Pada dasarnya,
mengubah akad wakaf tanpa sepengetahuan wakif tentu bukanlah hal yang dapat
dibenarkan. Namun, bagaimana bila yang diubah itu merupakan sebuah wasiat untuk
berwakaf? Yang mana si wakif telah meninggal dunia, dan yang mengubah akadnya
merupakan ahli warisnya sendiri (istri atau anak-anaknya).
Wakaf merupakan
salah satu ibadah yang dapat kita raih pahalanya secara abadi. Penunaiannya pun
juga lebih mudah, tidak perlu menunggu haul dan nishab seperti zakat. Saat ini,
wakaf memang lebih dapat dijangkau oleh umat, tidak harus menunggu kaya sudah
bisa menunaikan wakaf tunai dimulai dari nominal berapapun. Namun, ada baiknya
bila seseorang yang telah menunaikan wakaf juga telah memiliki kewajiban serta
menunaikan zakatnya. Sehingga, insya Allah keberkahan dalam rezeki dan hidupnya
pun semakin bertambah.
Meski penunaian
wakaf semakin mudah, kita juga tetap dianjurkan untuk memberikan harta terbaik
yang dimiliki saat berwakaf. Bukan karena sudah merasa tidak suka dengan harta
tersebut baru diwakafkan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Imran
ayat 92, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Bagi seseorang
yang telah meninggal dunia pun, dapat menunaikan wakaf. Salah satu caranya
adalah melalui wasiat. Memang, wasiat dapat dilakukan baik secara lisan ataupun
tertulis, legal dengan notaris, sehingga memiliki kekuatan hukum. Wasiat yang
dilakukan secara tertulis dan legal ini akan lebih mudah pengaturannya,
bilamana kelak terdapat pengalihan fungsi atau akad dari hal yang diwariskan.
Mengubah Wasiat Wakaf
Tim Dewan Syariah
YDSF pernah mendapatkan pertanyaan bagaimana bila yang mengganti akad wakaf merupakan
salah satu dari ahli waris? Dalam kasus yang diceritakan, terdapat sepasang
suami istri, yang mana suami telah meninggal lebih dulu dengan mewasiatkan
sebuah tanah untuk wakaf. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan ekonomi pun
meningkat, sehingga sang istri memutuskan untuk mengalihfungsikan tanah wakaf
menjadi rumah kos. Sedangkan, baik anak maupun menantu dari pasangan tersebut merasa
sungkan untuk mengingatkan. Bagaimana penyelesainnya?
Baca juga: AMANAH RUMAH WAKAF DARI SEPUPU YANG MENINGGAL | YDSF
Wasiat Wakaf Tidak Lebih dari Sepertiga
Harta Waris
Pada dasarnya,
bila memang sang suami telah mewasiatkan tanah tersebut untuk wakaf dan memang
termasuk orang mampu (dengan syarat tanah tersebut tidak melebihi sepertiga
dari harta peninggalannya), maka wasiat harus dijalankan. Karena, itu merupakan
amanat.
Berbeda, bila
kemudian kondisi ekonomi mulai pas-pasan. Maka wasiat wakaf dapat dibatalkan.
Karena wasiat tidak boleh menelantarkan ahli waris, terutama istri dan
anak-anak. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a., “wasiat yang
membahayakan itu termasuk dosa besar.” (HR. Said bin Manshur, dengan sanad
shahih).
Wasiat juga hanya
dibatasi sepertiganya saja, selebihnya untuk ahli waris. Mengapa demikian?
Rasulullah saw.
Saad bermaksud mewasiatkan (mewakafkan) semua kekayaannya, toh anaknya hanya
tunggal seorang perempuan. Rasulullah saw. melarangnya. "Kalau setengahnya
saja bagaimana wahai Rasul?" tanya Saad. Rasulullah saw. juga tidak
mengizinkan. "Lalu, bagaimana kalau sepertiganya saja?" Nabi saw.
menjawab, ”Ast-tsulutsu wats-tsulutsu katsir (sepertiga itu sudah cukup
banyak).”
Alasan beliau, "Karena
kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu (kaya) itu lebih baik daripada
kamu tinggalkan mereka dalam keadaan susah yang selalu menadahkan tangan kepada
orang lain. Sedangkan apa pun yang kamu nafkahkan untuk keluargamu itu sama
dengan sedekah, sampai pun yang kamu suapkan pada mulut istrimu itu bernilai
sedekah. Memang wasiatmu itu barangkali bermanfaat bagi orang lain, tetapi
lantaran itu keluargamu susah." (HR. Bukhari, bab Nafkah Keluarga).
