Terdapat beberapa jenis penunaian qurban, seperti qurban hadyu
dan qurban udhiyah. Dari dua jenis ini memiliki perbedaan dalam penunaiannya.
Qurban dari kata “qaruba”
berarti pendekatan diri kepada Allah Swt. dengan sedekat-dekatnya dengan media penyembelihan
ternak qurban. Ternak qurbannya pun sudah ditentukan. Unta dan sejenisnya, sapi
dan sejenisnya atau kambing dan sejenisnya. Maka tidak boleh digantikan dengan
ternak-ternak lainnya, seperti kelinci, ayam, atau bebek.
Sejarah awalnya adalah meneladani kisah penyembelihan Ibrahim
terhadap putranya yang akhirnya digantikan dengan seekor kambing. Sejak itulah
semua yang menunaikan ibadah haji disyariatkan untuk menyembelih qurban
walaupun jenis syariatnya disesuaikan dengan jenis manasik hajinya. Ada yang
diwajibkan dan apa pula yang disunahkan.
Kebahagiaan berhari raya tentunya bukan hanya untuk mereka yang
sedang menikmati ibadah haji. Kita pun yang sedang tidak menunaikan manasik
haji dapat merayakannya dengan ditandai shalat hari raya dan penyembelihan
qurban.
Sesuai dengan definisinya, maka dalam menyembelih qurban ada
aturan dan etikanya. Walaupun antara qurban hadyu (syukuran sukses menjalani
ibadah haji) atau qurban udhiyah (perayaan kebersamaan di hari raya Adha)
terdapat beberapa perbedaan.
Misalnya, tempat penyembelihannya. Qurban hadyu harus
disembelih di manhar (tempat penyembelihan), dan seluruh area Mina layak
dijadikan tempat penyembelihan qurban Hadyu. Sementara itu, penyembelihan qurban
Udhiyah dapat disembelih di mana saja. Maka tidak diperkenankan orang yang telah
sukses ibadah haji lalu menyuruh keluarganya di Indonesia untuk menyembelih
qurban Hadyunya di Indonesia.
Distribusinya pun berbeda. Qurban hadyu diperuntukkan khusus
orang-orang miskin. Dalam bahasa syariat diperuntukkan al-qani’ wal mu’tar (orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin
yang tidak meminta-minta). Maka untuk qurban udhiyah siapa saja boleh
menikmatinya, orang-orang kaya maupun orang[1]orang
miskin. Memang tidak salah jika diprioritaskan untuk yang membutuhkannya.
Sisi mukalafnya (orang yang diperintahkan) pun berbeda. Jika
qurban Hadyu pada setiap individu, namun untuk qurban udhiyah adalah untuk
kolektif (keluarga).
Demikian pula sisi hukumnya, untuk qurban hadyu bergantung
pada jenis manasik hajinya, dan untuk qurban udhiyah, pendapat yang rajih
adalah sunah. Dengan demikian keduanya tidak mungkin dianalogikan. Masih-masing
jenis qurban memiliki etika berbeda. Jadi sungguh mulia bagi mereka yang
memahami setiap hadits secara proporsional.
Sedemikian pula hikmahnya. Serasa kita dibimbing merajut
kebersamaan. Berbagi kebahagiaan kepada keluarga, kerabat, serta fakir miskin.
Tidak ada yang membedakan status kita kecuali pada aspek ketakwaan.
Sungguh kepedulian sosial kita sangat menentukan harga diri
kita. Sejauh mana kita telah peduli kepada sanak saudara, tetangga, kerabat, kaum
papa, dan umat muslim seluruhnya.
Status kemuliaan manusia bukan diukur kekayaan, kedudukan,
atau keilmuannya, melainkan diukur sebesar apa pengorbanan kita dalam
berinteraksi sosial. Semakin besar pengorbanan kita, dalam hal ini harta yang
kita keluarkan, semakin mulia pula kita di sisi Allah.
Pesan Nabi, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak
mendatangkan manfaat bagi temannya.
(Majalah Al Falah Edisi Juli 2021)
Qurban di YDSF:
Artikel Terkait:
HADITS
PALSU: SETIAP BULU HEWAN QURBAN ADA KEBAIKAN | YDSF
Batas
Istiqomah Menjadi Sebuah Karakter | YDSF
WAKTU
TERBAIK TERKABULNYA DOA | YDSF
Pintu
Dosa di Era Digital | YDSF
PENGORBANAN NABI ISMAIL AS. DALAM IBADAH QURBAN | YDSF