, Artificial Intelligence (AI), dan Cloud Computing.
Pemerintah dan pihak swasta berusaha memperkuat pondasi digital di berbagai sektor.
Waktu Rerata Online
Tentu ini
menuntut sikap dan mental yang produktif. Karena banyak perubahan pada
kebiasaan belajar dan dunia kerja. Hal ini juga mengubah gaya hidup masyarakat.
Menurut riset, tiap orang menghabiskan waktu antara 5 - 6 jam dalam keadaan
online. Itu jika dalam kondisi normal.
Durasi ini bisa
lebih lama jika dalam kondisi lockdown atau pembatasan aktivitas luar
ruang karena pandemi. Durasi online bisa lebih lama lagi bila work from home
(WFH) atau pembelajaran daring.
Tak ayal, pikiran
dan panca indera manusia zaman ini dipenuhi dengan konten media online.
Informasi bertebaran dan simpang siur. Fenomena ini menuntut kita untuk selalu
kritis dan berhati-hati. Karena, hakikat taqwa adalah kehati-hatian.
Sebagaimana pernyataan Ubay bin Ka’ab, sahabat Nabi Muhammad saw.,
“Bagaimanakah engkau melintas di jalan yang penuh duri? Itulah taqwa.”
Seperti apa saja
sikap hati-hati itu? Mari kita sedikit ulas pada artikel ini.
Tidak Mudah Termakan Isu
Hampir tiap orang
di zaman ini memiliki setidaknya satu gawai. Mulai dari siswa SD hingga kaum
profesional. Sebagai orang beriman, kita wajib menyadari tidak semua konten
medsos itu bergizi. Ada yang tergolong sampah bahkan kemaksiatan.
Selain itu ada
pula konten melenakan. Isi medsos itu selayaknya etalase. Yang bagus dan cantik
yang ditampilkan. Sedangkan hal esensial tidak banyak diekspos. Kalau pun ada
yang esensial, biasanya tenggelam di tengah lautan konten.
Orang hanya
menampilkan kesuksesan atau konten piknik. Jarang ada yang menampilkan problem
hidupnya. Semua itu tersembuyi di balik medsosnya masing-masing. Selain itu,
media online bisa dimanfaatkan menjadi produktif dalam rumus 3C: cari ilmu,
cari teman, dan cari penghasilan.
Baca juga: Amalan dan Doa Ketika Turun Hujan | YDSF
Tetap Kritis dan Check
& Recheck
Banyak kasus
penipuan dengan menggunakan akun media sosial palsu. Maka tetaplah bersikap
kritis terhadap pesan yang masuk, khususnya jika ada permintaan yang
mencurigakan.
Dicek berulang
kali. Kalau perlu dihubungi dengan saluran telepon dan diuji dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat detil. Untuk memastikan bahwa sang penghubung
itu orang yang kita benar-benar kenal.
Misalnya ditanyakan siapa nama kerabat yang sama-sama kenal atau pertama kali kenal di mana. Hal sama untuk berita yang agaknya terasa bombastis. Harus dicek ke situs berita tepercaya. Tidak asal telan atau asal sebar ulang.
Punya Guru Panutan
Allah telah
menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul sebagai penuntun hidup. Mereka menjadi
panutan dan tempat bertanya. Jika pasien harus bertanya ke dokter sebagai
ikhtiar kesembuhan, maka umat harus bertanya kepada ulama sebagai ikhtiar jalan
yang lurus.
Karena itulah
nabi berwasiat, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu
Ad-Darda). Dan ulama itu sosok yang dengan ilmunya mengajak taqwa.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
ulama.” (QS. Fathir 35).
Maksud ayat itu
--menurut Buya HAMKA- hanyalah orang-orang yang berilmu yang merasa takut
kepada Allah. Dengan kata lain, orang yang bisa merasakan takut kepada Allah
hanyalah orang berilmu. Seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang
Allah dan kekuasaan-Nya, maka dia tidak akan merasa takut kepada-Nya (Tafsir
al-Azhar, jilid 8: 5931).
Tergabung dalam Komunitas
Kebaikan
Nabi saw.
berpesan, “Tidak ada tiga orang di desa atau padang pasir, tidak didirikan
shalat berjamaah pada mereka kecuali setan menguasai mereka. Maka bergabunglah
dalam jamaah, karena sesungguhnya serigala hanya memangsa domba yang
menyendiri.” (HR. Abu Dawud dari Abu Darda).
Hendaknya tiap
muslim bergabung dalam perkumpulan yang baik. Bisa sebagai pengurus masjid,
RT-RW, yayasan sosial, ormas keagamaan, majelis taklim, pencinta lingkungan dan
satwa dll.
Jangan sampai
menyendiri. Hindari pula bergabung pada perkumpulan yang tidak saling
mengingatkan kepada kebaikan. “Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin,” (QS. Az
Zariyat 55). Wallahu a’lam.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi April 2022
Peduli Penyintas Bencana
Artikel Terkait:
KORBAN BENCANA BOLEH TERIMA ZAKAT | YDSF
Perbedaan Nazhir dan Wakif dalam Wakaf | YDSF
6 KEUTAMAAN SEDEKAH DALAM JANJI ALLAH SWT. | YDSF
Perbedaan Zakat, Sedekah, dan Wakaf | YDSF
BOLEHKAH UMRAH TAPI BELUM ZAKAT MAAL? | YDSF
Perbedaan Nazhir dan Wakif dalam Wakaf | YDSF