Bulan Dzulhijjah sering kali identik menjadi waktu
terbaik menikah, namun apakah penyematan istilah tersebut tepat? Sedangkan
dalam Islam, bulan Dzulhijjah lebih populer dan identik dengan ibadah haji dan
qurban.
Bulan Dzulhijjah atau disebut bulan Besar oleh
orang jawa merupakan salah satu dari bulan haram. Secara keseluruhan, ada empat
bulan yang disebut dengan asyhurul hurum (bulan mulia) dalam Islam,
yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Disebut bulan haram,
lantaran diharamkan berbuat keji dan diharamkan melakukan perbuatan yang
dilarang (diharamkan). Haram pula untuk melakukan peperangan pada bulan
tersebut.
Sebagaimana firman Allah Swt., yang artinya, “Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36).
Dalam tradisi masyarakat kita, bulan
Dzulhijjah dipercaya sebagai bulan istimewa dengan banyaknya ritual keagamaan.
Bulan ini juga disebut dengan bulan haji dan bulan menikah. Meskipun tidak ada
waktu khusus dalam menikah, melangsungkan akad nikah pada bulan Dzulhijjah
sangatlah dianjurkan oleh orang terdahulu karena banyak keberkahan dari
momentum Dzulhijjah. Lantas, seperti apa pandangan Islam mengenai kepercayaan
Dzulhijjah sebagai bulan terbaik untuk menikah?
Dzuhijjah Sebagai Bulan Menikah dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, pernikahan merupakan akad terkuat
yang sifatnya luhur dan sakral. Orang yang telah siap lahir batin, baik secara
fisik, mental, maupun finansial, maka diwajibkan baginya untuk segera
melangsungkan pernikahan. Dari Uqbah bin Amir ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda, “Sebaik-baik pernikahan adalah yang dipermudah dan disegerakan.”
Walaupun demikian, banyak orang yang masih
menganggap bahwa pernikahan akan jauh lebih baik apabila dilakukan pada
bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Dzulhijjah. Padahal, tidak ada dasar atau
dalil yang menerangkan secara gamblang terkait waktu-waktu tertentu untuk
melakukan pernikahan. Justru, pernikahan tersebut hendaknya dilakukan dengan
segera apabila sudah tidak ada faktor apapun yang menghalangi niat baik dalam
rangka menyempurnakan separuh agama Allah Swt.
Baca juga: Perhitungan Weton Pernikahan, Tidak Cocok Menurut Islam | YDSFPada prinsipnya, tidak ada larangan menikah di
bulan tertentu dalam syariat Islam termasuk larangan melaksanakan pernikahan di
bulan Dzulhijjah. Kalau dilaksanakan di bulan Dzulhijjah adalah baik, karena
bulan tersebut termasuk salah satu dari empat bulan yang haram dalam Islam yang
memiliki banyak keistimewaan. Namun demikian, bukan berarti bulan-bulan lain
dilarang atau tidak diperbolehkan untuk menikah.
Rasulullah saw. menikahi Aisyah r.a. pada
bulan Syawal. Ketika itu, orang-orang menganggap menikah pada bulan syawal
dapat mendatangkan kesialan, untuk menepis kepercayaan itu, Rasulullah saw.
menikahi Aisyah pada bulan Syawal.
Walaupun demikian, seseorang yang tidak mau
melangsungkan pernikahan di bulan tertentu dan memilih waktu yang menurutnya
tepat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku tidaklah sepenuhnya salah. Asalkan,
keyakinannya tetap bertumpu pada kepercayaan bahwa yang memberi pengaruh baik
atau buruk adalah Allah Swt. Perihal hari, tanggal dan bulan tertentu itu hanya
diperlakukan sebagai adat dan kebiasaan yang diketahui oleh manusia,
terkhususnya masyarakat yang menganut pemahaman dan kepercayaan dari adat-adat
terdahulu.
Dijelaskan pula dalam Kitab Ghayatu Talkhishi
Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, menyebutkan:
“Apabila seorang bertanya kepada orang lain,
apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah
rumah? Maka tidak perlu dijawab, sebab syariat melarang meyakini hal yang
demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Dari Imam Syafi’i
Ibnul Farkah menyebutkan apabila ahli nujum berkata dan meyakini yang
memengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi di
hari tersebut sedangkan yang memengaruhi adalah Allah, maka hal ini menurut
Imam Syafi’i Ibnul Barkah tidaklah apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini
bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk.” (berbagai sumber).
Wakaf di YDSF
Artikel Terkait
Jenis
Cinta dalam Islam Menurut Ibnu Qayyim | YDSF
Perbedaan Zakat, Sedekah, dan Wakaf l
YDSF
Kecelakaan Tidak Sesuai Doa Sapu Jagad l
YDSF
Mata Memerah, Pesantren Pamekasan Butuh
Air Bersih l YDSF
Bolehkah Zakat Maal Ditunaikan Setiap
Bulan l YDSF

