I’tikaf
menjadi salah satu ibadah yang sangat ditekankan tepatnya pada sepuluh hari
terakhir Ramadhan. Dengan tujuan mulia yaitu menggapai malam lailatul qadar
pada momen-momen tersebut. Sebagaimana dinarasikan dalam hadits Rasulullah saw.,
““Aku pernah melakukan I’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama, aku
berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku
beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku
bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin
beri’tikaf diantara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu para sahabat ada yang
beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara bahasa
i’tikaf berasal dari kata akafa-ya’kifu-ikufan, jika kalimat itu
dikaitkan dengan kalimat “an al-amr” menjadi “akafahu an al-amr”
yang berarti mencegah. Sementara itu, jika dikaitkan dengan kata “ala”
menjadi “akafa ala al-amr” artinya menetapi.
Pengembangan
kalimat tersebut kemudian menjadi i’takafa-‘takifu-I’tikafan yang
artinya tetap tinggal ada suatu tempat. Kalimat i’takafa fi al-masjid
berarti tetap tinggal atau diam di masjid.
Sedangkan
secara terminologi, i’tikaf adalah kegiatan berdiam diri di masjid untuk
beribadah seperti dzikir, bertasbih, dan kegiatan terpuji lainnya serta
menghindari perbuatan yang tercela. Ibadah ini bertujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
I’tikaf
memiliki hukum sunah dalam Islam. Jadi, ibadah satu ini boleh dilakukan ataupun
tidak, yang mana jika dilakukan maka Allah Swt. akan memberikan pahala, dan
jika tidak maka juga tidak dijatuhkan dosa.
Namun perlu
diingat, hukum i’tikaf berubah menjadi wajib ketika seseorang sudah bernadzar
untuk melakukan ibadah tersebut. Mengenai i’tikaf, Allah Swt. telah menjelaskan
dalam surah Al-Baqarah, di mana Allah memrintahkan kaum muslimin untuk
menjadikan masjid sebagai tempat i’tikaf.
Allah Swt.
berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 125, artinya, “Dan (ingatlah), ketika
kami menjadikan rumah itu (baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat
yang aman. Dan jadikanlah sebahagian makam Ibrahim tempat shalat. Dan telah
kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang
yang thawaf, yang i’tikaf, yang rukuk dan yang sujud.”
Menjadi
sebuah amalan sunah yang dianjurkan, maka dalam menjalankan i’tikaf juga harus mengetahui
tata caranya yang baik dan benar sesuai syariat.
Baca juga: Tips Puasa Gadget di Bulan Ramadhan | YDSF
Tata Cara I’tikaf
1. Mengetahui Rukun I’tikaf
Beberapa
rukun yang ada saat i’tikaf adalah:
1. Niat
2. Berdiam diri di masjid, bukan hanya
diam tetapi juga berdizkir, shalawat, atau berdoa. Allah Swt. berfirman dalam
surah Al-Baqarah ayat 187 bahwa dalam setiap i’tikaf jangan mencampurkan dengan
urusan lain.
3. Syarat orang beri’tikaf yaitu
muslim, berakal sehat, dan bersih dari hadats besar. Dalam konteks muslim yang
dimaksudkan adalah pria dan wanita. Ibnu Hajar rahimahullah berkata “Para
ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid, termasuk wanita,
ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan
selain di masjid.” Namun, bagi yang telah berkeluarga hendaknya wanita tersebut
telah mendapat ridha dari suaminya.
2. Pelaksanaan Waktu dan Durasi I’tikaf
Para ulama
berpendapat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka
berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama
yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya
adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun
tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari atau bisa
dilakukan satu atau dua hari. Sedangkan bagi para ulama yang tidak mensyaratkan
puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah
berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Kemudian
waktu i’tikaf yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk
puasa hanya disunahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan
waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al
Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf
yang sunah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam diri
(walaupun hanya sesaat).”
3. Hal yang Membatalkan I’tikaf
Meski hanya
“terlihat sekadar” berdiam diri di masjid, tetap ada hal-hal yang harus
diperhatikan agar tidak membatalkan i’tikafnya. Di antaranya:
1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i
dan tanpa ada kebutuhan yang mubah dan mendesak.
2. Jima’ atau bersetubuh dengan
pasangan suami atau istri.
3. Wanita yang sedang mengalami datang
bulan.
4. Hal yang Diperbolehkan Saat I’tikaf
Sedangkan,
juga ada hal-hal yang masih diperbolehkan dilakukan saat i’tikaf, seoerti:
1. Keluar masjid disebabkan ada hajat
yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang
tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2. Melakukan hal-hal mubah seperti
mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap
dengan orang lain.
3. Istri mengunjungi suami yang
beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4. Mandi dan berwudhu di masjid.
5. Membawa Kasur untuk tidur di masjid.
Siaga Bencana YDSF
Artikel Terkait:
ZAKAT DARI HASIL PANEN | YDSF
Ubah Wasiat Tanah Wakaf Jadi Rumah Kos | YDSF
KAAFAH MILAD KE-36 YDSF
Etika di Jalan dalam Islam, Berkendara dan Belalu Lintas yang Baik | YDSF
BOLEHKAH ZAKAT MAAL DITUNAIKAN SETIAP BULAN? | YDSF
Shalat Tahajud dan Rangkaian Shalat Malam saat Ramadhan | YDSF
Keutamaan 10 Hari Terakhir Ramadhan | Ust Isa Saleh Kuddeh