Baru-baru ini, masyarakat
kita sempat dibuat galau dengan adanya produk minuman baru (dari luar negeri)
yang status kehalalannya diragukan. Memang, produk tersebut telah mengantongi
izin halal dari negara asalnya. Namun, bagi sebagian besar masyarakat kita masih
merasa kurang sreg bila izin halal dari suatu produk belum dikeluarkan
dari pemerintah Indonesia. Alhamdulillah, kini produk tersebut telah
mendapatkan sertifikasi halal dari MUI.
Sebenarnya,
kita telah memiliki undang-undang yang mengatur jaminan produk halal dengan
terbitnya UU No. 33 tahun 2014. Pemerintah telah menetapkan komitmen sejak 17 Oktober 2019. Akan menjalankan undang-undang Jaminan Produk
Halal ini secara bertahap. Produk undang-undang ini juga mempunyai nuansa mewajibkan setiap produsen
pangan, obat, kosmetika dan bahan-bahan gunaan terkait produk untuk
disertifikasi halal. Subtansi UU ini tentu memberikan angin baik di masa datang
terkait ketersediaan produk halal yang semakin terjamin. Kita patut
mensyukurinya.
Namun
implementasi UU yang sudah berjalan beberapa bulan, belum memberikan kejelasan keefektifannya.
Berbagai persoalan belum jelas penyelesaiannya. Lembaga yang mendapat amanah
menangani, tampaknya belum siap. Akibatnya, beberapa pelaku usaha yang ingin mengurus
sertifikat halal kebingungan harus melakukan apa.
Di sisi lain
masih banyak juga konsumen dan produsen yang belum tahu ada kewajiban sertifikasi
karena sedikitnya sosialisasi. Maka banyak perusahaan seperti restoran-restoran
besar yang merasa aman tidak mengurus sertifikasi halal, tidak mempedulikan
konsumennya yang muslim.
Di tengah kondisi
seperti ini, sebenaranya yang paling penting adalah sikap konsumen muslim sendiri.
Sikap apa yang perlu dibangun, yaitu sikap yang terus konsisten dengan peduli
halal.
Rasulullah saw.
telah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah
jelas. Di antara yang halal dan yang haram ada hal-hal yang musytabihat
(samar), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa berhati-hati
dari perkara syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa
terjerumus kepada perkara subhat, maka ia terjerumus kepada yang haram, seperti
penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang,
hampir-hampir tak terhidarkan ia akan melanggar larangan itu.” (H.R. Muslim
no.2996)
Nabi Muhammad saw.
juga menyampaikan, “Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak
meragukanmu.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini
hasan shahih)
Sabda Rasulullah saw.
menegaskan agar kita semua berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat, hal yang
belum jelas halal dan haramnya. Ini menjadi landasan perlunya sikap peduli pada
halal. Ke mana pun dan di mana pun setiap akan mengkonsumsi sesuatu, halal
menjadi pertimbangannya.
Dalam hal ini
Rasulullah bersabda: “Mencari yang halal adalah wajib bagi setiap orang Islam.”
(HR al-Thabarani, dalam al-Ausath, dengan sanad hasan).
Baca juga:
Konsumsi Obat Berbahan Haram | YDSF
JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA | YDSF
Bersikap
Kritis
Ringkasnya, sikap
peduli halal membutuhkan kiat-kiat sederhana yang mudah diimplementasikan.
Sikap yang perlu diperankan oleh seorang muslim adalah: (1) kritis dalam menyikapi
produk-produk olahan, (2) teliti dalam berbelanja dengan cara selalu memperhatikan
aspek halal ketika bebelanja produk olahan, (3) berupaya menghindari dari yang
belum jelas identitasnya, (4) berproduksi yang menjamin kehalalan, dan (5)
selalu membaca basmalah sebelum mengkonsumsi.
Konsumen muslim
jangan abai atau kurang memperhatikan persoalan ini. Apalagi meremehkan,
mengentengkan masalah, menganggap tidak ada masalah, bahkan meledek orang-orang
yang berhati-hati dengan ungkapanungkapan yang mengecilkan.
Sungguh
menyedihkan menjumpai konsumen muslim yang masih memadati rumah makan, kedai, cafe
yang jelas-jelas menyediakan menu tidak halal. Contoh, makan dengan nyaman di
rumah makan yang jelas menjual menu babi seperti bacon steak, tapi juga menjual
menu lain semisal beef steak atau steak sapi.
Seolah tak ada
masalah. Padahal masalahnya serius. Babi adalah najis berat. Dengan ada menu mengandung
babi seperti ini, tidak ada jaminan dalam proses mencuci peralatan dan proses memasaknya
tidak tercampurkan. Meski memilih menu non-babi, tapi terkontaminasi babi.
Kenyataan ini
tidak disadari konsumen muslim karena tiada adanya sikap peduli halal.
Akibatnya ketika aturan tidak efektif berjalan, para pelaku usaha merasa
aman-aman saja saja. Mereka berujar, begini saja laku kenapa repot-repot
mengurus sertifikat halal yang malah mereka merasa tidak bebas.
Nah, inilah masalah kita selama ini. Implementasi peraturan tentang jaminan halal yang belum efektif perlu terus didorong dengan disuarakan ke publik, sehingga pemerintah selaku otoritas kebijakan akan tergerak. Tidak seperti sekarang, yang terkesan santai-santai saja ketika tidak bisa menjalankan amanahnya.
Zakat di YDSF
Artikel Terkait
Kisah Qarun dalam Al-Qur’an, Orang Kaya Binasa Tak Mau Zakat | YDSF
ZAKAT DARI UANG PESANGON PENSIUN | YDSF
Sejarah Datangnya Islam di Qatar | YDSF
FIDYAH DALAM ISLAM DAN KETENTUANNYA | YDSF
Kisah Mualaf, Musibah Membuatku Hijrah | YDSF
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT MAAL | YDSF
Kisah Abu Dahdah, Si Pemilik Kebun Kurma di Surga | YDSF