Islam merupakan
agama yang mampu mengatur segala aspek dalam kehidupan umatnya. Mulai dari
urusan yang paling sederhana, hingga yang paling rumit. Dalam aspek ekonomi,
pun diatur dalam Islam sesuai syariat. Termasuk kegiatan yang ada dalam
bidang ekonomi, seperti kegiatan jual-beli di pasar.
Kekuasaan Islam dalam
bidang ekonomi dimulai saat peristiwa hijrah Rasulullah saw. bersama para
sahabat dan rombongannya yang pindah dari Makkah ke Madinah. Kala itu, usai
membangun Masjid Nabawi sebagai pusat aktivitas umat muslim, Rasul segera
membangun “Suqul Anshar” atau Pasar Anshar yang menjadi kegiatan ekonomi
pertama dalam sejarah Islam.
Seiring menyebarnya
Islam hingga ke negara-negara bagian Timur Tengah, Asia, Afrika, hingga Eropa, perekonomian
Islam pun turut berkembang pesat. Bahkan, sistem ekonomi dalam Islam banyak diadopsi oleh para ilmuwan dari barat. (Agung Z.: 37)
Pasar pada Zaman Rasulullah
saw.
Pada suatu hari, Rasulullah saw. berjalan melewati seseorang
yang menjual setumpuk (biji-bijian)
makanan. Beliau masukkan tangan beliau ke dalam timbunan tersebut, dan terasa
basah. Maka beliaupun bertanya: "Apa ini, wahai penjual makanan?"
"Kena hujan, ya Rasulullah," jawab penjual itu. "Mengapa tidak
engkau letakkan di sebelah atas, agar orang dapat melihatnya? Barangsiapa
menipu, maka dia bukan golonganku."
Demikian sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Abu Hurairah r.a., seperti yang dapat kita baca di Bulughul Maram
(Kitabul Buyu', Bab Syuruthihi wa Maa Nuhiya 'Anhu). Dalam hadits tersebut, dapat kita baca bahwa Rasulullah
saw. melakukan inspeksi (pemeriksaan)
pasar.
Baca juga: Wakaf dalam Perspektif Mikro Ekonomi Islam | YDSF
Apabila beliau
berjumpa dengan praktik jual-beli
yang bertentangan dengan syariat, maka beliau akan meluruskannya.
Beliau melakukan hal itu,
baik dalam kedudukan beliau sebagai Nabi, maupun sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan.
Perkara Rasulullah berjalan di pasar ini pernah diolok oleh
orang-orang kafir, seperti
yang terbaca di dalam Al-Qur'an, surah Al-Furqan ayat 7, sebagai berikut:
“Dan
mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat
itu memberikan peringatan Bersama-sama dengan dia?.”
Menurut jalan berfikir mereka, seorang rasul itu tidak
pantas makan serta berada di pasar seperti orang biasa. Tetapi bukan demikian
itu konsep Allah swt. tentang kerasulan. Menurut-Nya, seorang rasul adalah
manusia biasa yang merasai manis pahitnya
berjuang bersama dengan para pengikutnya.
Sebagai seorang manusia biasa, maka tentu saja rasul itu makan pula serta
berbelanja di pasar. Ini disampaikan oleh Allah sendiri, di dalam Surah
Al-Furqan ayat 20:
“Dan
Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti
memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu
sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha
Melihat.”
Dengan kata lain, makan serta berjalan di pasar itu bukan
aib bagi seorang utusan
Allah. Dalam hubungannya dengan Rasulullah saw., kegiatan memasuki pasar dan
melakukan inspeksi di dalamnya itu justru menegaskan berlakuknya salah satu
ajaran Islam mengenai peran pemerintah di dalam persoalan ekonomi.
