Membahas tentang
pranata ekonomi umat dalam Islam, maka kita akan dihadapkan dengan berbagai
fakta tentang pola pikir dan kebiasaan masyarakat. Sehingga lupa bagaimana cara
mengelola potensi ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidup.
Era kini, banyak
dijumpai berbagai macam orang yang berupaya mengais rupiah hanya untuk sesuap
nasi, demi menyambung keberlangsungan hidupnya. Sebagian orang menganggap jika tidak punya uang akan “mati kelaparan” begitulah jargon yang ditanamkan.
Hal ini karena mereka memandang bahwa setiap makhluk mempunyai hak untuk hidup. Halal dan haram kadang mereka tidak mengindahkannya, yang penting semua kebutuhan tercukupi.
Orang kaya “harta” dan orang miskin “harta” berlomba-lomba untuk memenuhi
keinginannya. Terkadang,
mereka berjuang sendiri tanpa mengindahkan peluang masing-masing untuk menjalin
kemitraan ataupun saling mengisi kelebihan dan kekurangannya.
Di antara hiruk
pikuk kemegahan kota, bisa disaksikan fenomena itu begitu dekat dengan
kehidupan kita perbedaan antara keduanya. Padahal, sinergitas antara keduanya sesungguhnya
akan melahirkan satu kekuatan besar untuk memberdayakan potensi masingmasing dalam
mewujudkan visi kesejahteraan.
Mengutip dari
desertasi Alimuddin Universitas Brawijaya tentang hasil penelitian Pilavin
(1969) serta Meyer dan Multherin (1980) menyimpulkan, seseorang yang mengalami
kesulitan karena di luar kemampunannya akan lebih memperoleh pertolongan
daripada mereka mengalami kesulitan akibat ulahnya.
Artinya, manfaat
kebersamaan lebih memproteksi dirinya sebagai individu dari pada mereka berupaya mencari solusi mandiri tanpa bantuan lain. Dalam pandangan ilmu sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri-sendiri, mereka wajib
berinteraksi, memerlukan dan membutuhkan bantuan antara satu sama lain, “zoon politicon”.
Ibnu Khaldun
menyatakan, manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, al-hayawan
alijtima’i, artinya manusia memerlukan bantuan orang lain mulai dari kelompok masyarakat terkecil sampai komunitas terbesar. Bahkan naluri untuk hidup bersama, manusia membangun suatu lembaga tertentu yang diikat dengan kaidah-kaidah hukum berupa aturan yang dibuat oleh manusia sebagai wadah aspirasinya. Maka dengan alasan tersebut, banyak di antara kita yang membuat komunitas,
club, kelompok belajar, kelompok usaha, dll.
Dalam perspektif
sosiologi Islam, manusia dinyatakan di dalam Al-Qur’an sebagai “an-Nas” yang
mempunyai kecenderungan untuk berkelompok (QS. Ali Imran: 122, QS. Al-Hujurat: 13).
Itulah sesungguhnya hikmah yang Allah berikan kepada kita yang menciptakan
manusia dari berjenis suku dan bangsa untuk menjalin silaturrahim yang
berkesinambungan.
Baca juga: PASAR DALAM EKONOMI ISLAM | YDSF
Kekuatan
berkelompok akan menghasilkan sebuah produktivitas untuk mendatangkan hasil yang
diperoleh, baik itu manfaat yang abstrak ataupun nyata, sesuai dengan orientasi
dari pendirian kelompok tersebut. Itulah pentingnya suatu pranata dalam tatanan
sosial yang menunjang aktifitas mereka. Islam memandang persatuan dan kesatuan
umat, harus dijaga keeratannya untuk meretas perbedaan orientasi dalam
pencapaian falah (kemenangan) di dunia dan akhirat kelak (QS. Al-Baqarah: 201).
Untuk terwujudnya
kemaslahatan sosial dan kebahagian dunia akhirat, maka ada panduanpanduan yang
harus ditempuh serta dipenuhi oleh semua pihak yang bersinergi. Di antaranya adalah
kaidah-kaidah hukum yang diatur oleh wahyu Allah kepada manusia dan hubungan sesamanya,
ini merupakan aturan yang bersifat mutlak.
Persyaratan
tersebut sangat fundamental untuk dijadikan pondasi regulasi dalam sebuah pranata.
Selain itu juga harus memenuhi kriteria maqasid syariah (tujuan yang
dikehendaki dalam mensyariatkan suatu hukum untuk kebaikan umat).
Dalam pandangan
ilmu sosial “wajib” diperkuat dan diimbangi juga oleh besarnya kelompok (size
of group), status dan peranan seseorang (individual role and status),
jaringan komunikasi (the web of communication), pimpinan dan suasana
kepemimpinan (leader and leadership situation), dan tugas kelompok (group
task).
Gambaran di atas
adalah bagian kecil dari upaya pemberdayaan potensi dan kompetensi individu
yang berkontribusi aktif dalam memenuhi kebutuhannya, yang bernaung pada suatu
pranata. Keberhasilan pemenuhan kebutuhan individu dalam sebuah entitas usaha adalah
suatu keniscayaan yang mereka capai.
Selayaknya harus
menjadikan itu sebagai wahana ibadah yang diakhiri dengan tawakal kepada sang
khalik, karena Allah akan melihat proses yang kita upayakan. Percayalah bahwa Allah
juga yang memberikan porsi rezeki berbeda yang kita terima. “Allah meluaskan
rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia Kehendaki. Mereka bergembira
dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia (dibanding dengan) kehidupan
akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar Ra’du: 26).
Orang bijak
berkata: Jika engkau miskin bersyukurlah karena engkau akan sedikit mempertanggungjawabkan
hartamu, jika engkau kaya bersyukurlah karena engkau mempunyai banyak
kesempatan beramal, apapun yang terkadang kita anggap kekurangan sesungguhnya itu
rahmat jika kita mensyukurinya, apabila yang kita anggap nikmat bisa jadi adzab
jika kita tidak mensyukurinya (QS. Ibrahim: 7), wallahu a’lam.
Majalah Al
Falah Edisi Oktober 2014
Artikel Terkait
UU JAMINAN PRODUK HALAL BELUM OPTIMAL | YDSF
YDSF Buat Warung Sedekah, Siapapun Bisa Mampir Makan Gratis
KEJAR BERKAH, RUTIN SEDEKAH | YDSF
Dahsyatnya Makna Kata “Insya Allah” | YDSF
ZAKAT, DIBERIKAN KE TETANGGA ATAU LEMBAGA? | YDSF
Bolehkah Zakat Maal dalam Bentuk Barang? | YDSF
6 AMALAN PEMBUKA REZEKI | YDSF
Pemberdayaan Ternak Domba & Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)