Pandemi yang terjadi sudah berjalan lebih dari satu tahun. Dan kita semua merasakan efek domino
yang luar biasa di berbagai aspek
kehidupan. Salah satu dampaknya dirasakan secara psikologis, yakni kecemasan.
Tidak sedikit masyarakat yang mengalami
gangguan kecemasan selama masa pandemi. Hal
ini, tentu menjadi masalah kesehatan mental serius.
Di Inggris, kelompok spesialis kesehatan masyarakat memperingatkan
dalam British Medical Journal bahwa "dampak pandemi terhadap kesehatan
mental kemungkinan akan bertahan lebih lama daripada dampak kesehatan
fisik".
Pandemi ini selain mengakibatkan kecemasan juga menimbulkan
perilaku obsesif terhadap kuman. Selain itu juga menyebabkan perasaan khawatir berkepanjangan.
Bahkan, dapat memicu pikiran tidak rasional pada diri penyintas Covid – 19.
Belajar dari sejarah, pandemi dan bencana yang terjadi dapat mengakibatkan
dampak jangka panjang yang terjadi setelahnya. Tentunya, hal ini membuat para
psikolog merasa prihatin.
Karenanya, selain diperlukan strategi mencegah penyebaran
virus, perlu juga meminimalkan dampak negatif, yang menyebabkan gejala stres
pascatrauma atau posttraumatic stress
disorder (PTSD), depresi dan insomnia. Selain itu, kehilangan orang yang
dicintai, kehilangan pekerjaan dan kesulitan finansial selama penurunan ekonomi
global juga dapat dikaitkan dengan penurunan kesehatan mental yang berkepanjangan.
Masalah kesehatan mental yang potensial bertahan lama adalah
gangguan obsesif kompulsif atau obsessive
compulsive disorder (OCD). Bahkan, beberapa di antaranya akan menderita germafobia
kronis, kecuali jika mereka menerima perawatan kesehatan mental yang sesuai.
Baca juga: COVID – 19 PADA MANUSIA YANG TELAH MENINGGAL, APAKAH MENULAR? | YDSF
Pada beberapa orang, dapat mengalami kesepian kronis akibat
isolasi sosial yang lama, memunculkan perasaan hampa. Apalagi perasaan
tiba-tiba terjauhkan dari hubungan dekat saat menjaga jarak sosial,
dikhawatirkan sulit untuk membangunnya kembali. Yang lain sengaja menarik diri
dari dunia luar demi mendapatkan "rasa aman", hingga merasakan
resistensi untuk meningkatkan interaksi sosial.
Saat orang mengalami stres di dunia luar, mereka dapat
melepaskan diri dari dunia itu. Begitu mereka mengalami ketidakterikatan ini,
mungkin sulit untuk kembali keluar dan bersosialisasi dengan orang lain.
Sementara itu, stres akibat Covid-19 kemungkinan besar
berdampak secara mental lebih besar pada mereka yang memiliki pengalaman hidup
yang menyakitkan. Hingga dapat memicu ingatan trauma secara sadar dan tidak sadar,
yang bisa mempengaruhi yang bersangkutan. Bahkan, dapat membuka trauma yang
telah tertutup. Kondisi ini tentunya mengakibatkan terjadinya gangguan
kesehatan mental serius, seperti stres berkepanjangan dan gejala depresi.
Untuk itu, dibutuhkan pengendalian diri yang kuat serta supporting system yang baik dan
terintegrasi untuk memperkuat kondisi kesehatan mental. Biasanya, para
penyintas Covid-19 merasa sudah kehilangan harapan dan semangat untuk mengatasi
kondisi yang dialami. Karenanya, perlu terus melatih diri dalam memahami hikmah
atas takdir dan ketentuan Allah. Bahwa segala yang terjadi harus dimaknai
secara positif.
Selain itu, harus selalu husnudzan kepada Allah dan bersyukur
dalam menghadapi setiap nikmat dan ujian. Pemahaman tersebut menjadi ikhtiar untuk
menjaga kesehatan mental. Harus diyakini, setiap skenario Allah tentulah yang
terbaik.
Kita juga harus tetap memiliki optimistis karena Allah sudah
berjanji. "Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5-6).
Sumber: Majalah Al Falah Edisi Oktober 2021
Featured Image by Pexels.
Sedekah Penolak Musibah:
Artikel Terkait:
VITAMIN D PADA SINAR MATAHARI | YDSF
Huntara untuk Korban Bencana | YDSF
WAKTU TERBAIK UNTUK BERJEMUR | YDSF
Bolehkah Korban Bencana Menerima Zakat? | YDSF
AMANAH RUMAH WAKAF DARI SEPUPU YANG MENINGGAL | YDSF