Pasar dalam Ekonomi Islam | YDSF

Pasar dalam Ekonomi Islam | YDSF

2 Februari 2023

Islam merupakan agama yang mampu mengatur segala aspek dalam kehidupan umatnya. Mulai dari urusan yang paling sederhana, hingga yang paling rumit. Dalam aspek ekonomi, pun diatur dalam Islam sesuai syariat. Termasuk kegiatan yang ada dalam bidang ekonomi, seperti kegiatan jual-beli di pasar.

Kekuasaan Islam dalam bidang ekonomi dimulai saat peristiwa hijrah Rasulullah saw. bersama para sahabat dan rombongannya yang pindah dari Makkah ke Madinah. Kala itu, usai membangun Masjid Nabawi sebagai pusat aktivitas umat muslim, Rasul segera membangun “Suqul Anshar” atau Pasar Anshar yang menjadi kegiatan ekonomi pertama dalam sejarah Islam.

Seiring menyebarnya Islam hingga ke negara-negara bagian Timur Tengah, Asia, Afrika, hingga Eropa, perekonomian Islam pun turut berkembang pesat. Bahkan, sistem ekonomi dalam Islam banyak diadopsi oleh para ilmuwan dari barat. (Agung Z.: 37)

Pasar pada Zaman Rasulullah saw.

Pada suatu hari, Rasulullah saw. berjalan melewati seseorang yang menjual setumpuk (biji-bijian) makanan. Beliau masukkan tangan beliau ke dalam timbunan tersebut, dan terasa basah. Maka beliaupun bertanya: "Apa ini, wahai penjual makanan?" "Kena hujan, ya Rasulullah," jawab penjual itu. "Mengapa tidak engkau letakkan di sebelah atas, agar orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu, maka dia bukan golonganku."

Demikian sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a., seperti yang dapat kita baca di Bulughul Maram (Kitabul Buyu', Bab Syuruthihi wa Maa Nuhiya 'Anhu). Dalam hadits tersebut, dapat kita baca bahwa Rasulullah saw. melakukan inspeksi (pemeriksaan) pasar.

Baca juga: Wakaf dalam Perspektif Mikro Ekonomi Islam | YDSF

Apabila beliau berjumpa dengan praktik jual-beli yang bertentangan dengan syariat, maka beliau akan meluruskannya. Beliau melakukan hal itu, baik dalam kedudukan beliau sebagai Nabi, maupun sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Perkara Rasulullah berjalan di pasar ini pernah diolok oleh orang-orang kafir, seperti yang terbaca di dalam Al-Qur'an, surah Al-Furqan ayat 7, sebagai berikut:

Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan Bersama-sama dengan dia?.

Menurut jalan berfikir mereka, seorang rasul itu tidak pantas makan serta berada di pasar seperti orang biasa. Tetapi bukan demikian itu konsep Allah swt. tentang kerasulan. Menurut-Nya, seorang rasul adalah manusia biasa yang merasai manis pahitnya berjuang bersama dengan para pengikutnya. Sebagai seorang manusia biasa, maka tentu saja rasul itu makan pula serta berbelanja di pasar. Ini disampaikan oleh Allah sendiri, di dalam Surah Al-Furqan ayat 20:

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.

Dengan kata lain, makan serta berjalan di pasar itu bukan aib bagi seorang utusan Allah. Dalam hubungannya dengan Rasulullah saw., kegiatan memasuki pasar dan melakukan inspeksi di dalamnya itu justru menegaskan berlakuknya salah satu ajaran Islam mengenai peran pemerintah di dalam persoalan ekonomi.

Kegiatan meluruskan kegiatan ekonomi itu selanjutnya diformalkan oleh Khalifah Umar r.a. dengan cara mendirikan sebuah lembaga 'mahkamah pasar' yang diberi nama Al-Hisbah. Dalam perkembangan selanjutnya, Ibnu Taimiyah yang melihat fungsi pasar semakin berkembang dan, seiring dengan itu, corak kegiatan ekonomi masyarakat pun semakin meluas pula. Hingga dirumuskanlah keberadaan Lembaga Hisbah, dari kedudukannya, fungsinya, serta tanggung jawabnya.

Seorang muhtasib (kepala Al-Hisbah) bertugas, antara lain, menjaga agar shalat wajib dilaksanakan dan tidak diganggu oleh kegiatan pasar, serta melakukan inspeksi rutin agar tidak terjadi kecurangan maupun penyimpangan di dalam praktik bisnis.

Baca juga: Menghadapi Resesi Ekonomi| YDSF

 Mekanisme Pasar dalam Islam

Pada dasarnya, Islam menggariskan bahwa pasar harus berjalan bebas sesuai dengan mekanisme pasar. Harga, upah, sewa maupun suasana persaingan dan sebagainya harus terbentuk secara alami di pasar, tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Rasulullah saw. dalam hadits berikut ini:

Pernah harga naik di Madinah di zaman Rasulullah saw. Orang banyak pun berkata: "Ya Rasulullah, telah naik harga. Oleh karena itu, tetapkanlah harga bagi kami." Rasulullah saw. (menolak permintaan itu dengan) bersabda:

"Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan, yang melepas, yang memberi rizqi, dan sungguh aku berharap bertemu Allah (nanti) dalam keadaan tidak seorangpun diri kalian menuntut aku lantaran (aku) menzalimi jiwa maupun harta." (Diriwayatkan oleh Lima kecuali Nasa'i, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dari Anas bin Malik).

Terlihat di dalam hadits di atas, betapa seakan-akan Rasulullah ingin pasar harus berjalan alami. Campur tangan pemerintah justru merupakan kezaliman. Ini sejalan dengan ketentuan Allah di dalam surah An-Nisa' 29-30:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Perkataan 'suka-sama-suka' ('an taradlin) itu, dalam tataran individu, memang berarti suka-sama-suka. Dalam tataran teori, itu bermakna permintaan sama dengan penawaran, sedang dalam tataran sistem ekonomi, ungkapan tersebut bermakna perekonomian bebas. Tidak ada campur tangan pemerintah dalam lapangan ekonomi.

Dalam hal ini, pemerintah baru wajib turun tangan jika terjadi sesuatu yang dapat merusak keadaan alami tersebut, seperti penipuan, penimbunan, pemalsuan ukuran, timbangan dan takaran, riba, beredarnya barang-barang maupun kegiatan haram dan sebagainya, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang tertera di dalam hadits di awal tulisan ini.

Di zaman modern sekarang ini, pasar telah menjadi semakin luas lagi, yakni terdapat pasar produk, pasar input, pasar uang dan pasar modal. Keempatnya nyata ada di masyarakat, dan Islam telah dibekali dengan dasar yang kuat untuk menjawab semua persoalan yang timbul di dalamnya.

Allahu a'lamu bi sh-shawaabi.

 

Sumber: Majalah Al Falah Edisi Oktober 2013

 

Mudah Berbagi Kebaikan:


 

Artikel Terkait:

Peradaban Islam di Spanyol vs. Ukraina | YDSF
Menghargai Waktu, Resep Kejayaan Peradaban | YDSF
Merajut Kebersamaan Keluarga Membingkai Peradaban | YDSF
Zakat Perdagangan | YDSF
Hukum Lelang dan Jual Beli Wakaf dalam Islam | YDSF
Setelah Menjual Tanah, Apakah Wajib Zakat? | YDSF
Jual Beli Kucing dalam Islam | YDSF


Riyadhus Shalihin Bab Taubat (BAGIAN 2) | Ustadz Isa Saleh Kuddeh



Tags: ekonomi Islam, pasar Islam, perekonomian Islam

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: