Sekilas Hukum Perkawinan Indonesia | YDSF

Sekilas Hukum Perkawinan Indonesia | YDSF

27 Februari 2020

Hukum perkawinan di Indonesia sangat beragam. Hingga akhirnya terbentuklah suatu aturan unifikasi hukum perkawinan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya bagi masyarakat muslim ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kopilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan semacam kodifikasi pegangan hukum wajib bagi hakim Pengadilan Agama di Indonesia dalam membuat putusan sehingga terwujud kepastian hukum.

Di dalam masyarakat muslim Indonesia pun terdapat persoalan mendasar yang selalu muncul sejak zaman awal Islam pasca-kepemimpinan Rasulullah Muhammad, yaitu munculnya penafsiran dan pandangan yang bercabang tentang sebuah persoalan. Oleh karena itu tidak mudah meramu berbagai aliran madzhab yang ada dalam pemikiran Islam ke dalam satu aturan hukum positif.

Pernikahan merupakan hubungan yang sangat istimewa, memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak yang telah terikat di dalamnya dan bahkan bagi anak yang dilahirkan oleh pasangan yang terikat pernikahan. Secara sosial hal terpenting tentang eksistensi pernikahan adalah pengakuan sosial atas adanya pernikahan. Itulah sebabnya Rasulullah sangat menganjurkan adanya walimah dalam setiap pernikahan, sebagai wahana syiar dan syukur dan pastinya mewujudkan pengakuan sosial atas pernikahan tersebut.

UU Perkawinan merupakan hasil pemikiran bangsa Indonesia untuk menghilangkan kemajemukan hukum perkawinan sebagai akibat dari penggolongan masyarakat oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang membedakan masyarakat Indonesia ke dalam berbagai golongan dan perbedaan pemberlakuan hukum baginya.

Secara khusus bagi umat muslim, undangundang perkawinan untuk membentuk hukum Islam ke dalam hukum positif yang berlaku sebagai hukum nasional. Mazhab Imam Syafi’I memberikan pengaruh sangat besar terhadap pemikiran dan perilaku beragama masyarakat muslim Indonesia. Kenyataan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia yang melalui pendekatan budaya juga menjadi pertimbangan untuk membentuk ketentuan hukum Islam yang diberlakukan sebagai hukum positif.

Banyak pemakluman yang dilakukan masyarakat dalam hukum perkawinan Islam yang dituangkan dan dipositifkan dalam undangundang perkawinan. Bila melihat dalam fikih perkawinan dengan undang-undang perkawinan maka terdapat hal mendasar yaitu ketentuan undang-undang perkawinan tidak sejalan dengan ketentuan fikih perkawinan utama manapun, namun tetap diterima di masyarakat Indonesia karena telah menggunakan reinterpretasi dan mempertimbangkan kemanfaatan. Meskipun nantinya juga banyak yang menanyakan, manfaat bagi siapa.

Dalam perjalanannya hingga kini, hukum perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut telah ditaati dan dijalankan masyarakat Indonesia dengan segala kontroversinya, namun secara umum tidak ada penolakan yang berarti.

KHI dijadikan pedoman bagi hakim Pengadilan agama yang memeriksa dan memutus perkaraperkara yang berkaitan dengan perdata Islam termasuk hukum perkawinan Islam. KHI merupakan upaya untuk meminimalkan adanya putusan yang berbeda terhadap suatu persoalan yang mirip di tengah kenyataan adanya perbedaan mazhab dalam masyarakat Islam Indonesia. KHI merupakan ijma’ ulama Indonesia berkaitan dengan hukum keluarga. Meski sempat memunculkan berbagai anggapan miring tentang intervensi penguasa pada waktu itu. Sebab terdapat beberapa aturan yang tidak sesuai dengan fikih Islam pada umumnya. Namun bagi kaum muslim, ulama memiliki kedudukan otoritatif dalam membuat sebuah fatwa hukum tentang penerapan ketentuan agama.

Untuk dapat menerapkan berbagai aturan hukum Islam dibutuhkan cara untuk menemukan hukum, karena dalam Islam hukum tidaklah dibuat melainkan ditemukan dengan cara ijtihad. Keputusan atas dasar ijtihad tersebut dibatasi oleh berbagai syarat yang membingkainya sehingga tidak keluar dari syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah.

Menurut Imam al Ghazali, ijtihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan seorang faqih (Mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syara’.

Kehidupan masyarakat berjalan sangat dinamis. Karenanya keberadaan ulama yang faqih dan melakukan ijtihad tentang suatu persoalan sangat diperlukan agar Agama Islam dapat dijalankan dengan baik sebagaimana tujuan syariah (Maqosid Assyariah).

Kompilasi Hukum Islam yang dibuat tahun 1999 merupakan hasil ijtihad ulama Indonesia. Karena itu hukum Islam dapat diberlakukan secara nasional sebagai hukum positif bagi muslim Indonesia. Meskipun masih terdapat kontroversi, namun hukum positif sangatlah fleksibel dan tidak anti terhadap perubahan. Karena itu adalah suatu aksioma bahwa hukum perkawinan Islam yang berlaku saat ini di tahun-tahun mendatang akan mengalami penyesuaian sebagai hasil dari ijtihad ulama Indonesia yang hidup dan menghidupkan syariah.

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Mei 2018

 

Baca juga:

JENIS CINTA DALAM ISLAM MENURUT IBNU QAYYIM|YDSF

Perbedaan Zakat, Infaq, dan Sedekah | YDSF

PANDANGAN ISLAM TERHADAP ATURAN JAWA, ANAK PERTAMA DILARANG MENIKAH DENGAN ANAK KETIGA | YDSF

Zakat Profesi atau Penghasilan | YDSF

INGIN BERJAMAAH DENGAN SUAMI | YDSF

Bahagia dengan Gemar Berbagi | YDSF

JANDA BINGUNG NIKAH LAGI | YDSF

Walimatul ’Ursy dalam Islam | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: