Vaksin menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 didefinisikan sebagai antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu. Tujuan pemberian vaksin untuk mencegah penyakit tertentu.
Mengikuti pengertian itu, pada dasarnya vaksin masuk dalam rumpun produk obat dalam arti luas. Sebagaimana penjelasan Howard C. Ansel dalam bukunya Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, obat adalah suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia dan hewan.
Dari perspektif halal haram, ketentuan obat pada manusia pada dasarnya sama seperti pada makanan dan minuman. Artinya ketika berobat, manusia juga diperintahkan mencari obat yang halal. Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, jangan berobat dengan yang haram. (HR Abu Dawud)
Penggunaan vaksin dapat dianalogkan dengan penggunaan obat. Vaksin pun seharusnya yang halal.
Baca juga: HALALKAH MAKANAN YANG MENGANDUNG RUM ATAU ESSENCE RUM? | YDSF
Fatwa MUI Nomor 04/2016 tentang Imunisasi menegaskan bahwa imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram.
Saat ini masyarakat dunia sedang menghadapi musibah pandemi Covid-19. Sampai saat ini pun belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkan. Sebagai penyakit yang ditimbulkan virus, salah satu yang diperkirakan efektif untuk menghadapinya adalah metode pencegahan dengan imunisasi menggunakan vaksin.
Persoalannya, kebijakan yang diambil pemerintah lebih memprioritaskan untuk membeli vaksin dari negara lain, dari pada melakukan riset sendiri untuk mengembangkan vaksin produk sendiri. Persoalan kedua, adalah seputar masalah kehalalan vaksin yang dinomorduakan. Padahal di Indonesia telah berlaku UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sebagaimana dimuat dalam pasal 4 UU ini, semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali memang produk-produk yang sejak awal merupakan produk non halal yang dikecualikan dari kewajiban ini, sebagaimana diatur pada pasal 26 UU 33/2014. Badan Penyenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan lembaga yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi penjaminan ini.
Namun, kepala BPJPH, sebagaimana dikutip Republika.co.id, Rabu (5/8/2020), buru-buru mengatakan saat ini kondisinya darurat sehingga vaksin bisa langsung dipakai karena proses mendapatkan kejelasan kehalalan membutuhkan waktu. Senada dengan itu, wakil presiden yang sebelumnya menekankan pentingnya kehalalan vaksin akhirnya juga berkomentar lunak. Sebagaimana disampaikan oleh jubir wapres, Masduki Baidlowi yang dikutip www.kompas.tv Sabtu, 3/10/2020, meskipun wapres KH Ma'ruf Amin meminta agar kehalalan vaksi menjadi perhatian, namun tak masalah jika vaksin tak halal, mengingat kondisi darurat pada pandemi Covid-19 saat ini.
Alasan kedaruratan sering menjadi pemakluman terhadap penggunaan hal-hal yang tidak diperbolehkan. Otoritas kebijakan seringkali berlindung di balik alasan kedaruratan ini. Hal ini mirip dengan kasus penggunaan vaksin Measles dan Rubella, ketika vaksinnya dinyatakan tidak halal oleh MUI.
Memang alasan kedaruratan bisa saja belaku bagi masyarakat atau warga negara selaku pengguna, ketika tidak ada alternatif lain untuk mendapatkan vaksin yang dijamin halal. Dalam hal ini pula bisa disimak pendapat Imam Izz al-Dîn bin Abdi al-Salȃm dalam karyanya Qawȃ`id al-Ahkȃm:
Boleh atas seseorang berobat dengan bahan yang najis ketika tidak ditemukan bahan yang suci karena maslahah yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan lebih utama dari pada maslahah menghindari najis. Namun tidak diperbolehkan berobat dengan khamr menurut pendapat yang kuat kecuali apabila secara pasti diketahui dapat menyembuhkan dan tidak ditemukan obat selain itu. (lih. Qawȃ`id al-Ahkȃm, Izz al-Dîn bin Abdi al-Salȃm Juz I/hal. 132)
Namun ada pertanyaan mendasar, apakah bagi pemerintah selaku pemegang otoritas kebijakan, pengadaan vaksin tidak halal adalah juga kedaruratan? Jawabannya tentu tidak, karena bahan-bahan yang halal pun ada, bergantung pada komitmen. Misalnya penggunaan enzim sebagai katalisator, ada enzim yang halal, ada juga yang tidak halal.
Jika komitmen halal yang menjadi pertimbangan pemerintah sesuai dengan amanat UU No. 33 tahun 2014, maka pemerintah sejak awal akan terus menekankan riset vaksin berbasis pada bahan-bahan yang telah dijamin halal. Jika itu semua yang dilakukan, akan diperoleh vaksin yang halal sekalipun belum disertifikasi halal. Namun, jika komitmen itu tidak ditekankan sejak awal, apa lagi buru-buru sudah bicara darurat, ini artinya memang rakyat akan terus dibawa pada kondisi darurat.
Oleh: Ainul Yaqin, S.Si. M.Si. Apt. (Sekretaris Umum MUI Prov. Jatim)
Sumber: Majalah Al Falah Edisi Nopember 2020
Artikel Terkait:
Sejarah Sertifikasi Halal Indonesia | YDSF
Zakat Akhir Tahun | YDSF
MEMBUAT SERTIFIKASI HALAL TIDAK DI LPPOM MUI | YDSF
Tulisan "No Pork" Bukan Jaminan Halal | YDSF