Suku Quraish tidak menyangka. Setelah sekian lama, Rasulullah akhirnya kembali ke Mekkah dan berhasil menaklukkan pasukan Quraish. Para penduduk Mekkah itu juga tidak menyangka, Rasulullah memaafkan semua orang Quraish tanpa terkecuali. Rasulullah menyerukan perdamaian di Tanah Suci itu.
Suasana saat itu digambarkan begitu menegangkan, mengharukan, sekaligus membanggakan. Pada hari itu, tepatnya dua puluh Ramadhan, Rasulullah dengan sepuluh ribu anggota pasukan berhasil menaklukkan suku Quraish tanpa perlawanan berarti.
Seorang pembesar Quraish yang baru masuk Islam; Abu Sufyan bercerita. “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?” Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar. ” Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.” Bukan hanya senjata saja yang membuat pasukan muslim ditakuti, tetapai ada perisai kewibawaan ‘nubuwwah’.
Dilihat kekuatan tentara, sepertinya akan terjadi penebusan nyawa orang Quraish yang selama ini tidak pernah punya rasa belas kasihan terhadap kaum muslimin. Hal ini terlihat dari ucapan Sa`ad bin Ubadah. Dengan bendera Anshar di tangannya, dia berteriak lantang kepada Abu Sufyan dan Ibn Abbas. “Hari ini adalah hari pembantaian (yamul malhamah). Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraish!” Sekilas tidak ada masalah dari redaksi kata-kata ini. Redaksi semangat berjihad membela Islam.
Namun, benarkah demikian!? Ada sahabat yang menyampaikan, ungkapan Sa`ad ini dikhawatirkan bisa menghilangkan cahaya jihad. Karena ‘perang’ adalah wasilah untuk mengantarkan tujuan ‘bersyahadat’. Khusus, edisi ini ternyata Rasulullah menjelaskan tujuan besar di balik pergerakan ini. Hari itu bukanlah hari peperangan, atau membalas dendam kepada suku Quraish. Tetapi sebaliknya.
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Kakbah dan dimuliakannya Quraish oleh Allah.” Sebuah kata-kata yang tidak dinyana oleh para sahabat.
Bagaimana mungkin Quraish dimuliakan Allah? Pertanyaan ini dijawab surat an-Nashr. Mereka akan berbondong-bondong masuk Islam ‘afwaja’. Imam Nawawi dalam Tafsir Marah Labid menyatakan bahwa orang Arab yang masuk Islam bukan hanya dari Mekkah, melainkan dari daerah Thaif, Yaman, Hawazin dan beberapa daerah lain.
Selama ini banyak yang masih menyembunyikan keimanan mereka kerena Islam belum benar-benar mendapatkan kemenangan. Kemenangan itu juga tidak ditunjukkan dengan membumi hanguskan wilayah yang dikalahkan, apalagi merusak tempat yang diagungkan. Yang dihancurkan hanya berhala-berhala, bukan ka`bahnya.
Pertama, semangat memaafkan dalam bingkai rekonsiliasi. Penulis ‘Rakhiq Makhtum’ menyebutkan percakapan beliau dengan Suku Quraasih. “Wahai orang Quraish, apa yang akan saya lalukan kepada kalian?” Mereka menjawab, “Belas kasihanilah kami’, kita sebagai bersaudara, sebagai engkau adalah keponakan kami”.
Kata-kata seperti ini biasa muncul dari pihak yang sudah kalah, terjepit, dan tidak berdaya. Mereka kembali menyebutkan pertalian darah antara Rasulullah dengan mereka. Sebagai kepala Negara yang penduduknya selama ini diperlakukan dengan kejam, biasanya musuhnya akan dihabisi, setidaknya menjadi tawanan atau budak.
Namun kenyataan lain. Sikap Rasulullah Saw kepada suku Quraish sama dengan sikap Nabi Yusuf kepada saudaranya ketika sampai ke Mesir. “Saya akan berkata seperti apa yang dikatakan Yusuf kepada saudaranya: la tatsriba alaikum al-yaum’. Pada hari ini tidak cercaan atas kamu’ (Yusuf; 92). Pergilah sekarang engkau bebas”. Inilah akhlak kenabian.
Kisah itu menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang negarawan sejati. Sikap memaafkan adalah rekonsiliasi tingkat tinggi. Tidak mencaci dan tidak menumpahkan darah adalah kemenangan sejati. Ini menunjukkan persatuan antar penduduk Mekkah dan Madinah berada di atas kepentingan kelompok. Bahkan, di atas egoisme pribadi.
Ketiga, semangat menyambung silaturrakhim. Peristiwa fathu makkah menjadi saksi bersatunya kembali dua keluarga yang sekian lama terpisahkan. Tentu sebagian sahabat yang berada di dalam pasukan merasa was-was karena yang mereka lawan adalah keluarga sendiri. Ada paman, kakak, adik, bahkan ayah. Inilah yang dirasakan oleh sahabat Hatib bin Abi Balta’ah. Secara diam- diam dia mengirimkan surat rahasia kepada keluarganya di Makkah, namun surat itu keburu diketahi Rasulullah.
Sahabat Umar geram dan ingin memenggal kepalanya, namun Rasul meminta penjelasanya. Hatib bin Abi Balta’ah menjawab bahwa dia masih dalam kondisi beriman kepada Allah dan RasulNya, tidak murtad atau tidak mengubah agama. Hanya saja Hatib dahulu adalah orang yang tidak punya apa-apa dan menjadi anak angkat salah satu keluarga Quraisy.
“Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.” Walaupun salah, Rasul memaklumi alasan ini.
Fakta lain, Rasulullah menyampaikan khutbah kemenangan. Ayat yang dibaca bukanlah ayat perang tetapi ayat yang berisi semangat menjalin persaudaraan. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…” Mengenal.” (Qs. al-Hujuraat: 13) ***
Naskah: Moh. Isom Mudin
Sumber Majalah Al Falah Edisi Juni 2019
Editor: Nara
Baca juga:
ISTIQOMAH DI JALAN PEDANG | YDSF
Kisah Keluarga Teladan dalam Al Quran | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Meneladani Cara Nabi Mengatasi Konflik | YDSF
Kisah Kaum Terdahulu yang Dibinasakan Allah | YDSF