Cardivoe (1868-1925), orientalis alumnus Lembaga Katolik Paris pernah menyanjung Nabi Muhammad saw. Menurutnya, kedatangan Muhammad saw. di tengah-tengah bangsa Arab menjadi pemersatu dan memperbaiki tradisi jahiliyah (Khalil Yasien, Muhammad di Mata Cendikiawan Barat, 141). Kehadirannya sebagai figur pemersatu ini terlihat jelas dari cara beliau mengatasi konflik.
Pada 605 Masehi (17 tahun sebelum Hijrah), kondisi Mekah begitu memanas. Beberapa suku yang tadinya bersatu dalam merenovasi Ka’bah yang rusak akibat banjir, tiba-tiba berseteru mengenai peletakan Hajar Aswad, karena merasa paling berhak.
Untunglah Abu Umayyah bin Mughirah, sesepuh bijak menyarankan solusi brilian. Siapapun yang pertama kali masuk ke pintu Ka’bah, dialah yang berhak meletakkannya. Waktu itu, Muhammad saw. yang melewatinya. Mereka pun akhirnya ridha (Khudari, 1425: 17).
Konflik itu segera diredam Muhammad saw. Digelarlah selendang milik beliau kemudian Hajar Aswad diletakkan di tengahnya. Masing-masing perwakilan dari kabilah yang nyaris berseteru selama empat malam itu, disinergikan dengan cara memegang pinggir selendang kemudian bersama-sama mengangkatnya,setelah mendekati lokasi, barulah Nabi saw. meletakkannya. Mereka pun puas, dengan solusi Al Amin ini.
Nabi Mengatasi Konflik pada pertempuran Bani Musthaliq
Kisah lain yang tidak kalah menarik adalah apa yang diceritakam Jabir bin Abdullah, pada pertempuran Bani Musthaliq. Saat itu, ada seorang Muhajirin mendorong badan sahabat dari Anshar dalam sebuah antrian. Kondisi ini berbuntut konflik tajam yang didasarkan pada fanatisme golongan. Kedua golongan akhirnya memanggil anggota dari golongan masing-masing. Ketika Nabi saw. mendengar konflik tersebut, beliau segera meredamnya dengan menegaskan bahwa hal itu adalah propaganda buruk jahiliyah (HR. Bukhari), seketika mereka insaf dan menyadari kesalahannya.
Ada pula kisah serupa, pernah Syas bin Qais (sesepuh Yahudi) mengadu domba suku Aus dan Khazraj (warga asli Madinah sebelum Islam) dengan cara mengingatkan kembali konflik mereka di Perang Buats. Nabi saw. segera meredam konflik tersebut sembari mengingatkan agar tidak terprovokasi dengan propaganda jahiliyah. Mereka pun pada akhirnya sadar sembari menangis dan saling berpelukan (Shallabi, al-Sirah al-Nabawiyah, II/10).
Pada 627 Masehi (5 H), mayoritas sahabat Nabi gusar menyikapi keputusan Rasulullah saw. yang menerima perjanjian yang sarat kezaliman, Hudaibiyah. Sahabat sekaliber Umar pun sempat protes keras. Karena sebelumnya, melalui mimpi, Rasulullah saw. diberi tahu akan mendapat kemenangan besar.
Kondisi begitu pelik, Nabi saw. tetap menerima perjanjian ini dengan pertimbangan matang dan progresif. Ternyata, keputusan ini berdampak kepada ketaatan sahabat. Saat Nabi saw. memerintahkan mereka untuk menyembelih kurban sebagai ganti karena gagal umrah, mereka tak bergeming, masih larut dalam kesedihan.
Melihat suasana demikian, beliau sejenak merenung mencari solusi terbaik. Ummu Salamah, istri Nabi saw. yang waktu itu ikut rombongan menyarankan solusi brilian.
“Langsung saja sembelih kurbannya, pasti mereka akan mengikutimu.” Saran ini diterima Rasulullah saw. dan segera mempraktikkannya dan mencukur rambutnya (As-Suhaili, 1421: VII/72).
Solusi ini benar-benar jitu. Sahabat yang tadinya larut dalam kesedihan, tersadar dengan praktik Nabi saw. ini. Contoh konkret Nabi saw. ini rupanya sangat ampuh dalam membuat mereka insaf. Akhirnya, satu per satu sahabat menyembelih kurban.
Peristiwa lain yang juga cukup representatif dalam menggambarkan cara Nabi saw. dalam mengatasi konflik adalah sebelum pembebasan kota Mekah (628 M/8 H). Ada kesalahan fatal yang dilakukan sahabat yang bernama Hatib bin Abi Balta’ah.
Ia mengirim surat kepada kerabatnya di Mekah membocorkan rencana Nabi yang ingin memberi pelajaran kepada penduduk Mekah yang melanggar Perjanjian Hudaibiyah. Rata-rata sahabat memvonisnya telah berkhianat dan pantas dihukum mati. Dengan sangat bijak Rasulullah saw. meredam konflik ini.
Problem ini diselesaikan Nabi saw. dengan sangat bijak yaitu melakukan penyelidikan serta klarifikasi dengan mengirim sahabat untuk menghadirkan perempuan yang mengirim surat. Memberi kesempatan kepada Hathib menyampaikan alasan dan pembelaan diri. Menerima permintaan maafnya. Tidak melupakan keutamaannya yang merupakan sabiqun awwalun dan turut serta dalam Perang Badar.
Ketika kaum Anshar ‘cemburu’ setelah kemenangan di pertempuran Thaif (628 M/8 H), sebagian sahabat Anshar yang telah berjuang dalam jihad ini merasa ‘kecewa’ dengan keputusan Rasulullah saw. terkait pembagian ghanimah (harta rampasan perang). Bahkan seorang munafik bernama Dzul Khuwaisirah meminta Rasul berbuat adil.
Supaya konflik tidak bertambah besar, akhirnya Rasulullah saw. memberi pencerahan. “Apa kalian tidak ridha mereka (para muallaf) mendapatkan harta rampasan perang, sedangkan kalian kembali kebersamaanku?” (HR. Bukhari, Tirmidzi).
Ungkapan ini membuat mata mereka berlinang. Kebersamaan Nabi saw. jauh lebih mahal dari nikmat materi. Dari kisah-kisah tersebut, ada lima poin yang menggambarkan kelihaian nabi dalam mengatasi konflik,
Pertama, mensinergikan umat
Kedua, menepis fanatisme jahiliyah antar golongan dan suku
Ketiga, mengingatkan dengan aksi nyata bukan sekadar kata
Keempat, memberi kesempatan orang salah untuk menjadi baik bukan mencaci maki
Kelima, menanamkan kembali orientasi akhirat dan mengingatkan bahaya cinta dunia
Wallahu a’lam.
Naskah: Mahmud Budi S.
Baca Juga:
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
Tingkatkan Semangat dan Nilai Berqurban | YDSF
Hikmah Pendidikan Dibalik Keyatiman Rasulullah | YDSF
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim | YDSF
Makna Qurban dalam Islam | YDSF
Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Menyambung Silahturahmi yang Terputus | YDSF
Hakikat dan Keutamaan Silaturahim
Membangun Kebersamaan dengan Silaturrahim | YDSF
Amalan Ringan Berpahala Besar | YDSF