Kegiatan meluruskan kegiatan ekonomi itu selanjutnya
diformalkan oleh Khalifah Umar r.a. dengan cara mendirikan sebuah lembaga
'mahkamah pasar' yang diberi nama Al-Hisbah. Dalam perkembangan selanjutnya,
Ibnu Taimiyah yang melihat fungsi pasar semakin berkembang dan, seiring dengan
itu, corak kegiatan ekonomi masyarakat pun semakin meluas pula. Hingga dirumuskanlah keberadaan Lembaga
Hisbah, dari kedudukannya,
fungsinya, serta tanggung jawabnya.
Seorang muhtasib (kepala Al-Hisbah) bertugas, antara lain,
menjaga agar shalat wajib dilaksanakan dan tidak diganggu oleh kegiatan pasar,
serta melakukan inspeksi rutin agar tidak terjadi kecurangan maupun
penyimpangan di dalam praktik
bisnis.
Baca juga: Menghadapi Resesi Ekonomi| YDSF
Mekanisme Pasar dalam Islam
Pada dasarnya, Islam menggariskan bahwa pasar harus berjalan
bebas sesuai dengan mekanisme pasar. Harga, upah, sewa maupun suasana
persaingan dan sebagainya harus terbentuk secara alami di pasar, tanpa campur
tangan pemerintah. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Rasulullah saw. dalam hadits
berikut ini:
Pernah harga naik di Madinah di zaman Rasulullah saw. Orang
banyak pun berkata: "Ya
Rasulullah, telah naik harga. Oleh karena itu, tetapkanlah harga bagi
kami." Rasulullah saw. (menolak permintaan itu dengan) bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan,
yang melepas, yang memberi rizqi, dan sungguh aku berharap bertemu Allah
(nanti) dalam keadaan tidak seorangpun diri kalian menuntut aku lantaran (aku)
menzalimi jiwa maupun harta." (Diriwayatkan oleh Lima kecuali Nasa'i,
dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dari Anas bin Malik).
Terlihat di dalam hadits di atas, betapa seakan-akan
Rasulullah ingin pasar harus berjalan
alami. Campur tangan pemerintah justru merupakan kezaliman. Ini sejalan dengan
ketentuan Allah di dalam surah An-Nisa' 29-30:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka-sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Perkataan 'suka-sama-suka' ('an taradlin) itu, dalam
tataran individu, memang berarti suka-sama-suka. Dalam tataran teori, itu
bermakna permintaan sama dengan penawaran, sedang dalam tataran sistem ekonomi,
ungkapan tersebut bermakna perekonomian bebas. Tidak ada campur tangan
pemerintah dalam lapangan ekonomi.
Dalam hal ini, pemerintah
baru wajib turun tangan jika terjadi sesuatu yang dapat merusak keadaan alami
tersebut, seperti penipuan, penimbunan, pemalsuan ukuran, timbangan dan
takaran, riba, beredarnya barang-barang maupun kegiatan haram dan sebagainya,
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang tertera di dalam hadits di
awal tulisan ini.
Di zaman modern sekarang ini, pasar telah menjadi semakin
luas lagi, yakni terdapat pasar produk, pasar input, pasar uang dan pasar
modal. Keempatnya nyata ada di masyarakat, dan Islam telah dibekali dengan
dasar yang kuat untuk menjawab semua persoalan yang timbul di dalamnya.
Allahu a'lamu bi sh-shawaabi.
Sumber:
Majalah Al Falah Edisi Oktober 2013
Mudah Berbagi Kebaikan:
Artikel Terkait:
Peradaban Islam di Spanyol vs. Ukraina | YDSF
Menghargai Waktu, Resep Kejayaan Peradaban | YDSF
Merajut Kebersamaan Keluarga Membingkai Peradaban | YDSF
Zakat Perdagangan | YDSF
Hukum Lelang dan Jual Beli Wakaf dalam Islam | YDSF
Setelah Menjual Tanah, Apakah Wajib Zakat? | YDSF
Jual Beli Kucing dalam Islam | YDSF
Riyadhus Shalihin Bab Taubat (BAGIAN 2) | Ustadz Isa Saleh Kuddeh