Berbagai penyakit
kulit hingga mata memerah hantui para santri di Ponpes Babus Salam Pamekasan
akibat kondisi air yang tidak higienis. Dilaporkan, setidaknya ada 120 santri
yang mengalami kondisi tersebut.
Ada yang
berspekulasi bahwa mata merah diidap santri hasil tular-menular penyakit kulit
yang kerap melanda. Seperti halnya penyakit gatal (kudis, disebut juga scabies
atau gudik). Saking lumrahnya terjadi, hingga muncul anggapan nek durung
gudiken, durung berkah mondoke.
Anggapan
menganggap wajar sebaran penyakit tersebut, diluruskan oleh Achmad Syafiuddin,
S.Si., M.Phil., Ph.D. “Bahwa ini penyakit, bukan berkah,” tegas dosen Program
Studi S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) ini.
Lantas apa
yang menyebabkan ratusan santri bermata merah?
Lebih
lanjut, pria yang juga merupakan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) UNUSA ini, menerangkan bahwa itu disebabkan air.
Air yang
berasal dari sumur di pondok terlihat sangat keruh. Pasalnya, letak sumur hanya
berjarak 3 meter saja dari lokasi septic tank. Padahal, jika mengacu pada
rekomendasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jarak sumber mata air dan
septic tank sekurang-kurangnya berjarak 10 meter.
Pengasuh
pondok juga mengakui secara gamblang, kalau masalah di pesantrennya akibat air.
Dan itu sudah menjadi kendala bertahun-tahun yang tak kunjung teratasi.
Pesantren Bersemi
Berangkat
dari keprihatinan atas kondisi tersebut, YDSF bekerja sama dengan Unusa.
Program ini menjadi wujud ikhtiar menyediakan air bersih yang berkelanjutan.
Unusa sendiri menjadi pusat implementasi penyediaan air bersih di pesantren
seluruh Indonesia.
Melalui Center
for Environment Health of Pesantren, Achmad Syafiuddin menggagas konsep
Program Pesantren bersih, sehat, dan mandiri (bersemi). Harapan yang ingin
diwujudkan adalah mewujudkan transformasi dari pesantren tradisional menjadi
Pesantran bersemi.
Hal itu,
memerlukan 4 tahapan. Yakni, penyediaan air bersih, penyediaan sarana yang
layak, perubahan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan manajemen air
bersih, serta terciptanya pesantrenpreneur.
Tentang
kondisi yang terjadi di pondok, Syafiuddin menjabarkan, bahwa kontaminasi air
dengan bakteri sudah jelas. Galian tampungan tinja terserap, tercampur, dan
terdistribusi kembali melalui air sumur yang kemudian dimanfaatkan santri. Air
itu dipakai untuk keperluan sehari-hari mengandung polusi organik/inorganik dan
mikrobiologi berbahaya. Dan itu langsung dipakai tanpa melalui proses
pemurnian.
Syafiuddin
bersama tim riset telah mengembangkan teknologi bernama UNU Water. Alat
filtrasi pengubah air keruh menjadi air siap pakai.
Standar
kekeruhan atau turbiditas air ditetapkan antara 5-25 Nephelometric Turbidity
Unit (NTU). Sedangkan hasil uji laboratorium atas sumber air di Ponpes
Babus Salam menunjukkan 26,8 NTU. Itu artinya, sumber air itu sangat keruh,
yang disebabkan tingginya kandungan kadar total padatan terlarut (TDS) dan ion
logam seperti besi (Fe) dan lain-lain.
Lantaran tak ada pilihan lain, para santri tetap menggunakan air itu.
Baca juga: Peresmian Pesantren Wakaf Ihya Ul Qur’an Wonossalam Jombang | YDSF
Kolaborasi Pendampingan
Berkelanjutan
Sumber air
sebagai sumber penghidupan santri dijajal dengan teknologi terbarukan agar
tidak terinfeksi bakteri. Tidak menutup kemungkinan air dapat dikonsumsi
setelah dikembangkan lebih lanjut nanti.
“Karena
mungkin septic tank-nya tidak bisa dipindah, maka harus mencari sumber air baru
dengan mengebor,” ujar doktor kelahiran Madura ini.
Setelah
mendapatkan sumber mata air baru dari sumur bor, ternyata tingkat kekeruhannya
tidak jauh lebih baik. Kondisi tanah setempat yang identik berkapur dan dekat
dengan laut menjadi salah satu sebab. Namun temuan sumber baru setidaknya lolos
dari standar kekeruhan air untuk kebutuhan sanitasi, 21 NTU.
“Nah memang
dari awal kita desain untuk keperluan hygiene sanitation seperti mandi, nyuci
dan sebagainya,” tutur yang masuk dalam World's Top 2 % Scientists oleh
Stanford University dan Elsevier ini.
Menggunakan
metode filter dengan lapisan penyaringan, teknologi ini dirancang agar mudah
digunakan. Poin penting yang harus diingat sebelum menerapkan teknologi yang
dikembangkan, khususnya di pondok tradisional, di antaranya murah, baik bahan
baku dan maintenence teknologi.
Yang kedua
adalah mudah digunakan, dan ketiga bahan baku mudah ditemukan di lingkungan
sekitar. Bahan baku seperti arang yang mengandung karbon aktif dan pasir sungai
lokal berwarna putih dimanfaatkan lantaran mudah ditemui di sekitar Pondok
Pesantren Babus Salam.
Setelah
didapatkan sumber mata air yang baik, Kepala Divisi Pendayagunaan YDSF Imron
Wahyudi, menyebutkan ingin mengupayakan pembangunan sarana tempat mandi.
Setelah proses filtrasi air bersih berhasil, kebersihan dan kelayakan kamar
mandi perlu diperhatikan.
Hal penting
untuk menciptakan kesinambungan program adalah dengan pelatihan dan
pendampingan. YDSF bersama UNUSA berkolaborasi dan berbagi peran dengan
Universitas Islam Madura (UIM) untuk memberikan pendampingan terhadap Ponpes
Babus Salam.
Pendampingan
ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian Pesantren Babus Salam. Bahkan,
potensi untuk membuka usaha air minum kemasan juga terbuka. Asalkan, dilakukan
uji kelayakan terlebih dulu dan dibuat sistem penyaringan hingga air layak
minum.
Kisah ini
merupakan ikhtiar nyata YDSF dan UNUSA dalam menyediakan air bersih bagi Ponpes
Babus Salam di Pamekasan. Bismillah semakin banyak pondok pesantren tradisional
di Indonesia yang bisa kita bantu penyediaan air bersihnya.
Rasulullah
saw. pun bersabda, “Tidak ada sedekah, yang pahalanya lebih besar dari air.”
(HR. Al Baihaqi).
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Maret 2024
Sedekah Air Bersih di YDSF
Artikel Terkait:
ZAKAT DARI HASIL PANEN | YDSF
Ubah Wasiat Tanah Wakaf Jadi Rumah Kos | YDSF
KAAFAH MILAD KE-36 YDSF
Etika di Jalan dalam Islam, Berkendara dan Belalu Lintas yang Baik | YDSF
BOLEHKAH ZAKAT MAAL DITUNAIKAN SETIAP BULAN? | YDSF
Shalat Tahajud dan Rangkaian Shalat Malam saat Ramadhan | YDSF
Program YDSF | Air Bersih untuk 100 Pesantren di Indonesia