Cukup sepertiganya
saja, sisanya untuk istri sebagai ahli waris. Itu pun jika kekayaan suami itu
bukan gono-gini alias harta bawaan. Tetapi kalau gono-gini, maka istri mendapat
setengahnya seperti diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 96 ayat (1),
"Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama."
Sedang sisanya
dibagi untuk ahli waris. Karena itu, cobalah ini dicermati dulu. Sehingga kita
tidak salah bersikap apakah wasiat wakaf dari sang suami itu diteruskan atau dibatalkan
ataukah ditukar guling?
Baca juga: PENJELASAN DAN PENERAPAN SUKUK WAKAF | YDSF
Pengalihan Wasiat Wakaf
Tentang tukar
guling atau pengalihan fungsi ini, menurut pendapat Dr. Musthafa As Siba'i
lebih banyak melihat dari sisi maslahah kepentingan. Mana yang lebih maslahah
untuk umum, maka itu dibenarkan. Sedangkan pengertian maslahah di sini adalah
dengan melihat tujuan wakaf itu. Bukan kepentingan maslahah penukarnya.
Misalnya tanah wakaf ini di tempat yang kurang strategis, lalu ditukar dengan
tempat yang strategis, maka itu bisa dilakukan.
Contohnya tentang
penggusuran masjid untuk perluasan jalan umum. Sementara keberadaan masjid
kurang strategis karena bisa mengganggu jalan umum. Bahkan jamaahnya berkurang karena
tidak ada lahan parkir. Maka dipindahkan di tempat lain yang padat penduduk dan
strategis, sehingga masjid tersebut makmur. Sementara orang-orang yang berlalu
lintas di situ terasa leluasa dan keberadaan masjid di tempat yang baru ini
dapat makmur.
Karena kaedah ushul
figh membenarkan maslahah mursalah/masalah 'ammah
(kepentingan umum) itu dapat menjadi takhshish (pengecuali) dari
keumuman nash (hukum). Kita tahu bahwa nash tentang wakaf jelas yaitu tidak
boleh dijual, tidak boleh diubah, dsb. Tetapi demi maslahah 'ammah, maka
maslalah ini dapat dijadikan sebagai pengecuali. Lebih lanjut, dapat dikaji
dalam Mashadir Tasyri' Fima La Nashha Fihi oleh Syekh Abdul Wahhab Khallaf.
Dan tanah yang
kini dijadikan oleh ibu sebuah bangunan untuk kos-kosan itu, apakah sudah
benar-benar wakaf atau masih akan diwakafkan? Bila wasiat tersebut tidak ada
hitam di atas putih alias tidak tertulis dan tidak ada saksi yang cukup jelas.
Karena itu, ini perlu diperjelas terlebih dahulu. Kalau ternyata betul
diwasiatkan dan harta itu termasuk kelebihan seperti dijelaskan sebelumnya dan
ternyata wakaf di tempat tersebut lebih strategis untuk kepentingan Islam, maka
sang istri harus merelakan tanah itu sebagai tanah wakaf.
Sementara tentang
bangunan kos-kosan yang sudah telanjur didirikan, bisa dibicarakan dengan
nazhir (pengurus wakaf) untuk diganti, agar sang istri bisa membangun di tempat
lain. Tetapi, kalau ternyata tempat tanah wakaf di situ itu kurang strategis
untuk Islam, maka dapat ditukar guling.
Ingatkan dengan Bijak
Bila pihak
keluarga mengetahui hal ini, maka perlu diajak berdiskusi dengan cara yang
halus. Kondisi yang mendukung dan kata-kata yang santun. Jangan sampai, mungkin
maksudnya memberitahu hal yang benar, justru dianggap menggurui atau bahkan
ingin menguasai harta warisnya. Carilah cara yang bijak untuk menasihati.
Demikian, wallahu
a'lam.
Disadur
dari Majalah Al Falah Edisi April 2010
Artikel Terkait:
Doa Minta Rezeki Halal dan Berlimpah Sesuai Sunnah | YDSF
HUTANG, BISAKAH MENJADI FAKTOR PENGURANG ZAKAT? | YDSF
Waktu Terbaik Terkabulnya Doa | YDSF
BOLEHKAH UMRAH TAPI BELUM ZAKAT MAAL? | YDSF
Ragam Penyaluran Program YDSF Desember 2022
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT MAAL | YDSF
Wakaf di YDSF